Memuja pulau nan indah permai,
Tanah Airku Indonesia.
Itulah penggalan lirik lagu Rayuan Pulau Kelapa karya Ismail Marzuki yang menceritakan indahnya Indonesia. Dan memang Indonesia itu indah. Negeri eksotik dalam ragam pulau dan budaya. Mungkin itu cita-cita terpendam yang ingin saya wujudkan. Menjelajah Indonesia dan mengenali keindahannya. Tapi tak hanya itu. Di balik keindahan Indonesia ada banyak cerita tentang pendidikan yang tidak merata antara kota besar dan daerah. Dan itu jugalah yang menjadi bagian dari perjalanan saya dan teman-teman dalam mengkomunikasikan astronomi dan sains untuk masyarakat. Kemanapun kami bepergian, selain menikmati eksotiknya negeri Zamrud Khatulistiwa kami juga berbagi cerita tentang ilmu yang kami miliki. Jelas kami tidak bisa terus menetap di satu tempat tapi setidaknya kami berharap ada cerita dan kesan yang ditinggalkan yang bisa menginspirasi anak-anak Indonesia untuk terus belajar dan berkreasi.
Mungkin itu tema liburan saya kali ini saat saya dan Ronny Syamara memutuskan untuk ikut dalam acara keluarga ke rumah eyang rekan kami Bu Endang di Ngliman, Nganjuk. Perjalanan liburan bagi kami untuk mengunjungi air terjun Sedudo sekaligus menikmati langit di kaki gunung Wilis. Walaupun akhirnya karena hujan kunjungan ke air terjun Sedudonya malah batal dan langit malam nan indah dengan taburan bintang tidak dapat kami nikmati.
Perjalanan dimulai dari Jakarta dan Bandung dengan Kereta yang kemudian diteruskan dengan angkutan umum ke Ngliman. Sangat menyenangkan karena udaranya yang bersih dan jauh dari riuh rendah kesibukan kota. Tidak ada polusi cahaya.. dan tidak ada mall.
Karena niatnya ingin menikmati langit saya juga membawa teleskop portabel dan filter Matahari. Siapa tahu ada sesi dadakan melihat Matahari di desa. Ternyata, rumah eyang lokasinya tepat di depan SDN 1 Ngliman. Dan sebagai “yang pulang kampung” Bu Endang juga diperkenalkan ke guru-guru SD Ngliman sembari bercerita apa itu astronomi dan menawarkan sesi astronomi di SDN 1 Ngliman di masa depan. Para guru memang tidak menunjukkan antusias seperti halnya sekolah di kota tapi mereka masih menyatakan ketertarikan untuk mendengar ilmu yang “asing” ini sekaligus mengijinkan jika kami memang ingin datang lagi untuk berbagi ilmu.
Langit pagi itu memang berawan tapi menjelang siang, Matahari sedikit menampakkan wajahnya. Saat Matahari melongokkan dirinya dari balik awan, kami sedang bercengkrama di depan rumah. Melihat ada Matahari, saya dan Ronny berinisiatif untuk mengeluarkan kacamata Matahari. Ternyata anak-anak SD yang melihat kami bergaya dengan kacamata hitam ingin tahu ada apa dan kami pun memutuskan untuk menggelar teleskop dan nekat “nyerobot” menggunakan halaman sekolah untuk melakukan pengamatan Matahari bersama anak-anak SDN 1 Ngliman. Lucu juga sebenarnya karena mungkin para guru yang melihat kami berpikir “ini orang kota ngapain sih make halaman sekolah kami tanpa izin”. Tapi bagaimana lagi… halaman rumah eyang penuh pohon yang menghalangi pandangan.
Singkat cerita siang itu kami menggelar “SUN-day” untuk anak-anak sekolah di Ngliman yang super antusias untuk melihat Matahari sekaligus menghujani kami dengan segudang pertanyaan. Acara tanpa persiapan itu memang sedikit kacau karena susah sekali mengatur siswa yang sudah mengerubungi kami untuk antri. Para guru pun hanya menonton.. mungkin mereka juga bingung harus bagaimana. Tapi akhirnya setelah kami meminta bantuan para guru, ada juga yang mau membantu menertibkan siswa-siswanya. Untungnya juga, Sang Surya bersedia menampakkan wajanya cukup lama untuk dinikmati para siswa.
Sesi Sidewalk Astronomy aka masang teleskop di tempat umum ini pun berakhir ketika Matahari kembali bersembunyi di balik awan sekaligus mengingatkan para pria untuk sholat Jumat. Tapi ternyata sesi siang itu tidak berakhir sampai disitu. Malam harinya, anak-anak di desa Ngliman berdatangan ke rumah eyang mencari kami berdua dan minta diajari astronomi.
Akhirnya malam itu dengan berbekal Stellarium, SolarWalk dan film-film pendek, kami pun mendongeng astronomi di teras rumah eyang Karsimani. Berbagai pertanyaan kembali terlontar menuntut jawaban dari kami dan mengundang decak kagum anak-anak saat melihat simulasi langit. Malam itu, saya, Ronny dan Bu Endang, masing-masing berbagi cerita tentang astronomi dari sisi kami masing-masing.
Cerita malam berakhir ketika orang tua mulai berdatangan mencari anak-anak mereka dan desa Ngliman kembali dalam lelap diiringi langgam jawa yang terus mengalun mengiringi “pesta pernikahan salah satu warganya” sampai pagi.
Keesokan harinya, pada hari sabtu jam 7 pagi, siswa-siswa kembali meneriakkan nama kami untuk diminta bercerita. Oh my….. yang diteriakin aja belum bangun… hehehe….
Anak-anak ini antusias ingin belajar. Mereka bahkan meminta kami untuk tetap tinggal di desa mengajar mereka dan bertanya adakah buku yang bisa kami bawa untuk mereka baca. Ketika kami menawarkan memberikan buku ke sekolah, spontan anak-anak itu “nyeletuk”, “tapi kalau dikasih ke sekolah, kami ga pernah bisa baca”.
Wajah pendidikan di perkotaan dan pedesaan memang cukup jauh berbeda. Kalau di kota siswa bisa sekolah sampai sore, di Ngliman para siswa sepertinya lebih banyak bermain dan pulang jam 11.
Memang sih kami hanya 2 hari di Ngliman karena acara keluarga Bu Endang juga sudah berakhir dan kami harus kembali. Well.. kalau lama-lama saya juga bisa susah karena berkoordinasi untuk mengatur blog selama Bulan Astronomi Global hanya modal chatting susah ternyata. Tapi, meskipun liburannya berakhir dengan “astronomi” saya tetap bisa menikmati 3 hari menjauh dari suasana kota Bandung yang macet. Dan kami juga memutuskan akan kembali ke Ngliman untuk berbagi ilmu lebih banyak lagi dengan siswa siswi di desa Ngliman dan sekitarnya.
Akhirnya sabtu malam, saya dan bu endang kembali ke Bandung dengan kereta. Sementara Ronny melanjutkan petualangannya ke Bali mengunjungi Nekara Pejeng dan menggali cerita astronomi di balik sang Nekara.
kredit foto: Ronny Syamara & Avivah Yamani
mohon informasi untuk sesi astronomi di sekolah kami, SD Muhammadiyah GKB Gresik…
Mudah2an ilmu astronomi terus menyebar bukan hanya dikota besar,tapi juga didaerah nun jauh dari kota besar.siapa tahu diantara puluhan anak desa akan ada calon astronom.yang pintar seperti mbak ivi