Berbicara tentang astronomi di Indonesia, kita tak akan bisa lepas dari sosok yang satu ini. Ia adalah Bambang Hidayat, astronom generasi awal Indonesia yang telah mendedikasikan hidupnya mengembangkan astronomi di Indonesia.
Mula-mula, ia mendapat gemblengan dari sepasang astronom Belanda, suami-istri van Albada di Observatorium Bosscha. Salah seorang rekannya kala itu adalah almarhum Frater Drost, tokoh pendidikan yang dikenal dengan pandangan humanisnya. Pada tahun kedua kuliah, ia dipercaya menjadi asisten pengamatan bintang ganda dengan teropong Zeiss. Berturut-turut diselesaikannya tingkat sarjana pada tahun 1960, mendapat gelar doktor lima tahun kemudian dari Case Institut of Technology, AS, dengan bimbingan Prof. Sydney McCusky.
Pada usia yang relatif muda, Bambang dikukuhkan sebagai guru besar dalam usia 42 tahun. Jabatan sebagai kepala Observatorium Bosscha ia pegang sejak tahun 1968-1999. Pada tahun 1994, di den Haag, Bambang Hidayat terpilih menjadi wakil presiden IAU, satu-satunya organisasi astronomi internasional, selama kurun waktu 6 tahun.
Perjalanan astronomi Indonesia telah berumur lebih dari sepuluh abad. Pascaera astronom Belanda -demikian juga dengan ilmuwan-ilmuwan lain di ITB- terjadi alih generasi kepada angkatan selanjutnya, para pionir keilmuan bumiputra. Setelah Prof. The Pik Sin meninggalkan Indonesia, Bambang Hidayat memegang tongkat estafet selanjutnya, yaitu mengepalai Observatorium yang sangat penting, karena Bosscha merupakan satu di antara sedikit observatorium di bumi belahan selatan. Riset tentang struktur galaksi dan bintang-bintang muda dalam piringan galaksi Bima Sakti merupakan salah satu karya ilmiahnya yang penting.
Pada masa kepemimpinannyalah, di Observatorium Bosscha “disemai” para calon astronom yang kini sudah banyak berkiprah dalam berbagai forum ilmiah internasional. Iklim penelitianlah yang ia utamakan. Termasuk pula melibatkan pengertian para karyawan yang bertugas jaga malam. Jika malam cerah, Pak Jaga akan membangunkan astronom untuk melakukan pengamatan. Dengan sendirinya, lampu-lampu seluruh kompleks observatorium akan dimatikan.
Lahir di Kudus, 18 September 1934, pria yang memiliki nama kecil Puk ini mendapat “wangsit” dari -yang ia sebut sebagai nenek bijak pemberi arah- Roestami. Sang Nenek, yang buta huruf latin tapi mahir membaca dan menulis huruf Arab, menyarankan “pilihlah keilmuan dimana kelak kau merasa akan menyumbangkan pikiranmu”. Nasihat itu menjadi pendorong Bambang kala itu untuk memilih Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UI (di Bandung) tahun 1953 selepas lulus dari SMA bagian B di Semarang.
Watak seorang ilmuwan ia dapatkan juga dari sang Kakek. Bambang masih mengingat dengan jelas penampakan komet, Desember 1948. Tatkala masyarakat desa kecil Kradenan (Purwodadi) ramai membicarakan komet sebagai pertanda rahasia adanya wabah, sang kakek membisikinya “ojo percoyo gugon tuhon” (jangan percaya takhayul). Walaupun dua minggu kemudian tentara Belanda menyerang Yogyakarta (18 Desember 1948), sang kakek tetap menyatakan ojo percoyo gugon tuhon, dan belajarlah untuk menerangkan hubungan sebab akibat, seperti halnya penampakan komet. Selain itu, ia juga mendapat inspirasi dari bacaan di “Perpustakaan Rakyat”.
Bambang muda melihat betapa indahnya ilmu pengetahuan alam yang menjanjikan premis menuju “unknown” untuk dapat diungkap, asal dibarengi kejelian indra dan sensitivitas pikiran. Majalah “Ilmu Pengetahuan Alam” membuatnya menciutkan pilihan karena di situ disebutkan adanya pendidikan akademik Ilmu Bintang di Bandung. Tiga buku lain memantapkan pilihannya yaitu; “Tentang Ilmu Bintang”, buku berbahasa Jawa terbitan Balai Pustaka sebelum Perang Dunia II, “Pendidikan di Denmark” karya pedagog Belanda Jan Lighthart, diterjemahkan oleh St. Iskandar, serta buku “Sterrenkunde en Mensheid” oleh Minnaert (1952). Ia juga terkesan dengan pengalamannya di kepanduan, ketika mentornya Pak Abusono mengatakan tentang selendang Bima Sakti yang mengelus “Wulanjar Ngirim” (Rasi Bintang Centaurus), perawan yang mengirim makanan untuk ayahnya di “Gubug penceng” (Rasi Bintang Salib Selatan atau Crux).
Pilihannya dalam astronomi memang mantap. Meski bukan berarti tanpa hambatan. Dalam orasi ilmiahnya pada acara “Purna Tugas & 70 tahun Professor Bambang Hidayat” November 2004 di Aula Barat ITB, ia menyebutkan dorongan dari (alm) istrinya, Estiti yang juga guru besar Biologi ITB, membuatnya bertahan untuk bekerja di astronomi, di Indonesia, dalam keadaan sukar. “Pekerjaan belum selesai,” demikian ujar sang istri pada tahun 1974. Dedikasi dan karya Bambang bertahun-tahun kemudian memperkokoh fondasi astronomi Indonesia yang dilanjutkan oleh para astronom generasi setelahnya.
Sebagai pendidik, ilmuwan, dan anggota masyarakat, Bambang telah mengabdikan dirinya dalam sebuah periode waktu yang merentang panjang. Untuk kiprahnya itu, berbagai penghargaan telah ia terima. Tahun 2003, ia mendapat the Habibie Award untuk kategori sains dasar. Penghargaan dari masyarakat ilmiah internasional yaitu sebagai anggota kehormatan American Association for the Advancement of Science sejak tahun 2000, dan juga penghargaan dari The Royal Society Astronomy of England.
Kini, kakek tiga cucu ini dikenal sebagai sosok intelektual yang komplet. Kecintaannya pada sejarah, termasuk sejarah sains, tersebar dalam berbagai tulisan di media massa, sebagian telah dibukukan dalam “Mozaik Pemikiran : Sejarah dan Sains Untuk Masa Depan” (2004). Ia juga menjadi pelopor penulisan astronomi populer lewat majalah Siasat di tahun-tahun awal kiprahnya sebagai astronom.
Budaya menulis itu masih ia jaga sampai sekarang. Bahkan merentang luas hingga persoalan sosial budaya, tidak terbatas pada keastronomian. Di samping itu, aktivitas dalam komunitas juga dilakoninya. Ia juga tercatat sebagai salah satu pendiri Bandung Heritage, sebuah organisasi nonprofit yang peduli dengan pelestarian lingkungan, arsitektur, dan tradisi kota Bandung. Selain itu, ia juga merupakan anggota “boards of experts” majalah National Geographic Indonesia.
Ditemani koleksi buku-bukunya, Bambang Hidayat tidak pernah berhenti menggali semangat keilmuan dan sekitarnya, dan ia telah membuktikan lewat berbagai karyanya yang akan berguna abadi untuk generasi penerus.
dikompilasi dari tulisan penulis di Majalah Centaurus edisi perdana tahun 2005.
8 komentar