Hari Ketiga
Matahari pagi yang hangat menyambut kami setelah kami melalui malam hari dengan pendidikan ilmu-ilmu Astronomi dasar yang dikemas dalam bentuk permainan, presentasi, pengamatan, serta peragaan bagi 500 siswa di SD Wungu. Namun perjalanan belumlah berakhir. Masih ada beberapa tempat yang akan kami kunjungi. Kunjungan berikutnya adalah lokasi pengungsian korban Lumpur Lapindo yang berada di Pasar Baru Porong. Selain daerah Porong, kota Malang menjadi kota terakhir kunjungan berbagi ilmu Astronomi dalam perjalanan yang cukup panjang ini.
Daerah Porong masih asing bagi kami. Kami belum mendapat gambaran yang jelas bagaimana kondisi pengungsi yang sesungguhnya demikian pula kondisi psikologisnya. Pada saat mengontak koordinator bencana jauh hari sebelum perjalanan trans Jawa dimulai, Bapak Riyano selaku koordinator mengatakan bahwa jumlah anak mencapai 500 orang. Dengan jumlah yang besar ini, saat briefing singkat di Madiun, kami memutuskan roket air sebagai atraksi utama. Kunjungan kali ini adalah kunjungan siang. Atraksi yang menggunakan prinsip aksi-reaksi ini memiliki kecenderungan dapat mengumpulkan banyak orang. Planetarium dan teropong tidak dikeluarkan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Untuk anak-anak setingkat TK atau usia prasekolah, kegiatan mewarnai adalah kegiatan utamanya.
Tim dibagi dua, ada yang bertugas menyiapkan roket air dan ada yang bertugas masuk ke dalam ruangan kelas mengikuti sesi untuk anak-anak TK dan usia prasekolah. Berbeda dengan kunjungan kami di Madiun, dengan anak-anak sudah ramai berkumpul, kunjungan ke Porong diawali dengan kayuhan sepeda ibu guru TK setempat untuk memanggil siswa-siswanya yang tersebar di beberapa kios. Tidak tampak kerumunan anak-anak yang menyambut kami. Kios kecil di Pasar Baru Porong disulap menjadi rumah-rumah warga. Ternyata, anak-anak yang terkumpul tidak sampai 50 anak. Bu Nana sebagai koordinator acara memutuskan sesi roket air maupun roket evervesent ditiadakan mengingat siswa yang berkumpul berusia TK. Dokumentasi pun dilakukan dengan minim untuk menghindari kesan kami datang hanya ingin menonton para pengungsi. Kami memang tidak membawa sembako (sembiilan bahan pokok) ataupun materi berupa uang untuk dibagikan. Tujuan kami bukan itu. Kami membawa ilmu-ilmu langit yang dikemas dalam bentuk permainan, aktivitas, dan materi bahan ajar. Kami ingin mengajak anak-anak tersenyum, tertawa, dan bergembira.
Dan aktivitas bermain pun dimulai….
Perkenalan dilakukan di depan kelas. Salah seorang kru bercerita singkat tentang Astronomi. Sebuah poster Tata Surya terbaru pun dibentangkan oleh Bu Nana di depan kelas. Respons anak-anak yang kami dapatkan dari sesi perkenalan masih minim. Kegiatan selanjutnya adalah mewarnai. Kegiatan ini dilakukan secara berkelompok dalam beberapa meja yang sudah disatukan. Anak-anak didampingi oleh beberapa kru UNAWE-Indonesia. Sambil menemani anak-anak mewarnai sekaligus memberikan saran warna jika ditanya, para kru juga bercerita dan sesekali bertanya kepada anak-anak. Poster dan kartu remi seri Tata Surya pun ditebar di meja untuk mendapatkan perhatian anak sekaligus memancing rasa ingin tahu mereka terhadap gambar-gambar tersebut. Awalnya anak-anak hanya diam saja. Mereka tampaknya masih malu-malu. Tetapi seiring bergulirnya waktu, anak-anak akhirnya bisa berbaur dan beraktivitas. Yatny dan Hepi yang menggunakan media kartu remi mendapatkan respons positif dari anak-anak. Anak-anak dengan antusias menanyakan gambar-gambar yang ditunjukkan. Bahkan ada beberapa anak yang bercita-cita ingin menjadi astronot.
Karena waktu yang terbatas, aktivitas yang dilakukan tidak banyak. Sebelum sesi menggambar berakhir, Ainil maju ke depan kelas. Alumnus astronomi yang berniat melanjutkan program master di luar negeri ini bercerita tentang benda-benda langit seperti Matahari, Bumi tempat kita tinggal, arah terbit Matahari, serta kapan melihat bintang. Dengan komando dari Ainil, anak-anak pun bernyanyi lagu bintang kecil yang sangat menyentuh.
Waktu jualah yang membatasi kami. Sebelum berpamitan, kami berpesan pada anak-anak kalau ingin bermain kartu remi, rajin-rajinlah datang ke sekolah. Berbagai permainan sudah dititipkan ke ibu guru. Beberapa permainan lainnya, majalah, termasuk kartupos dititipkan juga pada pihak LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang mengurusi korban lumpur ini. Setelah mengucapkan salam perpisahan, anak-anak bersalaman satu-persatu dengan kru UNAWE-Indonesia.
Kami meninggalkan lokasi pengungsian pada sore hari. Tak lupa kami berpamitan dengan ketiga mahasiswa ITS yang telah membantu kami. Hujan yang cukup deras mengiringi kepergian kami. Aktivitas bersama para pengungsi ini memberi kesan mendalam kepada kami untuk selalu bersyukur terhadap kondisi yang kita alami. Ada orang-orang yang ternyata kondisinya lebih kurang beruntung dibandingkan kita.
Perjalanan berikutnya menuju ke Gunung Bromo merupakan kegiatan yang kami nanti-nantikan. Kami tiba di hotel sekitar pukul 21.00 WIB dan disambut minuman hangat sekoteng. Hawa dingin yang menusuk serta angin yang keras terdengar menderu-deru dari atap hotel.
Walaupun agak kecewa dengan cuaca yang mendung, pesona cahaya kota dengan kerlap-kerlip laksana kunang-kunang menjadi obat yang menghibur. Padahal jika cuaca cerah, sapuan sabuk Bimasakti yang terlihat dari puncak gunung yang minim cahaya tentunya menjadi keindahan tersendiri bagi kami yang rata-rata mengenyam pendidikan formal di jurusan Astronomi ITB ini. Sapuan jalur susu di langit ini juga menjadi tantangan tersendiri bagi para astrofotografer untuk mengabadikannya.
Malam semakin larut, kami harus segera beristirahat karena pukul 04.00 WIB pihak hotel akan membangunkan kami untuk mengamati Bromo dari puncak Gunung Pananjakan. Selamat beristirahat kembali! [BERSAMBUNG]
Sangat menyentuh sekali..
Keep up the good work !!!
Ditunggu lanjutan ceritanya ya No..