Aurora. Penduduk area lintang tinggi di sekitar kutub utara dan selatan, bisa berkesempatan untuk menyaksikan tirai cahaya warna warni ini.
Tak pelak, banyak wisatawan yang berburu aurora di negara-negara lintang tinggi utamanya di belahan Bumi utara. Akan tetapi, penyebab aurora merupakan peristiwa brutal yang datang dari Matahari.
Pembentukan Aurora
Awal mula tirai cahaya warna warni bisa terbentuk di Bumi berasal dari Matahari.
Jadi, ada partikel-partikel berenergi tinggi yang dilepaskan oleh korona Matahari. Korona adalah lapisan terluar dari atmosfer Matahari. Partikel-partikel yang terlontar ini kita kenal sebagai angin Matahari, yang bergerak sangat cepat ke semua arah. Kecepatannya bisa mencapai 72 juta kilometer per jam!
Ketika angin Matahari tiba di Bumi, partikel-partikel energi tinggi tersebut bertabrakan dengan medan magnet Bumi. Kehadiran medan magnetik ini sangat penting untuk menjaga supaya atmosfer tidak lepas ketika disapu angin Matahari.
Saat partikel dari Matahari bertabrakan dengan medan magnet Bumi, terjadilah gangguan pada medan magnetik. Partikel-partikel bermuatan ini kemudian dibelokkan oleh medan magnetik Bumi ke arah kutub-kutub yang menghasilkan interaksi dengan atmosfer Bumi.
Benturan pun terjadi antara partikel energetik dari Matahari dengan partikel-partikel yang ada di atmosfer Bumi, yang didominasi oleh nitrogen dan oksigen.
Ketika partikel-partikel energetik dari Matahari berbenturan dengan partikel gas di atmosfer. Saat benturan, terjadi transfer energi dari partikel energetik ke atom dan molekul di atmosfer mengionisasi partikel di atmosfer. Energi yang diterima memang hanya disimpan sesaat sebelum akhirnya dilepaskan dalam pijaran cahaya warna warni yang kita kenal sebagai aurora.Â
Warna Aurora
Bagi pengamat, aurora tampak seperti tirai cahaya warna warni yang menari di langit malam. Nah, warna aurora ini diperoleh dari tabrakan partikel energetik dari Matahari dengan gas dari unsur berbeda yang ada di atmofer Bumi.
Atmosfer Bumi didominasi oleh nitrogen, dan oksigen. Selain kedua gas tersebut, masih ada argon, karbondioksida, neon, helium, ozon, hidrogen, kripton, metana, uap air, dan xenon. Setiap gas ini memancarkan cahaya dalam warna yang berbeda-beda yang bisa kita jadikan sebagai sidik jarinya. Dengan demikian, perbedaan warna aurora yang tampak oleh pengamat merupakan hasil dari benturan partikel energetik dari Matahari dengan partikel dari unsur yang berbeda yang ada di atmosfer.
Selain komposisi kimia di atmosfer, ketinggian aurora juga menghasilkan warna yang berbeda. Secara umum, aurora biasanya terjadi mulai dari ketinggian 80 km sampai ke lapisan atmosfer teratas.
Warna-warna aurora antara lain:
- Hijau dan hijau kekuningan: berasal dari oksigen dan biasanya terjadi pada ketinggian 120-180 km.
- Biru, merah keunguan, dan merah muda, berasal dari nitrogen dan bisa ditemukan pada ketinggian yang rendah antara 90-120 km. Kalau cahaya matahari mengenai bagian teratas cahaya aurora, terbentuk warna biru pucat.
- Merah tua, berasal dari oksigen pada ketinggian 200-300 km.
- Merah jambu, berasal dari tabrakan dengan atom hidrogen.
Pada kesempatan yang sangat jarang (sekali setiap 10 tahun atau lebih) aurora bisa berwarna merah darah dari atas ke bawah. Rona merah muda juga dapat terlihat di aurora bagian bawah. Ketika ada badai di Matahari, aurora berwarna merah akan tampak pada ketinggian 90-100 km.
Tidak ada aurora berwarna putih karena warna yang dipancarkan dan tampak oleh mata berasal dari warna yang diradiasikan oleh partikel di atmosfer. Akan tetapi, warna putih bisa tampak dari aurora merah muda yang sangat tipis di ketinggian yang rendah akibat tabrakan partikel dengan gas nitrogen.
Selain itu, ada dugaan kalau pemanasan global yang ditandai oleh peningkatan temperatur rata-rata Bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer akan mengubah warna aurora. Tapi tentu saja masih perlu penelitian untuk menjawab dan memverifikasi dugaan tersebut.
Bentuk Aurora
Jika diamati, aurora memiliki bentuk yang berbeda-beda. Bahkan, aurora yang terjadi bersamaan di kutub utara dan selatan bentuknya bisa berbeda.
Selama ini aurora bisa tampak seperti tirai cahaya bergelombang di langit, busur cahaya yang membentang ribuan kilometer dengan ketinggian ratusan kilometer namun hanya memiliki ketebalan beberapa puluh kilometer, pita dengan bagian bawah bergelombang dan tidak beraturan, berkas sinar yang turun dari atas ke bawah, bentuk korona atau mahkota dengan cahaya yang tampak mengumpul di satu titik di atas kepala (zenit), dan bentuk potongan akibat cahaya yang kurang terkonsentrasi sehingga tampak seperti gumpalan dengan kecerlangan berubah-ubah.
Secara umum, para peneliti membagi bentuk aurora dalam dua bagian yakni busur dan potongan cahaya. Arah atau sudut kedatangan partikel-partikel bermuatan yang bergerak dengan kecepatan tinggi dan membombbardir medan magnetik Bumi menjadi salah satu penyebab perubahan bentuk aurora.
Ketika sudut kedatangan partikel-partikel ini berubah dari tegak lurus sampai sejajar dengan kutub Bumi, maka aurora yang terjadi akan mengalami perubahan bentuk akibat terjadinya perubahan pada kecepatan partikel yang membentur atmosfer. Bentuk busur terjadi saat elektron mengalami percepatan saat memasuki atau menabrak atmosfer Bumi. Sementara itu, bentuk gumpalan cahaya dengan kecerlangan berubah terbentuk dari gelombang partikel bermuatan yang menyebarkan elektron ke atmosfer.
Kapan Aurora Tampak
Secara umum, aurora bisa terjadi kapanpun dan bisa tampak hampir setiap malam di langit, khususnya di area kutub Bumi.
Akan tetapi, karena aurora memang terkait erat dengan aktivitas Matahari, maka aurora yang kuat dan terang bisa tampak saat aktivitas Matahari sedang tinggi dan angin Matahari yang dilepaskan dari korona menuju ke Bumi. Utamanya, saat Matahari sedang mengalami siklus maksimum.
Siklus maksimum Matahari terjadi setiap 11 tahun dan seringkali ditandai dengan kehadiran bintik Matahari yang cukup banyak. Ketika Matahari sedang dalam siklus minimum atau tidak aktif, pengamat di Bumi bisa melihat jarangnya bintik Matahari terbentuk. Kehadiran bintik Matahari memang tidak selalu jadi tanda kehadiran aurora akan tetapi bisa jadi indikasi kemunculan aktivitas Matahari.
Saat terjadi aktivitas Matahari yang ditandai dengan semburan flare (suar) di permukaan Matahari, maka terjadi juga peningkatan lontaran partikel-partikel bermuatan dari Matahari. Saat angin Matahari ini mengarah ke Bumi dan berinteraksi dengan medan magnet planet kita, maka aurora bisa terbentuk dan disaksikan oleh pengamat di Bumi.
Jika tidak ada aktivitas Matahari, maka aurora hanya terjadi di area lintang sangat tinggi seperti di kutub dan redup.
Potensi Bahaya
Aurora tidak berbahaya bagi Bumi. Meskipun tidak berbahaya, partikel-partikel bermuatan yang bertabrakan dengan medan magnetik Bumi punya efek. Hasil interaksi tersebut menyebabkan terjadinya badai geomagnetik yang dampaknya bisa mempengaruhi aktivitas penduduk Bumi.
Dampak dari badai geomagnetik yang terjadi antara lain, gangguan pada jaringan listrik karena transformator dalam jaringan listrik akan mengalami kelebihan muatan, gangguan telekomunikasi (merusak satelit, menyebabkan black-out frekuensi HF radio, dll), navigasi, dan menyebabkan korosi pada jaringan pipa bawah tanah.
Pengamatan
Aurora. Pertunjukan cahaya di langit ini bisa diamati tanpa alat apapun oleh pengamat di Bumi maupun di angkasa seperti para astronaut di Stasiun Antariksa Internasional (ISS, International Space Station).
Aurora bisa diamati hampir setiap malam di Artik dan Antartika a.k.a di kutub utara dan selatan Bumi. Sekitar 66,5º dari Ekuator.
Untuk itu, pengamat harus berada di lokasi yang gelap dengan langit yang cerah. Tidak perlu binokuler ataupun teleskop. Cukup dengan mata telanjang, lihat ke arah horison dan temukan pijar hijau dan merah dari aurora. Jika aurora yang terbentuk tipis memang sulit teramati, akan tetapi, jika aurora yang terbentuk sangat terang maka tentu akan mudah dikenali.Â
Aurora bisa diamati di area kutub utara dan kutub selatan Bumi, maupun di negara-negara lintang tinggi di area kutub seperti Alaska, Kanada, Islandia, Norwegia, Swedia, Finlandia, bagian utara Rusia, bagian selatan Australia, Selandia Baru, dan Antartika. Akan tetapi, jika aktivitas Matahari sedang tinggi dan angin Matahari membawa lebih banyak partikel energetik, tak pelak terjadi badai geomagnetik besar yang menghasilkan kenampakan aurora sampai ke area lintang menengah.
Butuh badai matahari yang luar biasa besar supaya aurora bisa tampak sampai ke area lintang rendah di ekuator geomagnetik (kisaran lintang 23º). Peristiwa ini terjadi 41.000 tahun lalu dan juga pada tanggal 1-2 September 1859 (Peristiwa Carrington) saat aurora bisa disaksikan oleh penduduk di negara-negara dekat ekuator.
Nama Aurora
Aurora sudah terjadi sejak zaman dahulu dan disaksikan oleh penduduk lokal di area lintang tinggi, khususnya di area kutub utara dan selatan. Fenomena ini dikenal sebagai Cahaya Utara dan Cahaya Selatan.
Catatan sejarah menunjukan kalau cahaya utara sudah tercatat kenampakannya sejak 2.300 tahun lalu saat Aristoteles melihat fenomena ini dan memberi nama chasmata yang mengindikasikan masuknya cahaya dari luar bola langit lewat retakan di langit. Akan tetapi, catatan tertua kenampakan aurora diketahui muncul dalam lukisan di gua berusia 30.000 tahun di Perancis.
Pada tanggal 12 September 1621, saat Galileo Galilei dan Peter Gessendi mengamati fenomena tersebut, mereka kemudian memberi nama Aurora Borealis pada cahaya utara.
Nama ini berasal dari nama Dewi Aurora sang Dewi Fajar dalam mitologi Romawi, sedangkan Borealis dari Boreas, Dewa Angin Utara.
Sementara itu, di area kutub selatan, tidak banyak daratan berpenghuni yang menceritakan kehadiran cahaya selatan tersebut. Baru saat Kapten James Cook berlayar ke Australia, ia menyaksikan tarian cahaya ini pada 16 September 1770, maka cahaya selatan diketahui keberadaannya dan diberi nama Aurora Australis.
Aurora di Objek Lain
Aurora tidak hanya terjadi di Bumi. Tirai cahaya ini juga terbentuk pada planet-planet gas dengan medan magnet yang kuat seperti Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Yang harus diingat, komposisi atmosfer dan medan magnetik di planet-planet tersebut berbeda sehingga aurora yang dihasilkan juga tidak persis sama dengan di Bumi. Aurora di Jupiter dipancarkan juga dalam sinar-X.
Sebagai contoh, aurora biru di Jupiter yang terbentuk saat angin Matahari menghantam medan magnet planet raksasa juga dipengaruhi oleh aktivitas satelit seperti Io, Ganimede, dan Europa. Lontaran partikel bermuatan dari aktivitas vulkanik di Io ke magnetosfer Jupiter menyebabkan terbentuknya arus listrik yang besar dan aurora ultraungu nan terang.
Sementara itu, di Saturnus, aurora yang paling kuat justru terjadi pada cahaya ultraungu dan inframerah. Akibatnya kita tidak bisa melihat keberadaan aurora tersebut. Akan tetapi, aurora lemah berwarna merah muda dan ungu juga tampak di planet cincin ini.
Para astronom juga menemukan kehadiran aurora pada planet Venus dan Mars. Aurora di kedua planet ini bukan dari interaksi angin Matahari dengan medan magnet melainkan dari interaksi angin Matahari dan atmosfer. Angin matahari yang menghantam lapisan ionosfer Venus turut menciptakan terbentuknya medan magnet yang pada akhirnya menghasilkan aurora. Sedangkan di Mars, angin matahari yang menghantam atmosfer Mars berinteraksi dengan medan magnet lokal pada kerak planet merah ini sehingga terbentuklah aurora.
Selain itu, aurora berwarna merah juga ditemukan pada bintang katai coklat yang lokasinya 18 tahun cahaya dari Bumi.
Tulis Komentar