Dunia sains dan teknologi khususnya astronomi sedang memasuki tahap baru dengan diluncurkannya Teleskop luar angkasa James Webb (James Webb Space Telescope-JWST) pada hari Natal 25 Desember 2021 tahun lalu.
Teleskop luar angkasa ini diluncurkan untuk melengkapi kinerja teleskop luar angkasa Hubble (Hubble Space Telescope – HST) yang tengah mengorbit sekarang sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Nama teleskop baru ini diambil dari James E. Webb direktur kedua badan luar angkasa AS NASA dari tahun 1961 sampai 1968. Saat menjabat Webb memimpin NASA menjalankan program Apollo antara tahun 1961 – 1972 untuk mempersiapkan pendaratan manusia di bulan dalam rentang 1968 – 1972.
Mengapa perlu teleskop luar angkasa?
Kita tentunya paham bahwa makin jauh suatu obyek yang diamati dari kita maka akan makin kecil obyek tersebut tampak pada penglihatan kita. Misal di malam hari mobil yang melintas dekat dengan kita akan tampak besar dan terang namun saat masih jauh mungkin akan tampak hanya sebagai titik cahaya di kejauhan. Kita sekarang bisa bayangkan jika obyek langit besar, sekalipun ukurannya jauh lebih besar dari matahari kita namun akan tampak seperti noktah terang di langit karena jarak mereka yang teramat jauh dari bumi. Bintang, galaksi, nebula dan berbagai obyek kosmos (alam raya) jaraknya terhadap bumi dalam orde puluhan, ratusan atau bahkan jutaan tahun cahaya, di mana 1 tahun cahaya sama dengan jarak yang ditempuh cahaya dalam 1 tahun yaitu sekitar 9,5 ×1012 (9,5 diikuti 12 angka nol) km atau kurang lebih sama dengan jarak cahaya merambat antara matahari ke bumi pulang-pergi lebih dari 31 ribu kali.
Walaupun demikian bintang dan obyek langit tidak akan pernah mencapai keadaan ideal sebagai titik cahaya di langit seperti pada Gbr. 1 (kiri). Kenyataannya obyek langit saat dilihat di bawah teleskop tidak lagi tampak seperti titik tapi ibarat tinta yang meluber dan melebar sehingga terlihat lebih besar. Lebih jauh lagi selain meluber tersebut bintang akan tampak tidak diam di tempat tapi terlihat seperti menari-nari, bergerak ke sana ke mari seperti yang ditunjukkan di Gbr. 1 (kanan). Para astronom biasa menyebut penyimpangan citra (image) bintang dari titik idealnya sebagai seeing.
Seeing sendiri adalah sesuatu yang tak terelakkan, karena disebabkan oleh aliran udara pada atmosfir – di mana kita hidup di dalamnya. Tidak mungkin solusinya dengan melenyapkan atmosfir, karena berarti kita tidak bisa hidup lagi di bumi. Kemajuan teknologi memungkinkan alternatif solusi dengan mengkompensasi penyimpangan yang disebabkan oleh atmosfir sehingga citra bintang dapat direkonstruksi mendekati idealnya. Teknologi ini disebut Optika Adaptif (Adaptive Optics) yang sebenarnya diadopsi dari teknologi masa perang dingin tahun 60 – 70an dan dikembangkan untuk memotret satelit ketinggian rendah di atmosfir. Namun walaupun dapat meminimumkan gangguan udara efek atmosfirnya tidak akan dapat total hilang. Solusi yang paling tuntas ialah memindahkan teleskop ke luar bumi sehingga tidak terganggu oleh atmosfir sama sekali.
Dengan membawa teleskop ke luar angkasa resolusi teleskop dapat dinaikkan secara signifikan. Dalam optik, cabang fisika yang mendalami fenomena cahaya, resolusi didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem optik untuk mencitrakan dua obyek yang letaknya saling berdekatan. Sistem optik yang dimaksud dapat berupa kamera, mikroskop dan lain-lain termasuk teleskop bahkan mata kita sendiri. Hal ini diilustrasikan pada Gbr. 2(a):dua obyek titik cahaya dicitrakan oleh sistem optik. Jika sistem optik tersebut memiliki resolusi rendah maka dua titik cahaya yang berdekatan tidak dapat dipisahkan dan akan dicitrakan menjadi satu obyek (atas). Sebaliknya sistem dengan resolusi yang lebih tinggi akan mencitrakan dua titik cahaya tersebut juga menjadi dua obyek terpisah, walaupun citra yang di tengah diperoleh dari sistem yang resolusinya yang lebih rendah dibanding citra ideal di bawah di mana citra kedua obyek benar-benar terpisah. Dalam konteks ini titik cahaya ini adalah bintang dan sistem optiknya ialah teleskop.
Astronom biasa menggunakan istilah resolusi sudut (angular resolution) untuk menyatakan daya pisah teleskop dan juga seeing. Resolusi sudut ialah sudut q pada Gbr. 2(b) yang terbentuk oleh cahaya obyek langit yang difokuskan ke mata kita (atau sistem optik secara umum). Biasanya resolusi sudut dinyatakan dalam detik busur (arc second), di mana 1 derajat = 60 menit busur dan 1 menit busur = 60 detik busur atau 1 detik busur = 1/3600 derajat. Dengan demikian kita dapat menilai citra bintang yang tajam pada Gbr. 1 (kiri) memiliki resolusi sudut yang lebih kecil dibanding seeing bintang pada Gbr. 1 (kanan). Umumnya seeing teleskop landas bumi (ground-based telescope) berkisar 1 – 2 detik busur namun sangat tergantung keadaan atmosfir setempat. Jika atmosfir sangat turbulen bahkan seeing dapat mencapai 5 detik busur atau lebih. Dengan teleskop berada di luar angkasa yang tidak terhalangi atmosfir sama sekali daya pisahnya dapat mencapai nilai idealnya – yang hanya dibatasi oleh efek difraksi – hingga kurang dari 0,1 detik busur atau setidaknya 10 kali peningkatan resolusi dibanding teleskop bumi. Pada level resolusi ini identik dengan teleskop dapat melihat bola sepak dari jarak 550 km.
Kinerja teleskop luar angkasa seperti HST untuk meningkatkan resolusi dicontohkan pada Gbr. 2(c) di mana pengamatan dilakukan oleh teleskop Subaru di puncak gunung Mauna Kea, Hawaii (diameter cermin utama 8 m, kiri) dan HST (diameter cermin utama 2,4 m, kanan). Secara teoretis makin besar diameter cermin utama satu teleskop maka makin tinggi resolusi citranya, sehingga idealnya citra dari teleskop Subaru akan nampak lebih tajam. Namun karena turbulensi atmosfir, seeing di lokasi teleskop Subaru umumnya sekitar 0,8 detik busur (dengan seeing terendah yang pernah dicapai hingga 0,4 detik busur). Bandingkan dengan seeing ‘teoretis’ HST yang dapat mencapai 100′ lebih rendah dibanding Subaru pada 0,08 detik busur sehingga detail obyek galaksi yang tampak kabur pada citra Subaru akan menjadi jelas pada HST.
Ide yang bukan baru
Ide membuat teleskop dan observatorium di luar bumi sebenarnya bukan ide yang baru. Namun banyak terkendala dengan teknologi untuk membawanya ke luar angkasa. Tak lama setelah Perang Dunia II astrofisikawan dari Universitas Yale AS Lyman Spitzer dalam publikasinya di tahun 1946 menjelaskan setidaknya ada 2 keuntungan utama teleskop luar angkasa dibanding di bumi yaitu bebas gangguan atmosfir sehingga teleskop luar angkasa dapat mencapai resolusi 100 kali lebih tajam dibanding teleskop di Bumi dan hanya dibatasi oleh kemampuan resolusi optik teleskop. Saat itu bahkan belum ada benda yang diluncurkan dari bumi untuk mengorbit (satelit).
Tahun 1957 Uni Sovyet meluncurkan satelit pertama Sputnik yang hanya berukuran sebesar bola pantai, mengorbit hanya kurang dari 3 bulan sebelum jatuh ke bumi. Selain menandai awal perlombaan angkasa antara AS and Uni Soviet dalam suasana perang dingin saat itu Sputnik menunjukkan bahwa meluncurkan benda ke luar angkasa dan mengorbitkan bukan hal yang tak mungkin.
AS segera meluncurkan satelit saingan setahun yang sama dan di tahun yang sama badan antariksa dan luar angkasa (NASA) diresmikan Presiden Kennedy untuk memulai program perlombaan luar angkasa untuk menyaingi Uni Soviet. Namun ide Spitzer sayangnya ini tidak masuk dalam agenda program luar angkasa pemerintah AS. Baru di akhir tahun 60an datang perhatian dari Akademi Nasional Ilmu Pengetahuan (NAS) yang menerbitkan laporan tentang pemanfaatan ilmiah teleskop besar luar angkasa yang intinya mendukung ide Spitzer hampir 25 tahun yang lalu. Walaupun ada perhatian, dan para ilmuwan dan insinyur mulai membentuk kelompok kerja untuk merealisasikan ide teleskop luar angkasa, ini tidak berarti pemerintah mendukung pendanaan proyek teleskop luar angkasa.
Lebih dari 7 tahun kemudian barulah Konggres AS menyetujui anggaran program ini dan proyek untuk merealisasikan ide Spitzer resmi dimulai di awal tahun 1977. Proyek pembangunan teleskop luar angkasa besar ini kemudian menghasilkan teleskop luar angkasa besar yang dinamai Hubble untuk menghormati astronom AS Edwin Hubble. HST diluncurkan di tahun 1990 setelah mengalami penundaan karena program pesawat ulang-alik (space shuttle) NASA yang dihentikan hampir 4 tahun akibat kecelakaan pesawat ulang-alik Challenger di tahun 1986. Sampai sekarang, setelah lebih dari 30 tahun mengorbit, HST telah menambah secara signifikan pengetahuan manusia tentang alam semesta yang sebelumnya tidak tercapai karena keterbatasan kemampuan teleskop di bumi.
Melengkapi kinerja teleskop Hubble
Sekalipun ramai diberitakan disebutkan sebagai pengganti HST namun NASA sebagai pemilik proyek ini bersama European Space Agency (ESA) dan Canadian Space Agency (CSA) ini lebih suka menyebut teleskop luar angkasa baru ini sebagai melengkapi (to complement) dan memperluas pencapaian sebelumnya oleh HST. Hal ini dikarenakan setelah JWST diluncurkan HST akan masih tetap beroperasi hingga beberapa tahun ke depan. Di samping itu HST dan JWST bekerja pada spektrum yang berbeda.
Dari fisika kita mengetahui bahwa cahaya tampak, IR, UV, X-ray, gelombang radio adalah bagian dari spektrum gelombang Elektromagnetik (EM) yang lebar membentang dari panjang gelombang yang sangat pendek seperti gelombang X-ray sampai panjang gelombang yang sangat besar seperti gelombang radio. Cahaya yang tampak (visible) bagi mata kita hanya menempati sebagian spektrum gelombang EM dari sekitar 0,4 – 0,7 mm (1 mm = seperseribu mm). Cakupan spektral HST dominan di cahaya tampak dan sedikit di UV (Ultra Violet), sementara JWST didesain untuk bekerja pada daerah Infra Red (IR). Spektrum gelombang EM dan daerah kerja HST, ditunjukkan di Gbr. 3.
Daerah spektrum yang disebut sebagai IR sendiri berbeda batasannya antara satu komunitas sains dengan yang lain. Namun biasanya dalam astronomi spektrum IR dibagi dalam 3 pita: pita Near IR dari 0.7 – 2,5 mm Mid IR antara 3 – 25 mm dan Far IR untuk panjang gelombang (spektrum) di atas 25 mm. JWST sendiri beroperasi dari panjang gelombang 0.7 mm (merah) hingga 28,3 mm- yang sebenarnya sudah di luar pita Mid IR. Sehingga secara keseluruhan JWST beroperasi mulai daerah visual panjang gelombang untuk warna merah hingga Far IR. Dengan demikian jika HST dan JSWT dioperasikan bersama maka spektrum yang dicakup menjadi sangat lebar, mulai dari UV hingga Far IR, dengan spektrum yang bertumpuk (overlapping) di daerah sekitar panjang gelombang merah. Makin lebar pita spektrum yang dicakup makin banyak informasi yang dapat diperoleh dan makin terbuka kemungkinan menguak informasi tentang kosmos yang sebelumnya belum diketahui.
Spektrum IR
Cakupan spektrum JWST dipilih pada daerah IR karena gelombang EM pada pita ini mampu melewati partikel yang dapat menghamburkan cahaya tampak. Cahaya (tampak) dari bintang, galaksi, nebula dan benda langit lainnya untuk menuju ke bumi harus melewati banyak penghalang termasuk debu dan partikel kecil di ruang antar bintang. Sayangnya cahaya tampak memiliki panjang gelombang yang hampir sama, atau lebih kecil, dibanding ukuran debu bintang sehingga oleh partikel ini cahaya akan dihamburkan dan berkurang jumlahnya yang sampai ke mata. Sebaliknya gelombang EM dalam pita IR memiliki panjang gelombang lebih besar dibanding ukuran debu bintang sehingga lebih kecil kemugkinannya untuk dihamburkan dan dapat menembus debu bintang lebih baik menuju detektor. Dengan demikian lebih banyak informasi yang diperoleh saat mengamati benda langit dengan mendeteksi radiasi gelombang EMnya pada daerah IR dibanding dengan spektrum tampak.
Tameng matahari
Namun pemilihan spektrum pada daerah IR juga menimbulkan tantangan tersendiri yang lain. Gelombang IR adalah radiasi gelombang EM yang berasal dari benda yang panas. Dalam masa pandemi sekarang kita mungkin sering mendengar kamera IR untuk mendeteksi suhu badan sebagai gejala seseorang terinfeksi virus Covid-19. Makin tinggi suhu badan seseorang maka kamera IR akan menghasilkan citra obyek yang makin tinggi kecerlangannya.
Pada dasarnya semua obyek apapun dengan temperatur di atas nol mutlak (-273.15°C) akan meradiasikan panas dalam bentuk gelombang IR, yang intensitasnya tergantung pada suhu obyek. Sekalipun nanti berada di luar angkasa dengan suhu yang jauh lebih rendah dibanding bumi karena posisinya terhadap bumi JWST akan tetap terpapar matahari. Sementara itu radiasi matahari intensitasnya jauh lebih besar dibanding sinyal dari benda langit yang letaknya sangat jauh dalam orde puluhan, ribuan bahkan hingga jutaan tahun cahaya sehingga kekuatan sinyal dari obyek yang diamati JWST sangat lemah. Sinyal yang amat lemah ini harus ‘bersaing’ latar belakang cahaya intensitas tinggi dari matahari.
Solusinya ialah teleskop harus diisolasi dari sinar matahari, khususnya cermin utama menangkap cahaya dan juga instrumen saintifik teleskop. Sebagai piranti elektronik modul instrumen saintifik (science instrument) sendiri secara internal akan menghasilkan gangguan yang disebut sebagai derau termal (thermal noise) – derau yang dihasilkan rangkaian elektronik selama suhu rangkaian tersebut di atas nol derajat absolut. Derau ini dapat mengganggu atau bahkan merusak sinyal lemah dari benda langit yang sebenarnya.
Bagian JWST yang diproteksi dari sinar matahari (tidak semua komponen dilindungi dari matahari, misal panel surya yang membangkitkan listrik untuk operasi JWST) dengan tameng matahari dari bahan bernama Kapton – bahan polimer yang dikembangkan perusahaan kimia AS Du Pont yang memiliki insulasi termal yang tinggi dan stabil pada rentang suhu yang sangat lebar dari -260 hingga hampir 400°C – situasi yang diperlukan di luar angkasa yang temperaturnya bisa berubah dengan drastis. Bukan hanya satu namun ada 5 lapisan layar Kapton (Gbr. 4) yang dipakai pada tameng matahari JWST, dan masing-masing berbentuk layangan dengan besar seukuran lapangan tenis sekitar 22 m x 10 m.
Selain insulasi termal oleh Kapton setiap layar dilapisi dengan aluminium untuk memantulkan cahaya matahari yang datang. Ketebalan masing-masing layar, dengan lapisan reflektornya, kurang lebih hanya setebal diameter rambut manusia (sekitar 100 mm). Dalam operasinya nanti tameng ini akan menghadap matahari untuk melindungi teleskop (Gbr. 4). Sisi yang menghadap matahari (sisi panas) akan bersuhu dari 25 hingga lebih dari 80°C namun setelah melewati kelima lapisan tameng di sisi teleskop (sisi dingin) suhunya turun hingga -233°C. Suhu yang sangat rendah diperlukan oleh JWST agar derau termalnya tetap jauh di bawah sinyal lemah IR dari obyek yang diamati, dan pada dasarnya konstruksi tameng matahari inilah teknologi yang memungkinkan JWST dapat beroperasi di daerah IR seperti yang diharapkan.
Sensitivitas yang lebih tinggi
Seperti HST, komponen optik utama JWST juga terdiri dari 2 cermin. Cermin utama bertugas mengumpulkan cahaya dari benda langit dan memantulkannya ke cermin sekunder. Cermin sekunder kemudian memantulkan cahaya dari cermin utama ke peralatan saintifik yang merekam dan mengolah data sebelum ditransmisikan ke bumi untuk diolah dan dianalisa lebih lanjut. Cermin utama JWST terdiri dari 18 segmen masing-masing dengan diameter (luar) 1,32 meter dan total diameter 6,5 meter, atau lebih dari 2,5 kali cermin primer HST yang berdiameter 2,4 m (Gbr. 5). Walaupun ukurannya lebih besar cermin primer JWST lebih ringan dibanding HST karena pemakaian cermin heksagonal yang modular (dibandingkan cermin HST yang monolitik) serta densitas massa cermin per luas permukaan yang hanya 1/10 dari HST.
Selain itu walaupun cermin JWST lebih besar dibanding HST, sehingga idealnya resolusi JWST lebih tinggi dibanding HST, namun karena beroperasi di daerah spektrum yang berbeda secara keseluruhan resolusi JWST hampir sama dengan HST. Tujuan utama cermin JWST dibuat lebih besar dibanding HST ialah untuk menangkap cahaya lebih banyak, tentunya di pita IR. Salah satu target saintifik untuk JWST galaksi yang sekarang berada di tepi alam semesta, sekitar 13,7 milyar tahun cahaya. Karena alam semesta yang terus mengembang target observasi ini ialah sebenarnya galaksi saat masih baru lahir dan terbentuk.
Agar dapat melihat obyek yang teramat jauh dan redup diperlukan cermin yang besar. Sensitivitas teleskop, atau seberapa jauh detail dapat diamati, berbanding lurus dengan luas permukaan cermin yang menangkap cahaya dari obyek jauh yang diamati. Makin besar area cermin untuk menangkap cahaya, ibarat ember besar yang dapat menangkap lebih banyak air hujan dibanding yang lebih kecil. Para saintis dan insinyur yang mendesain JWST telah mengkalkulasi untuk menangkap cahaya dari galaksi jauh, dikombinasikan dengan kemampuan instrumen saintifik yang akan digunakan, diperlukan cermin utama berukuran kurang lebih 6 meter. Cermin primer JWST dengan demikian mempunyai luas permukaan untuk menangkap cahaya lebih dari 6 kali lipat dibanding HST.
Jika cermin utama HST terbuat dari gelas yang dilapis dengan aluminium – untuk memantulkan hampir 100% cahaya dalam spektrum tampak – cermin utama JWST terbuat dari material logam alkalin yang bernama Beryllium (nomor atom 4 pada susunan berkala). JWST akan beredar pada orbit luar angkasa pada jarak sekitar 1,5 juta km dari bumi dan dikarenakan harus terlindung dari sinar matahari suhu operasional teleskop ini sangat rendah kurang lebih minus 240°C (33 K). Dibandingkan gelas – material utama cermin pada HST (yang mengorbit pada ketinggian hanya 540 km) Beryllium lebih baik dalam beroperasi pada suhu yang sangat rendah. Material ini mengalami kontraksi dan deformasi jauh lebih kecil dibanding gelas dan karakteristik bahannya hampir tidak berubah pada temperatur yang sangat rendah. Cermin beryllium ini dilapis dengan emas sebagai reflektor yang baik untuk gelombang IR.
Melihat masa lalu lebih jauh
Pertanyaan yang paling sering muncul tentang teleskop ialah berapa jarak yang paling jauh di luar angkasa yang dapat dilihat? Pertanyaan ini mungkin muncul karena teleskop termasuk keluarga instrumen optik untuk melihat jauh, seperti halnya teropong, baik monocular (satu mata) maupun binocular (dua mata), yang dipakai untuk melihat benda pada jarak yang jauh.
Ada satu pengertian yang harus diluruskan sebelum menjawab pertanyaan ini, yaitu aktivitas yang kita sebut sebagai melihat pada dasarnya untuk mengetahui apa yang terjadi pada sesuatu secara visual pada saat yang sama dan waktu itu juga. Hal ini dapat dipahami karena cahaya merambat dengan kecepatan yang sangat tinggi dan – dalam fisika yang umum berlaku sekarang – tidak ada yang merambat lebih cepat dari cahaya. Sehingga apa yang terjadi sekarang pada satu obyek, selama cahaya yang dipantulkan darinya sampai ke mata kita, keadaan itu jugalah yang kita amati saat itu – atau sering disebut sebagai keadaan waktu-nyata (real time).
Namun situasi ini tidak berlaku dalam astronomi. Karena jarak bintang yang dalam orde puluhan, ratusan, ribuan atau malah lebih dari jutaan tahun cahaya maka apa yang kita lihat di bawah teleskop bukan apa yang terjadi di sana saat itu juga. Apa yang kita lihat berasal dari cahaya yang sudah menempuh perjalanan puluhan juta tahun sebelum sampai ke mata kita. Bukan tidak mungkin saat kita melihat suatu bintang maka sebenarnya bintang itu sudah tidak ada lagi karena cahaya dari benda langit itu harus menempuh puluhan juta tahun sebelum sampai ke mata kita sementara saat dalam perjalanan menuju mata bintang tersebut sudah berpindah, berubah atau bahkan meledak. Apa yang kita lihat di langit sekarang sebenarnya adalah masa lalu alam semesta. Sehingga pada dasarnya sulit untuk menjawab pertanyaan berapa jauh suatu teleskop dapat melihat karena pertanyaan ini memerlukan kondisi visual yang real time. Pertanyaan ini bertambah sulit dijawab karena fakta bahwa alam semesta ini tidak diam tapi terus berekspansi.
Saat membicarakan obyek langit yang sangat jauh kita perlu menggunakan pendekatan teori relativitas umum Einstein, yang menyatakan ekspansi alam semesta membuat jarak antara obyek di alam semesta memanjang sehingga obyek (galaksi) bergerak menjauh satu sama lain. Bukti ekspansi alam semester ini ditemukan dari pengamatan astronom AS Edwin Hubble – yang namanya menjadi nama teleskop luar angkasa yang juga sedang mengorbit sekarang – di akhir tahun 20an. Dia menemukan bahwa satu galaksi saling bergerak menjauh dari yang lain dan kecepatan menjauhnya kurang lebih proporsional dengan jarak antar galaksi tersebut. Artinya makin besar jarak antar galaksi makin tinggi kecepatan menjauhnya sehingga alam semesta, setidaknya sampai sekarang, selalu mengembang dan sama sekali tidak menunjukkan perlambatan. Kondisi visual real-time untuk pertanyaan di atas makin sulit dipenuhi.
Konsekuensi lain ialah cahaya yang ada dalam ruang tersebut akan ikut memanjang dan menggeser panjang gelombang ke arah lebih besar. Inilah yang menyebabkan obyek jauh akan terlihat sangat redup atau bahkan gelap pada spektrum tampak karena cahaya yang sampai pada mata kita sudah bergeser ke arah panjang gelombang besar IR – yang mata kita tidak mampu melihat tanpa bantuan piranti tambahan. Fenomena pergeseran panjang gelombang ini disebut sebagai pergeseran merah (redshift).
Di pertengahan abad ke 19 fisikawan Austria Christian Doppler memformulasikan secara matematis fenomena pergeseran frekuensi gelombang (yang kemudian lebih dikenal dengan namanya sebagai Doppler shift) jika sumber dan penerima gelombang bergerak relatif satu sama lain. Fenomena ini lazim kita temui dalam kehidupan sehari-hari, misal saat ambulans melintas melewati kita. Saat masih jauh dan ambulans mendekat terdengar gelombang bunyi sirene dengan frekuensi yang tinggi. Namun begitu kendaraan itu melewati dan menjauh frekuensi sirenenya akan terdengar turun, atau bagi kita sebagai pengamat (pendengar) frekuensi suara sirene bergeser – dari tinggi ke rendah – saat ambulans mendekat lalu menjauh. Karena panjang gelombang berbanding terbalik dengan frekuensi maka saat menjauh panjang gelombang sirene akan terdengar bertambah besar.
Hal yang sama terjadi pada cahaya karena cahaya adalah juga gelombang seperti halnya cahaya maka fenomena pergeseran frekuensi atau panjang gelombang ini juga terjadi pada cahaya. Sumber asal cahaya dari bintang, galaksi, nebula dan lain-lain karena makin menjauh dari kita, berdasarkan temuan Hubble, maka panjang gelombang cahaya yang kita amati akan mengalami redshift (pergeseran merah), yaitu panjang gelombang cahaya yang bergeser ke arah lebih panjang ke arah merah dan makin jauh bergeser ke arah Near IR dan seterusnya ke Far IR.
Ilustrasi redshift ditunjukkan pada Gbr. 6. Redshift inilah yang ditemukan Hubble pada semua galaksi yang diamatinya di mana semua benda langit spektrumnya bergeser ke arah merah dan lebih jauh lagi ke daerah IR. Selain alasan hamburan oleh debu bintang, spektrum kerja JWST dipilih pada daerah IR untuk menangkap sejauh mungkin pergerakan menjauh alam semesta. Makin jauh benda langit, juga karena cahaya memerlukan waktu untuk mencapai kita, berarti makin jauh ke belakang kita bisa melihat dalam waktu.
Kembali ke pertanyaan awal berapa jauh jarak satu teleskop dapat melihat, para astronom akan lebih dapat menjawab dengan tepat jika pertanyaannya dimodifikasi menjadi: berapa tahun ke belakang satu teleskop dapat melihat? Dengan spektrum IRnya yang lebih jauh serta resolusi yang lebih tinggi dibanding HST diharapkan JWST dapat melihat lebih masa lalu alam semesta lebih jauh. Sebagai perbandingan HST dapat melihat ke masa lalu saat galaksi sudah ‘balita’. Dengan JWST diharapkan kita bisa melihat masa lalu alam semesta saat bintang-bintang baru lahir dan galaksi masih ‘bayi’ sekitar 200 juta tahun setelah ledakan besar alam semesta (big bang), atau lebih dari 13 milyar tahun yang lalu (Gbr. 7).
Mengungkap lebih jauh rahasia alam semesta
Setelah mengalami beberapa penundaan, termasuk akibat pandemik Covid-19, NASA menetapkan JWST akan diluncurkan pada hari Natal tanggal 25 Desember 2021 memakai roket Ariane 5 dari Guiana Space Centre milik Perancis dan ESA di Kourou, French Guiana di pantai timur laut Amerika Selatan. JWST akan dipindahkan dari tempat perakitan akhirnya di fasilitas uji perusahaan penerbangan AS Northrop Grumman di Long Beach, California, AS via laut ke Kourou. JWST akan diluncurkan dalam keadaan terlipat sehingga dapat masuk ke dalam cargo roket peluncurnya dan akan mengembang dan terpasang setelah berada di luar angkasa.
Setelah peluncuran JWST akan mengalami beberapa tahapan sebelum beroperasi penuh, mulai dari mengembang dan terpasangnya panel surya, lalu antena komunikasi disusul tameng matahari, cermin utama sekunder dan terakhir cermin utama primer sebelum kemudian meluncur ke lokasi yang disebut titik L2 (Lagrangian 2). Nama titik ini diambil dari nama fisikawan Perancis abad ke 18 Joseph Lagrange yang menemukan solusi matematis untuk masalah yang bernama problem 3 benda (three-body problem). Problem itu mencari konfigurasi yang stabil di mana 3 benda dapat saling mengorbit tapi tetap di posisi yang sama relatif satu sama lain. Lagrange menemukan ada 5 titik lokasi yang disebut L1 hingga L5 seperti yang ditunjukkan pada Gbr.Gambar 4 kanan di mana pada kelima-titik ini gaya tarik gravitasi dua massa yang besar akan sama dengan gaya sentripetal yang diperlukan benda yang lebih kecil untuk ikut bersama bergerak dengan kedua obyek besar. Dalam konteks ini dua massa besar ialah matahari dan bumi dan obyek kecil adalah JWST. Pada titik L2, kurang lebih 1,5 juta km dari bumi, JWST akan tetap segaris dengan bumi yang mengitari matahari. JWST sebenarnya tidak diam namun akan beredar di sekitar titik L2 dan dapat memanfaatkan posisi bumi dan bulan sebagai tameng besar dari radiasi kuat matahari. Seluruh tahapan hingga JWST siap beroperasi di orbitnya dan menghasilkan data ilmiah pertama diperkirakan memakan waktu 6 bulan sejak peluncuran.
Pada jarak yang sedemikian jauh dari bumi, bebeda dengan HST, tidak ada jadwal pemeliharaan atau perbaikan pada JWST. HST hanya mengorbit pada ketinggian sekitar 550 km dari permukaan bumi sehingga dapat dicapai dengan wahana pesawat ulang-alik (space shuttle) untuk perbaikan, dan sejak diluncurkan tahun 1990 NASA telah meluncurkan 5 kali misi perbaikan pada HST. Di lain pihak JWST akan mengorbit pada L2 yang lokasinya lebih dari 1.500 kali jarak HST ke bumi, dan terlampau jauh untuk mengirim misi servis ke sana. Misi JWST memang didesain seperti satelit biasa pada umumnya untuk tidak mengandalkan pada opsi perbaikan dan inilah yang menyebabkan desain sistem wahana baru ini sampai memakan lebih dari 10 tahun termasuk 7 tahun program merancang uji dan integrasi sistem yang dapat diandalkan sehingga semua kemungkinan masalah saat mengorbit nanti dapat dideteksi sebelun peluncuran dan dapat diperbaiki. Di samping itu JWST juga dilengkapi dengan kemampuan mendeteksi sehingga, dengan dipandu pengendali misi dari bumi, diharapkan dapat menyelesaikan masalahnya sendiri saat beroperasi nanti.
Memang kinerja sebenarnya JWST belum dapat kita lihat karena wahana ini bahkan belum diluncurkan. Tapi hasil yang diharapkan diperoleh nanti dapat di’ekstrapolasi’ dari kemampuan HST yang sekarang beroperasi.
Sekalipun daerah kerja utama pada spektrum tampak dan sebagian kecil UV HST masih dapat menangkap citra bintang di spektrum Near IR walaupun kemampuannya terbatas. Gbr. 9 menunjukkan citra ‘Pillar of Creation’ pada nebula Eagle M16 di konstelasi Serpens (sekitar 7.000 tahun cahaya dari bumi) yang diambil HST tahun pada pita spektrum tampak, dan citra obyek yang sama pada pita Near IR 0,8 – 2,5 mm (kanan) juga oleh HST. Tampak pada citra IR lebih banyak bintang yang terungkap yang sebelumnya tidak terlihat karena tertutup debu nebula dan bintang.
Dengan kemampuan IR yang terbatas pada HST ternyata lebih banyak obyek langit yang terdeteksi yang sebelum tidak terungkap. JWST yang bekerja penuh di bentang spektrum IR diharapkan dapat mengungkapkan lebih banyak lagi bintang, galaksi, nebula dan obyek langit lainnya yang tidak terlihat sebelumnya. dan membantu kita menyibak rahasia alam semesta lebih jauh lagi.
1 komentar