fbpx
langitselatan
Beranda » Komet & Kehidupan di Bumi

Komet & Kehidupan di Bumi

Pernahkah terbersit pertanyaan – pertanyaan ini dalam benakmu? Dari mana kita berasal? Apakah kita sendirian di alam semesta? Inilah pertanyaan yang tak kunjung berhenti dilontarkan. Pertanyaan dan misteri inilah yang membawa manusia membangun mimpi menemukan kawan yang lain di alam semesta ini. Atau setidaknya menelusuri kembali jejak sejarah kehidupan manusia di Bumi.

Komet Churmuyov-Garsimenko yang dipotret Rosetta. Kredit: ESA/Rosetta/MPS for OSIRIS Team MPS/UPD/LAM/IAA/SSO/INTA/UPM/DASP/IDA

Pertanyaan itu jugalah yang membawa manusia menelusuri kembali jejak masa lalu Tata Surya. Tujuannya satu: menelusuri dari mana kehidupan di Bumi berasal. Dari mana air yang menjadi kunci kehidupan di Bumi bisa hadir. Bagaimana Bumi bisa memiliki komposisi air yang sedemikian banyak sehingga mampu mempertahankan kehidupan?

Jawaban pertama, Bumi bisa memiliki air dalam wujud cair karena ia berada di zona laik huni Matahari. Tapi dari mana datangnya air itu? Berbagai teori dikemukakan, dan salah satunya adalah air di Bumi diyakini dibawa oleh komet.

Kehidupan di Bumi dimulai di akhir  periode tabrakan besar, sekitar 3,8 milyar tahun yang lalu. Sebelum periode tabrakan tersebut, Bumi diserbu oleh puing-puing antarplanet yang menjadi materi pembentukan planet cikal bakal rumah manusia ini. Akibat dari serbuan puing-puing antar planet tersebut, proto-Bumi menjadi sangat panas sehingga tidak mungkin kehidupan bisa tebrnetuk di dalamnya.  Disinilah, asteroid dan komet memainkan peran pentingnya.

Tabrakan besar dari asteroid dan komet mengubah jalannya sejarah Bumi dari planet yang sangat panas menjadi planet laik huni. Serbuan komet di masa awal pembentukan Bumi menjadi kunci kehadiran air di Bumi. Yup! Air dan molekul organik yang menjadi dasar bagi tumbuh kembang kehidupan di Bumi dihantarkan lewat serbuan komet-komet di masa itu.

Selama periode tabrakan besar asteroid dan komet, lautan yang ada di Bumi menguap dan molekul berbasis karbon yang jadi dasar kehidupan di Bumi kala itu sangat rapuh sehingga tidak dapat bertahan. Setelah itu, kehidupan awal yang mungkin terbentuk di Bumi pun musnah. Tapi di akhir periode tabrakan besar, kehidupan muncul! Buktinya adalah fosil paling tua yang ditemukan di Bumi usianya 3,5 milyar tahun. Fosil mikroba yang ditemukan di Australia tersebut diyakini menjadi bukti keberadaan awal kehidupan di Bumi yang kemudian berkembang dan berevolusi.

Tapi, bagaimana mungkin kehidupan awal Bumi yang rapuh itu berakhir ketika tabrakan besar terjadi, dan ada kehidupan baru yang muncul di akhir periode tabrakan besar? Artinya, dalam periode yang sangat singkat kehidupan bisa bertumbuh, berkembang dan bertahan di Bumi. Kehidupan yang kemudian berevolusi menjadi kehidupan kompleks di Bumi.

Sebelum periode tabrakan besar, Bumi hanya memliki sedikit air dan molekul berbasis karbon di permukaannya. Nah, bagaimana mungkin dalam waktu singkat bisa ada kehidupan baru? Jawabannya berada pada tabrakan besar itu sendiri.

Komet yang bertubi-tubi menghantam Bumi itulah yang menghantarkan air dan molekul organik untuk membentuk kehidupan. Artinya, komet disusun oleh air es, debu dan molekul organik yang berlimpah dari sisa pembentukan Tata Surya 4,6 milyar tahun lalu. Dan mereka tersimpan abadi di tepi luar Tata Surya yang jauh dari Matahari sehingga kondisinya cukup beku untuk terus bertahan apa adanya.

Jadi, ketika tabrakan besar komet dan asteroid memusnahkan kehidupan pertama di Bumi, maka dalam waktu singkat kehidupan lain pun muncul. Dan diyakini tabrakan komet 65 juta tahun lalu juga memusnahkan lebih dari 75% kehidupan di Bumi termasuk dinosaurus. Tabrakan itu menyisakan kehidupan yang dapat bertahan dan berevolusi menjadi seperti yang ada saat ini. Pada akhirnya, komet tampaknya memiliki dualisme yang menarik. Menghancurkan kehidupan tapi kemudian membangun kehidupan baru dan pada akhirnya hanya yang dapat beradaptasilah yang terus bertahan.

Komet memang menghadirkan air dan molekul kehidupan di Bumi. Tapi keberadaan Bumi juga membantu keberlangsungan evolusi kehidupan tersebut. Lokasi Bumi di zona laik huni Matahari yang hangat menjadi alasan lain kehidupan bisa terus bertahan dan berkembang. Tanpa itu, kehidupan akan mati menyisakan Bumi sebagai planet kosong tak berpenghuni. Jika Bumi terlalu panas, nasibnya mungkin tak beda jauh dengan Venus, atau mungkin jadi seperti Mars yang berada di tepi luar zona laik huni Matahari. Gersnag dan berdebu.

Untuk dapat mengetahui komposisi awal terbentuknya planet-planet maka para astronom pun mempelajari komposisi komet. Diharapkan, para astronom dapat menelusuri jejak masa lalu Bumi dan juga planet-planet di Tata Surya serta dapat mengetahui bagaimana kehidupan berawal. Dengan informasi inilah, para astronom akan mencari Bumi lain di sistem ekstrasolar yang sudah menghadirkan ribuan planet untuk ditelaah dan setidaknya ada sekitar 21 planet yang diyakini memiliki potensi kehidupan. Akankah kehidupan di planet-planet tersebut memiliki kemungkinan untuk bertumbuh dan berkembang dan akankah kehidupan itu pun berasal dari tabrakan komet di sistem masing-masing planet tersebut? Itulah pertanyaan yang masih harus ditelusuri jawabannya.

Komet, benda kecil yang berada jauh di tepi luar Tata Surya bahkan dianggap sebagai pertanda datangnya bencana bagi manusia di Bumi. Tapi, benda kecil yang isinya hanya es dan debu ini menyimpan bumbu dan bahan yang membentuk Tata Surya. Komet adalah saksi sejarah yang tak lekang oleh waktu. Meskipun bentuknya, warnanya tak tampak menarik, bahkan sulit untuk bisa diamati, namun benda kecil inilah kunci cerita tentang pembentukan planet-planet di Tata Surya dan juga di bintang lain.

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Manager 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute.

4 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini