Selama ini para astronom mengira air dan gas tidak bisa bereaksi. Ternyata, dalam kondisi ekstrem reaksi kimia antara gas dan air di atmosfer planet muda bisa terjadi.

Planet-planet yang kita kenal di Tata Surya maupun yang mengitari bintang lain itu terbentuk dari gas, es, batuan, dan logam. Ketika para astronom melakukan pemodelan pembentukan planet, mereka memperoleh satu informasi penting. Materi yang membentuk planet ini tidak mengalami reaksi kimia satu sama lainnya.
Tapi, ternyata asumsi ini tidak tepat.
Reaksi Kimia di Planet Muda
Para ilmuwan planet dari UCLA dan Princeton justru menemukan jawaban berbeda pada planet-planet muda seukuran Bumi hingga Neptunus. Ketika planet-planet muda yang baru terbentuk ini sedang berada di bawah kondisi pemanasan intens alias suhu dan tekenan yang ekstrem, reaksi kimia antara air dan gas hidrogen bisa terjadi.
Reaksi ini menghasilkan percampuran air dan gas hidrogen di atmosfer planet-planet muda tersebut. Dan yang lebih mengejutkan, terbentuk hujan di kedalaman atmosfer planet tersebut!
Hasil pengamatan exoplanet memperlihatkan kalau planet-planet seukuran Bumi hingga Neptunus merupakan tipe planet yang paling umum ditemukan di Bimasakti. Planet-planet ini umumnya terbentuk dengan atmosfer hidrogen. Kondisi ini memungkinkan terjadinya interaksi antara hidrogen di atmosfer dan lelehan pada bagian dalam planet, selama jutaan hingga miliaran tahun. Interaksi antara atmosfer dan interior planet ini menjadi kunci penting untuk bisa memahami pembentukan planet dan evolusinya. Juga apa yang mungkin tersembunyi di balik atmosfernya.
Tapi, untuk memperoleh jawabannya, para astronom tidak bisa menciptakan kondisi temperatur dan tekanan ekstrem ketika planet terbentuk di dalam laboratorium. Karena itu mereka pun beralih pada simulasi dinamika molekul mekanika kuantum. Tujuannya tentu saja untuk menyelidiki bagaimana hidrogen dan air berinteraksi dalam rentang tekanan dan temperatur yang berbeda pada planet-planet seukuran Bumi hingga Neptunus.
Seringkali ada anggapan bahwa fisika dan kimia dasar sudah sepenuhnya dipahami. Setidaknya kita bisa mengetahui kapan suatu benda akan meleleh, larut, atau membeku. Tapi, saat membahas interior atau bagian dalam sebuah planet sampai bagian yang paling dalam, semua itu masih misteri. Tidak ada rujukan pasti apa yang terjadi dan para astronom harus mempelajari dan memprediksi apa yang terjadi dari data yang ada. Dan seringkali data itu terbatas. Apalagi untuk planet yang mengitari bintang lain. Rujukan terdekat, tentu saja planet di Tata Surya. Tapi, planet-planet seukuran Bumi hingga Neptunus atau yang kita kenal sebagai planet Bumi-super dan Neptunus-mini itu tidak ada di Tata Surya. Jadi, dari data yang terbatas, para astronom harus membangun asumsi untuk dibuktikan.
Simulasi Dinamika Molekul Planet
Untuk simulasi ini, para astronom membuat simulasi sistem yang terdiri dari hidrogen dan air, masing-masing dengan ratusan atom, lalu menghitung bagaimana keduanya saling berinteraksi di tingkat kuantum. Atom-atom tersebut merespons secara alami, seolah-olah mereka sedang diuji dalam eksperimen laboratorium dalam kondisi serupa.
Suhu planet bisa sangat panas ketika planet baru terbentuk, atau jika planet berada dekat dengan bintang induknya. Dari simulasi, planet-planet seperti ini akan memiliki atmosfer yang disusun oleh campuran homogen antara hidrogen dan air. Tapi, seiring evolusinya atau ketika planet makin tua, temperatur planet mendingin dan hidrogen serta air mulai terpisah. Pemisahan ini kemudian memicu “hujan” air yang turun ke bagian dalam atmosfer, menghasilkan panas yang tak terduga di kedalaman planet serta mengubah komposisi atmosfer dan evolusi planet tersebut selama miliaran tahun.
Ketika planet semakin dingin karena bertambahnya usia, awan pun terbentuk ketika uap air mengembun, pada bagian terluar atmosfer. Tak lama kemudian, hidrogen dan air mulai terpisah di bagian atmosfer dalam dan area inilah terdapat cadangan hidrogen dan air untuk planet. Pada saat inilah terjadi hujan di bagian dalam atmosfer saat air yang “lebih berat” turun sementara hidrogen yang lebih ringan naik. Akibatnya, terbentuklah lapisan luar kaya hidrogen dan lapisan dalam kaya air
Implikasi
Penemuan ini bisa membantu para astronom untuk memecahkan misteri mengapa Uranus lebih sedikit memancarkan panas dibanding Neptunus. Padahal keduanya memiliki ukuran yang hampir sama.
Hujan air diperkirakan lebih banyak di Neptunus dibanding Uranus, sehingga menghasilkan lebih banyak panas internal di Neptunus. Dan ini bisa menjelaskan mengapa aliran panas dari Uranus jauh lebih rendah dibandingkan Neptunus
Selain itu, hasil ini juga memberikan implikasi pada pemahaman terkait exoplanet planet laik huni dengan atmosfer hidrogen yang menyelubungi samudra air di bawahnya. Contohnya adalah exoplanet K2-18 b dan TOI-270 d. Jika temperatur internal planet seperti ini cukup tinggi, maka hidrogen dan air tidak bisa terpisah, melainkan terbentuk fluida homogen antara hidrogen dan air.
Jika air dan hidrogen bercampur di bagian dalam planet, maka struktur dan evolusi termal seukuran Bumi hingga Neptunus akan berbeda dari model standar. Tapi, jika planet lebih dingin, maka akan terbentuk lapisan terpisah yang kaya akan air, mungkin dalam bentuk cair.
Penelitian ini mempersempit pencarian sistem planet di Bimasakti dalam hal ini exoplanet kaya air yang berpotensi memiliki lautan air jika atmosfer hidrogen dan airnya bercampur. Dan dengan demikian para astronom bisa mengungkap faktor apa yang mungkin menentukan perbedaan ini.
Tulis Komentar