Setelah lebih dari sepuluh tahun melanglang buana mengarungi angkasa akhirnya Rosetta pun tiba di lingkungan komet Churyumov-Gerasimenko, benda langit yang menjadi tujuan utamanya, pada 6 Agustus 2014 lalu. Inilah kulminasi bagi wahana antariksa penyelidik komet yang diorbitkan badan antariksa (gabungan negara-negara) Eropa atau European Space Agency (ESA) pada 2 Maret 2004 silam menggunakan roket jumbo Ariane 5G dari landasan peluncuran Kourou (Guyana Perancis). Rosetta memang bukan misi antariksa takberawak pertama yang ditujukan ke komet. Namun ia mengemban satu ambisi yang tak pernah terjadi dalam misi-misi antarika sejenis sebelumnya, yakni bagaimana mendarat secara lunak’ (soft-landing) di permukaan sebuah inti komet sehingga instrumen-instrumennya tetap dalam keadaan utuh, tak rusak dan mampu bekerja sebagaimana mestinya dalam mengeksplorasi lingkungan di sekitar titik pendaratan. Lingkungan yang asing namun ajaib bagi kita.
Pada 6 Agustus 2014 itu Rosetta tinggal berjarak 100 km saja dari inti komet dan mulai bermanuver. Hingga seminggu kemudian Rosetta bakal tetap bertahan pada jarak tersebut dengan lintasan yang cukup aneh karena mirip segitiga sembari mulai bermanuver kembali menuju orbit lebih rendah. Manuver ini memungkinkan jarak Rosetta bakal tereduksi hingga tinggal 50 km saja. Jarak tersebut bakal dicapainya pada 24 Agustus 2014 dan bertahan selama seminggu kemudian, juga dalam lintasan mirip segitiga. Baru pada 3 September 2014 Rosetta bakal mulai melaksanaan pemetaan global terhadap permukaan inti komet Churyumov-Gerasimenko sembari kembali bermanuver dan mengubah arah hingga jaraknya tinggal 30 km.
Pada tahap pemetaan global inilah orbit Rosetta disekeliling inti komet Churyumov-Gerasimenko mulai terlihat ‘normal’, yakni berbentuk ellips (lonjong). Profil orbit lonjong Rosetta ini demikian rupa sehingga memungkinkan Rosetta mencitra (memotret) segenap permukaan inti komet Churyumov-Gerasimenko, baik pada sisi yang bermandi cahaya Matahari (sisi siang) maupun yang tidak (sisi malam). Dan pada akhirnya Rosetta bakal kembali bermanuver untuk memasuki orbit sirkular (lingkaran) yang berjarak 10 km dari sang inti komet, mulai 10 Oktober 2014. Pada orbit tersebut, Rosetta praktis menjadi satelit buatan komet Churyumov-Gerasimenko dan di atas kertas bakal mengawalnya dengan kecepatan orbital hanya 0,15 meter/detik (0,52 km/jam) dan periode revolusi 5,02 hari. Kecepatan orbital tersebut lebih lambat kita kecepatan kita umat manusia saat berjalan kaki di permukaan Bumi.
Sebuah kendaraan pendarat kecil bernama Philae (massa 100 kg) kelak akan dilepaskan dari Rosetta guna mendarat di permukaan inti komet Churyumov-Gerasimenko. Titik lokasi pendaratan bakal mulai dicari semenjak Agustus 2014 ini. Di akhir Agustus 2014, Rosetta diharapkan telah mendapatkan lima kandidat lokasi untuk pendaratan Philae. Seiring dengan manuver Rosetta untuk kian mendekati sang komet, maka kelima titik ini bakal dielaborasi dan dieksplorasi lebih lanjut melalui mata tajamnya, kamera/pencitra OSIRIS (Optical, Spectroscopic and Infrared Imaging System). OSIRIS memiliki resolusi sebesar 55 cm per pixel untuk jarak 30 km, sebanding dengan resolusi yang dihasilkan wahana LRO (Lunar Reconaissance Orbiter) dalam mengindra permukaan Bulan, sehingga mampu menyajikan panorama lebih detil. Evaluasi terhadap kelima kandidat titik pendaratan pun bakal berlangsung lebih baik, sehingga diharapkan pada pertengahan September 2014 Rosetta telah memilih salah satu dari kelima kandidat, sebagai titik terbaik bagi pendaratan Philae.
Tantangan
Jika semua itu bisa dilalui tanpa hambatan maka pendaratan Philae bakal dilaksanakan pada rentang waktu kapan saja di antara 11 hingga 19 November 2014 mendatang. Philae awalnya bakal melepaskan diri dari Rosetta dan mendekat ke inti komet pada kecepatan hanya 1 meter/detik (3,6 km/jam). Begitu menyentuh permukaan inti komet Churyumov-Gerasimenko dengan sangat lembut, Philae bakal segera menambatkan diri dengan menembakkan dua tombak berpengait ke tanah komet. Untuk lebih mengukuhkan posisinya sekaligus menghindari potensi terlontar kembali ke langit lepas seiring begitu kecilnya kecepatan lepas dari inti komet Churyumov-Gerasimenko (yakni diperkirakan hanya 50 cm/detik atau 1,8 km/jam), maka Philae bakal mengebor tanah komet dibawahnya dan menanamkan sejenis jangkar disana. Philae diharapkan tetap aktif mengeksplorasi lingkungan sekitarnya lewat 10 instrumennya dan menyuplai datanya ke Rosetta guna disalurkan (di-relay) ke Bumi hingga Desember 2015. Yakni hingga saat komet Churyumov-Gerasimenko mencapai perihelionnya sehingga dinamika aktivitas komet terkait jaraknya terhadap Matahari dapat diketahui dengan lebih baik.
Tantangan terhadap berhasilnya misi antariksa ini cukup besar. Salah satunya adalah terungkapnya bentuk asli komet ini, yang ternyata berupa benda langit kembar dempet (contact binary) mirip bebek. Bentuk ini baru diketahui pada pertengahan Juli 2014 lalu dan sangat bertolak-belakang dibanding perkiraan bentuk inti komet Churyumov-Gerasimenko sebelumnya, yang diperoleh dari lingkungan orbit Bumi lewat pemetaan dengan teleskop landasbumi Hubble. Kondisi ini cukup membatasi lokasi yang memungkinkan untuk mendaratkan Philae. Mengingat bentuk mirip bebek membuat medan gravitasi inti komet Churyumov-Gerasimenko bervariasi sangat besar dari satu titik ke titik yang lainnya. Di atas kertas, lokasi ideal adalah di ‘leher’ inti komet, yakni di bagian penghubung antara dua bongkahan besar pembentuk inti komet Churyumov-Gerasimenko. Sebab disinilah percepatan gravitasi inti komet memiliki nilai yang terbesar, di atas kertas.
Namun lokasi ideal ini juga bakal berhadapan dengan tantangan selanjutnya, yakni terkait aktivitas komet. Permukaan komet ibarat dataran dalam kawah sebuah gunung berapi. Pada saat-saat tertentu, yakni kala gunung berapi itu mulai meningkat aktivitasnya, titik-titik tertentu dalam dataran ini pun akan terbuka dan menyemburkan gas vulkanik bercampur debu. Pun demikian dengan inti komet. Dan astronomi masakini pun masih belum mampu menentukan titik-titik mana di permukaan sebuah inti komet yang lebih berpotensi menyemburkan gas dan debu dibanding titik lainnya. Pada saat ini aktivitas komet Churyumov-Gerasimenko memang masih cukup lemah karena masih berjarak cukup jauh dari Matahari. Pengukuran Rosetta menunjukkan kuantitas air yang disemburkan komet pada saat ini hanyalah setara dua gelas air per detiknya. Namun dengan sifat komet yang meningkat aktivitasnya kala mendekati perihelionnya, maka kelak kuantitas air yang tersembur (sebagai uap air) bakal meningkat pesat. Konsekuensinya makin banyak debu yang tersembur dan bahkan bongkahan yang lebih besar pun dapat terpental dari internal inti komet. Di masa silam, misi antariksa Giotto ke komet Halley (juga diorbitkan ESA) nyaris mati di tengah jalan kala sebongkah material komet seukuran batu kecil (diameter +/- 10 cm) mendadak tersembur dan menghantamnya dengan telak.
Tantangan berikutnya terkait struktur inti komet yang rapuh. Inti komet itu ibarat busa padat yang melayang di langit. Ukurannya memang besar namun massanya cukup ringan sehingga massa jenisnya pun cukup kecil. Demikian kecil massa jenisnya sehingga andaikata sebuah inti komet ditangkap dan ditaruh dengan hati-hati di samudera di Bumi, maka ia bakal terapung. Massa jenis yang kecil sekaligus menjadi indikasi bahwa struktur internal inti komet didominasi oleh pori-pori/rongga-rongga. Struktur berongga jelas tidak menghasilkan kekuatan sebesar struktur yang padat. Maka meski Philae telah membekali diri dengan tombak berpengait dan pengebor untuk menanam jangkar, belum bisa dipastikan ia akan tertambat di tanah inti komet Churyumov-Gerasimenko dengan aman.
Bencana
Dalam lingkup tertentu misi Rosetta bisa dikatakan sebagai perwujudan kisah fiksi “Armageddon” a la Hollywood, yang mengharu biru dunia sinematografi global pada dua dekade silam. Bedanya Rosetta tidak mendaratkan antariksawan, apalagi yang begitu urakan macam Bruce Willis dan kawan-kawannya. Rosetta pun tak mendaratkan peledak nuklir strategis ke inti komet. Namun Rosetta mengemban misi yang mirip. Selain untuk mencari jawab atas material primitif tata surya yang diduga masih tersimpan beku di dalam inti komet, misi ini juga bermanfaat untuk menguak struktur internal komet dengan lebih baik. Mengingat bagi peradaban manusia modern, komet bisa mendatangkan bencana kosmik dalam lingkup global jika ia benar-benar jatuh ke Bumi. Apalagi dengan kecepatannya yang dua kali lipat lebih besar (rata-rata) ketimbang asteroid, maka energi perusak komet pun empat kali lipat lebih besar (rata-rata). Mengetahui struktur internal komet bakal mempertajam kemampuan memitigasinya andaikata kelak kita benar-benar berhadapan dengan sebutir komet yang melesat cepat ke Bumi.
Namun mengirim misi antariksa ke komet, apalagi hendak mendarat lunak di permukaannya, sungguh tak pernah terbayangkan dalam benak leluhur kita hingga belasan abad silam. Komet memang telah dikenal umat manusia semenjak awal mula peradaban. Namun dalam lebih dari separuh rentang waktu sejarah tercatat, komet menjadi benda langit yang kerap dipandang dengan perasaan ngeri. Inilah satu-satunya benda langit yang kehadirannya selalu dikaitkan dengan nasib jelek dan peristiwa buruk, anggapan yang boleh jadi berakar semenjak masa Aristoteles lebih dari 20 abad silam. Kehadiran komet kerap dikaitkan dengan matinya raja-raja hingga musnahnya suku-suku bangsa dan peradaban.
Misalnya komet Halley. Komet legendaris ini selalu dihubung-hubungkan dengan tewasnya raja Harold dan takluknya seluruh suku bangsa Inggris ke tangan orang-orang Normandia (Perancis) dalam pertempuran Hasting (1066). Raja-raja yang memerintah Inggris sejak itu adalah anak-cucu dan keturunan Normandia ini. Kehadiran komet Halley pada 1910 pun dihubung-hubungkan dengan meletusnya Perang Dunia 1 dengan segala akibatnya. Indonesia pun tak mau kalah. Hadirnya komet Ikeya-Seki di akhir 1965 hingga awal 1966 menjelang fajar kerap dikaitkan dengan kejadian Gerakan 30 September dan segenap peristiwa berdarah yang menyertainya. Dan kehadiran dua komet terang sekaligus, yakni komet Hyakutake (1996) serta Hale Bopp (1997) dianggap sebagai pertanda ganda akan bencana multidimensi yang menyergap bangsa Indonesia seiring krisis 1997-1998.
Astronomi modern yang bertulangpunggungkan observasi teleskop sedikit membalikkan pandangan itu dan memperlihatkan komet sejatinya adalah benda langit biasa saja dengan ukuran relatif kecil sebanding ukuran asteroid. Apa yang terlihat sebagai kepala (coma) dan ekor komet sejatinya merupakan himpunan gas dan debu yang disemburkan dari permukaan inti komet (nucleus) di bawah kendali panas dan tekanan angin Matahari, sehingga menyelubungi ruang di sekeliling inti komet (sebagai coma) dan lantas terjulur ke ‘belakang’ melawan arah Matahari (sebagai ekor gas) maupun terserak di sepanjang lintasan yang baru saja dilaluinya (sebagai ekor debu). Komet juga dipandang sebagai salah satu benda langit yang menjadi ajang pembuktian hukum gravitasi Newton. Meski memiliki orbit cukup lonjong, komet-komet tertentu (yakni komet periodik) tetap memiliki periode revolusi yang khas mengikuti hukum Newton. Dan sebagai benda langit mini berorbit cukup lonjong hingga parabolik/hiperbolik, komet pun menjadi benda langit yang paling jelas menderita efek gravitasi anggota-anggota tata surya berukuran besar, khususnya planet gas raksasa Jupiter. Tak hanya memulurkan/memendekkan orbitnya (yang berakibat pada membesar/menyusutnya periode revolusi komet), Jupiter tak jarang mengubah karakter orbit sebuah komet secara dramatis menjadi parabola/hiperbola. Sehingga komet itu pun terpaksa terusir keluar dari lingkungan tata surya.
Pada abad ke-20, pandangan modern kembali berbalik mengikuti era pra-teleskop. Berseminya cabang ilmu fisika energi tinggi dan tumbukan benda langit membuka wawasan baru tentang komet sebagai pembawa bencana, meski kali ini mengambil bentuk yang benar-benar baru. Dengan orbitnya yang gampang berubah, selalu terbuka peluang lintasan sebuah komet bersinggungan atau malah bahkan berpotongan dengan orbit planet dalam skala waktu geologi. Bila hal itu terjadi maka tubrukan kosmik pun takkan terhindarkan. Skala kedahsyatannya pun sungguh luar biasa, sebab meski berukuran sangat kecil bila dibandingkan dengan planet yang ditubruknya, kecepatan relatif komet sangat tinggi hingga mencapai belasan atau bahkan puluhan kilometer per detik (!). Bopeng-bopeng di wajah Bulan, pun demikian dengan planet-planet tetangga yang nyaris tak beratmosfer/beratmosfer sangat tipis seperti Merkurius dan Mars, adalah bukti abadi nan mencekam akan dahsyatnya tabrakan komet terhadap planet.
Dan tepat dua dekade silam, mata dunia pun dibikin terbelalak saat menyaksikan secara langsung bagaimana planet Jupiter dihantam oleh keping-keping komet Shoemaker-Levy 9. Dalam rentang waktu 16 hingga 24 Juli 1994, sebanyak 21 keping komet Shoemaker-Levy 9 jatuh ke Jupiter dalam kecepatan tinggi. Hantaman tiap keping ke Jupiter menciptakan bola api tumbukan (fireball) bersuhu tinggi yang pada puncaknya berukuran dua kali lipat diameter Bumi! Secara akumulatif tumbukan komet Shoemaker-Levy 9 ke Jupiter melepaskan energi sekitar 100 juta megaton TNT, atau setara dengan 5 milyar butir bom nuklir Hiroshima yang diledakkan secara serempak. Andaikata tingkat energi sebesar itu terlepaskan di Bumi, niscaya seluruh peradaban manusia dan bahkan segenap makhluk hidup kompleks bakal berhadapan dengan peristiwa pemusnahan massal, seperti yang dialami kawanan dinosaurus dan 75 % kelimpahan makhluk 65 juta tahun silam.
Namun abad ke-20 juga menjadi saksi upaya keras kita dalam mengamati komet lebih dekat melalui beragam misi antariksa tak berawak. Mendekatnya komet Halley yang legendaris pada 1986 menjadi momentum untuk itu. Eropa dan eks-Uni Soviet berhasil mencetak sukses, masing-masing dengan misi Giotto dan Vega 2. Sementara Amerika Serikat (melalui NASA) terpaksa harus gigit jari setelah satelit pengamat Halley-nya turut hancur kala pesawat ulang-alik Challenger yang membawanya meledak di udara saat baru 76 detik mengangkasa. NASA membayar kegagalan ini 15 tahun kemudian melalui misi Deep Space 1, yang melintas dekat komet Borrelly. Sukses mengunjungi komet Borrelly menjadi awal mula NASA menguasai panggung misi-misi antariksa ke komet hingga satu dekade berikutnya. Masing-masing lewat misi Stardust (ke komet Wild 2) pada 2004, misi Deep Impact (ke komet Tempel 1) pada 2005, misi Deep Impact/EPOXI (ke komet Hartley 2) pada 2010 dan misi Stardust-NexT (ke komet Tempel 1) pada 2011.
Dari kelima komet yang telah dikunjungi misi-misi antariksa tersebut, terungkap bahwa inti komet Halley, Borrelly dan Hartley 2 merupakan benda langit dempet meski memiliki ragam bentuk dan dimensinya masing-masing. Sementara inti komet Wild 2 dan Tempel 1 adalah bongkahan tunggal irregular. Mereka juga menunjukkan bahwa inti komet merupakan salah satu benda langit tergelap (memiliki albedo terkecil) di lingkungan tata surya dan tak seluruh bagian inti komet menyemburkan gas dan debu ke langit, namun hanya di titik-titik tertentu saja. Hanya 10 % permukaan inti komet Halley yang menyemburkan gas dan debu, sebaliknya hingga 50 % permukaan inti komet Hartley 2 yang demikian. Sebagian materi penyusun inti komet adalah debu yang demikian halus, sehalus bedak.
Apakah Rosetta bakal berhasil mendaratkan Philae ke permukaan inti komet Churyumov-Gerasimenko dengan selamat? Apakah temuan baru yang akan dijumpai Rosetta dan Philae di komet ini? Mari kita tunggu !
1 komentar