Sebuah asteroid baru ditemukan dalam tata surya kita. Ia kecil saja, hanya sebesar 150 hingga 500 meter, setara bukit kecil. Semula ia diidentifikasi sebagai komet, namun belakangan diklasifikasikan ulang menjadi asteroid.
Meski kecil mungil, kini semua mata memelototinya lekat-lekat. Sebab inilah untuk pertama kalinya kita berjumpa dengan asteroid yang datang dari ruang antarbintang. Asteroid yang tak lahir atau berasal dari tata surya kita. Asteroid yang tak terikat pada satu bintang induk pun dalam galaksi ini. Ia hanya singgah sebentar dalam tata surya kita untuk kemudian pergi lagi hingga seterusnya.
Karakter
Asteroid ini pertama kali disadari kehadirannya pada 18 Oktober 2017. Saat itu teleskop Pan-STARRS (Panoramic Survey Telescope and Rapid Response System) yang berpangkalan di Observatorium Haleakala, Hawaii (Amerika Serikat) merekam sebuah benda langit sangat redup. Pan-STARRS merupakan bagian dari sistem penyigi langit pelacak benda-benda langit yang melintas di dekat Bumi kita untuk kemudian dievaluasi potensi ancamannya.
Benda langit tersebut mempunyai magnitudo semu +21 atau 630 kali lipat lebih redup ketimbang Pluto. Magnitudo absolutnya + 22,2. Dengan asumsi albedonya, yakni kemampuan permukaannya memantulkan kembali sinar Matahari, adalah 10 %, maka diameternya 160 meter. Belakangan muncul prakiraan lebih optimistik dengan sajian angka diameter sekitar 500 meter. Awalnya benda langit ini memperlihatkan ketampakan coma (kepala) khas komet. Maka ia sempat diklasifikasikan sebagai komet dengan kode C/2017 U1 Panstarrs sesuai tatanama yang berlaku (C = comet). Namun begitu bukan diameternya maupun sifat kometnya yang segera menyedot perhatian, melainkan orbitnya. C/2017 U1 Panstarrs ternyata menyusuri orbit hiperbolik dengan nilai kelonjongan (eksentrisitas) cukup besar, yakni di sekitar 1,2. Maka sebersit curiga pun muncul, benda langit ini mungkin bukan penduduk asli tata surya.
Umat manusia telah melihat ratusan komet dengan orbit hiperbola sepanjang sejarah peradaban. Komet seperti ini selalu memliki kelonjongan lebih dari 1. Ia hanya sekali melintasi titik perihelion (titik terdekat dalam orbitnya ke Matahari) untuk kemudian meluncur keluar dari tata surya kita. Akan tetapi seluruh komet tersebut memiliki kelonjongan kurang dari 1,06. Analisis lebih lanjut dengan memperhitungkan sistem barisenter Matahari dan Jupiter menunjukkan seluruh komet itu pada dasarnya masih terikat dengan tata surya kita. Karena tatkala sistem Matahari dan Jupiter diperhitungkan, segenap komet tersebut memiliki nilai kelonjongan tepat kurang dari 1. Sehingga komet-komet itu ditafsiri sebagai komet yang berasal dari tata surya kita sendiri, khususnya dari awan komet Opik-Oort. Akan tetapi C/2017 U1 Panstarrs ini berbeda.
Observasi demi observasi memproduksi puluhan data yang kian memperjelas karakter benda langit ini. Melalui teleskop VLT/Very Large Telescope (diameter cermin obyektif 8,2 meter) yang dioperasikan ESO (European Southern Observatory) di Gurun Atacama, Chile, pada 25 Oktober 2017 diketahui benda langit ini tidak lagi menampakkan coma-nya. Sehingga ia diklasifikasikan ulang sebagai asteroid dan dikodekan sebagai A/2017 U1 (A = asteroid). Secara akumulatif hingga 26 Oktober 2017 telah terkumpul 59 data sehingga karakter asteroid unik ini bisa diungkap lebih banyak.
Kini diketahui asteroid A/2017 U1 memiliki kelonjongan orbit 1,19 atau tak jauh berbeda dengan data awal. Inklinasi orbitnya 122,4º, menandakan ia bergerak secara retrograde. Perihelionnya cukup dekat yakni 0,25 SA (37 juta kilometer) dari Matahari yang dicapainya pada 9 September 2017 pukul 18:09 WIB lalu. Terhadap orbit Bumi, orbitnya memiliki jarak terdekat atau MOID (minimum orbit intersection distance) sebesar 0,095 SA (14 juta kilometer). Namun demikian titik terdekat asteroid ini ke posisi Bumi direngkuh pada 15 Oktober 2017 pukul 00:51 WIB lalu, dalam jarak 24 juta kilometer. Pada saat itu pula asteroid A/2017 U1 sebenarnya terdeteksi dalam sistem penyigi langit lainnya, yakni Catalina Sky Survey. Meski operatornya baru menyadarinya dalam 12 hari kemudian.
Ada tiga hal yang menjadi indikasi kuat asteroid A/2017 U1 adalah asteroid antarbintang. Pertama, nilai kelonjongan orbitnya. Kecuali ada kekeliruan dalam astrometrinya, kelonjongan orbit A/2017 U1 terhadap titik barisenter Matahari dan Jupiter adalah 1,18 baik sebelum maupun sesudah lewat perihelion. Sehingga ia tidaklah terikat dengan tata surya kita. Besarnya kelonjongan orbit berimplikasi pada kecepatan yang cukup besar pula. Saat lewat di titik terdekatnya ke Bumi, asteroid A/2017 U1 melesat dengan kecepatan relatif 60 km/detik. Maka kecepatan-lebih hiperboliknya, yakni kecepatan benda langit di ruang bebas dalam orbit hiperbolik, berkisar 26 km/detik. Bandingkan dengan komet Bowell (C/1980 E1), benda langit dengan kelonjongan terbesar sebelumnya (yakni 1,06), yang memiliki kecepatan-lebih hiperbolik hanya 3 km/detik.
Dan yang ketiga adalah warnanya. Pada waktu yang hampir sama dengan observasi teleskop VLT, teleskop WHT/William Herschell Telescope (diameter cermin obyektif 4,2 meter) di Observatorium La Palma di pulau Canary (Spanyol) juga menatap A/2017 U1 lekat-lekat. Spektrum yang ditangkapnya menunjukkan asteroid A/2017 U1 cenderung berwarna merah. Lebih mirip dengan karakter paras benda langit penduduk Sabuk Kuiper-Edgeworth dan sama sekali tak mirip asteroid penduduk cakram Sabuk Asteroid Utama.
Potensi
Dengan perihelion kurang dari ambang batas 1,3 SA maka asteroid A/2017 U1 diklasifikasikan sebagai asteroid-dekat Bumi. Namun karena jarak terdekatnya ke Bumi masih lebih besar dibanding ambang batas 0,05 SA maka A/2017 U1 tidak tergolong asteroid berpotensi bahaya (bagi Bumi). Sehingga peluangnya untuk bertubrukan dengan Bumi adalah nol.
Kabar ini tentu melegakan. Sebab jika ia tepat menuju ke Bumi, maka dampaknya dahsyat. Simulasi dengan Down2Earth memperlihatkan bila diameternya 400 meter, komposisi berpori-pori (massa jenis 1.500 kg/m3) dan melesat secepat 60 km/detik ke Bumi, tepat sebelum memasuki atmosfer energi kinetiknya sebesar 21.600 megaton TNT. Sepanjang menembus atmosfer, kecepatannya akan berkurang sedikit sehingga kala tiba di paras Bumi masih secepat 54,9 km/detik dengan energi tumbukan setara 18.100 megaton TNT.
Itu hampir menyamai kandungan energi pada segenap hululedak nuklir yang pernah ada di Bumi pada puncak Perang Dingin. Pelepasan energi sebesar itu akan menyebabkan dampak spontan yang bisa dirasakan hingga radius 580 kilometer dari titik tumbuk, berdasarkan simulasi ledakan nuklir. Akan tetapi secara global juga bisa memicu fenomena perubahan iklim yang populer sebagai musim dingin tumbukan (impact winter), analog dari musim dingin nuklir. Yakni turunnya suhu paras Bumi akibat tebaran aerosol sulfat dan jelaga produk tumbukan di lapisan stratosfer.
Asteroid A/2017 U1 kini terus melaju dalam lintasannya meninggalkan tata surya kita. Dari sisi astronomi, singgahnya asteroid A/2017 U1 membuktikan bahwa galaksi Bima Sakti kita memang memiliki benda-benda langit yang tak terikat ke satu bintang tertentu. Sejak 1998 TU kita sudah mengenal adanya kelompok planet sejenis yang disebut planet yatim. Meski hingga saat ini baru dua saja yang telah benar-benar dikonfirmasi. Dan kini kita mengenal adanya asteroid yatim. Singgahnya asteroid yatim ke dalam tata surya kita membuka jendela peluang baru untuk mengeksplorasi benda-benda yang bukan penduduk tata surya kita sendiri. Namun di sisi lain, juga membuka peluang resiko baru terhadap tata surya kita pada umumnya dan Bumi pada khususnya. Sebab dalam khasanah tumbukan benda langit (yang berpotensi memusnahkan kehidupan), kini tak hanya asteroid dan komet penduduk tata surya kita saja yang perlu dipertimbangkan. Namun juga asteroid dan komet yatim, yang perilakunya jauh lebih sulit diprediksi.
Referensi :
Dinukil dari Ekliptika dengan perubahan seperlunya.
Tulis Komentar