Ini awalnya: kami ingin mengamati gerhana.
Alasannya pun cukup dua kata saja: gerhana matahari.
Pada tanggal 20 Maret 2015 terjadi gerhana matahari yang jalur totalitasnya melewati Samudera Atlantik Utara, Kepulauan Faroe, dan Kepulauan Svalbard. Ini relatif dekat dengan tempat tinggal kami di Heidelberg, Jerman.
Tidak setiap bulan kita bisa mengamati peristiwa tertutupnya piringan Matahari oleh Bulan yang lewat di depannya. Maka satu bulan sebelum gerhana, kami berdiskusi mengenai terbang ke Kepulauan Faroe untuk mengalami momen totalitas, tepatnya, Gerhana Matahari Total.
Biaya perjalanan untuk terbang dari Frankfurt, bandara terdekat dari tempat tinggal kami di Heidelberg menuju Kepulauan Faroe, sebuah kepulauan milik Denmark, ternyata terlalu mahal bagi kami. Belum lagi biaya penginapan selama beberapa hari dan hal-hal lain seperti transport lokal dan biaya makan serta jajan. Ada pula kemungkinan bahwa seluruh penginapan telah habis, dipesan para pemburu gerhana sejak jauh hari sebelumnya.
Pergi ke Kepulauan Svalbard di atas lingkaran arktik, lebih-lebih lagi. Walaupun sudah awal musim semi, iklim di sana adalah iklim arktik dan suhu pasti dingin sekali. Kami tidak punya dana untuk menyiapkan baju hangat iklim arktik. Ditambah, kemungkinan menghadapi serangan beruang kutub yang jamak terjadi di sana (penghuni Kepulauan Svalbard yang ingin bepergian keluar dari pemukiman diharuskan membawa senapan untuk melindungi diri dari serangan beruang kutub).
Risiko cuaca mendung di situs gerhana, adalah satu risiko lain lagi yang tidak siap kami hadapi. Sudah keluar uang banyak untuk terbang ke tempat gerhana matahari total terjadi, eh nggak tahunya ketika sudah sampai tidak bisa melihat gerhana! Duh.
Akhirnya kami menghela napas dan harus mampu menerima kenyataan bahwa kami hanya bisa mengamati gerhana parsial di daerah penumbra, yaitu daerah bayangan sekitar umbra yang lebih besar di mana gerhana masih diamati sebagai gerhana sebagian. Adapun seberapa persen bagian Matahari yang masih terlihat, bergantung pada jarak tempat tersebut dari umbra. Semakin jauh dari umbra, semakin kecil bagian Matahari yang tertutupi.
Tulisan ini, menceritakan pengalaman kami melakukan pengamatan Gerhana Matahari sebagian yang kami saksikan dari lapangan terdekat di tempat kami tinggal sementara ini, di Heidelberg.
Pagi hari pengamatan
Tak terbayangkan di flat kontrakan kami yang kecil di Altstadt Heidelberg, sepagi itu sudah begitu ribut. Pertama, karena bangun kesiangan sekitar pukul 08.30 pagi. Kedua, setelah bangun, kami dengan tergesa berusaha tuk membereskan rumah yang jadi berantakan dengan potongan kardus bekas dan sisa prakarya lainnya yang dikerjakan semalaman.
Saat jam mendekati pukul 09.00 pagi, Tri yang sudah sangat siap menyongsong peristiwa alam yang tak jatuh tiap tahun di tempat-tempat tertentu di bagian bumi langsung berusaha tuk mandi, sementara saya yang tahu persis gerhana matahari sebagian yang akan melewati Jerman pada hari tersebut tanggal 20 Maret 2015 – akan jatuh pada pukul 09.30 dan berlangsung selama dua jam lebih, malah berusaha ke dapur dulu. Memanggang kentang dan nasi daging serta membuat coklat panas, itulah yang saya lakukan.
Matahari akan bersinar dan tak ada kabut akan menghalangi langit Heidelberg hari itu, suhu pun akan berada di antara 09-12 derajat. Sempurna! Saya sudah mengetahuinya semalam dari website tentang cuaca. Jadi tak ada yang harus ditakutkan atau membuat saya khawatir ketinggalan peristiwa gerhana. Ditambah dua kacamata hasil prakarya telah siap, sebuah helm dengan bentuk yang rada-rada aneh tapi cukup keren dan aman tuk melihat peristiwa bulan bundar yang dengan berani menggigit matahari, juga sudah tersedia.
Siip!!
Khawatir apalagi?
Saya tinggal keluar rumah dan menenteng kamera!
Geometri gerhana
Gerhana matahari, sebagaimana yang telah diketahui semua orang, terjadi karena Matahari, Bulan, dan Bumi pada saat yang bersamaan berada pada satu garis. Kesegarisan ini tidak terjadi setiap saat karena orbit Bumi mengelilingi Matahari tidak satu bidang dengan orbit Bulan mengelilingi Bumi, melainkan miring sekitar 5 derajat. Seandainya orbit Bulan dan Matahari sebidang, setiap satu bulan sekali akan terjadi gerhana Matahari dan gerhana Bulan silih berganti. Namun karena kenyataannya tidak demikian, maka kita harus menunggu konfigurasi yang tepat saat Bulan dan Matahari, dilihat dari Bumi, bertemu di titik pertemuan bidang ekliptika (bidang orbit Bumi mengelilingi Matahari) dengan bidang orbit Bulan.
Saat konfigurasi ini terpenuhi, maka manusia di Bumi dapat mengamati peristiwa tertutupnya Matahari oleh Bulan. Tepatnya: orang-orang yang berada di lokasi di mana bayangan Bulan jatuh di permukaan Bumi.
Jalur jatuhnya bayangan Bulan ini, disebut umbra. Umbra sempit sekali, dan pada gerhana matahari 20 Maret kali ini, umbra akan jatuh sebagian besar di Lautan Atlantik Utara. Daratan yang dilewati mencakup Kepulauan Faroe dan Kepulauan Svalbard di utara Norwegia. Di luar bayangan tersebut, ada daerah bayangan yang lebih besar yang disebut penumbra, dan pada daerah ini orang dapat mengamati gerhana matahari parsial.
Di lokasi yang berada tepat di bawah bayangan yang disebut umbra, kita akan dapat mengamati Gerhana Matahari total yaitu ketika Matahari sepenuhnya tertutupi Bulan. Pada saat yang sekejap dan terjadi hanya dalam selang waktu antara 1 hingga 7 menit, langit mendadak menjadi gelap sebelum akhirnya kembali terang ketika Bulan bergerak menjauhi piringan Matahari. Sebuah momen yang amat magis dan sudah pernah dituliskan di situs ini beberapa tahun yang lalu.
Walau kecewa karena menyadari kondisi keuangan yang tak memungkinkan untuk bisa pergi ke Pulau Faroe atau pergi ke Kepulauan Svalbard supaya bisa mengamati gerhana matahari total, tapi saya cukup bersemangat dan pada akhirnya mempersiapkan diri mengamati gerhana matahari meski cuma parsial.
Heidelberg, tempat kami tinggal, berada di daerah penumbra dengan cakupan sekitar 75%. Artinya, pada saat puncak gerhana (parsial) terjadi, Bulan akan menutupi sekitar 75% dari Matahari apabila diamati di lokasi di mana saya dan Ucu akan melakukan pengamatan dan pengambilan gambar.
Yah lumayan lah… Daripada tidak bisa melihat gerhana sama sekali.
Membuat kacamata gerhana
Melihat langsung ke Matahari sangat berbahaya dan dapat merusak mata. Kebutaan permanen dapat terjadi. Tentu saja tidak secara langsung, tapi perlahan dan yang paling pertama rusak adalah syaraf retina. Oleh karena itu mata harus dilindungi apabila kita ingin mengamati Matahari secara langsung, atau menggunakan cara lain untuk mengamati Matahari secara tidak langsung.
Kami pun mencoba membuat kacamata gerhana sendiri. Caranya, dengan menggunakan film hitam-putih yang dibakar, lalu dicuci.
Untuk yang tidak akrab dengan penggunaan film guna keperluan fotografi, di mana belakangan ini banyak digantikan dengan kamera digital yang cukup menggunakan memory card untuk menampung data gambar yang diambil kamera: film yang dimaksud disini adalah semacam pita plastik yang lebarnya 35 mm atau 6 cm (tergantung ukuran kamera yang digunakan. Lebar 35 mm disebut dengan film format kecil, sementara 6 cm disebut dengan film format menengah). Film ini memiliki panjang beberapa meter dan biasanya dijual di toko-toko untuk keperluan fotografi atau film kamera analog. Satu gulung film format kecil dapat dipakai untuk mengambil sekitar 36 citra foto.
Film yang dilapisi emulsi dan mengandung perak halida ini sangat peka cahaya. Perak halida, yaitu senyawa kimia yang tersusun atas perak dan unsur-unsur halogen (Fluor, Klor, Bromin, Yodium). Ketika film ini terkena cahaya, terjadi proses kimia yang akan mengubah perak halida dalam emulsi, menjadi citra yang tersembunyi. Proses pencucian dengan larutan kimia, akan dapat memunculkan citra ini, yang disebut klise atau negatif.
Dalam penggunaan normal, film seharusnya diletakkan di dalam kamera. Film hanya boleh dikenai cahaya dalam jumlah yang sangat terbatas dan terkendali, hingga bisa terbentuk citra. Adapun yang dimaksud dengan film terbakar yang digunakan untuk filter dalam pembuatan kacamata gerhana, adalah, kita sengaja membuka film tersebut dan dipaparkan pada cahaya matahari langsung sehingga seluruh perak halida dalam emulsi akan menghasilkan gambar hitam: film jadi terbakar!
Nah, lapisan perak yang terbentuk setelah proses pencucian inilah yang akan dapat menapis sebagian besar sinar Matahari, termasuk sinar ultraviolet dan inframerah yang berbahaya bagi mata. Itulah kenapa kita gunakan materi film yang terbakar ini sebagai filter hingga kita bisa melihat gerhana tapi tidak dengan kontak mata langsung saat mendongak ke arah Matahari.
Penting ditekankan disini bahwa film yang relatif aman untuk digunakan melindungi mata kita adalah film hitam-putih yang menggunakan perak halida sebagai lapisan emulsi. Bukan film berwarna atau film transparansi (slide atau diapositif) karena film-film jenis ini menggunakan pewarna dan bukan perak halida sebagai bahan dasar pembuatannya. Beberapa film hitam-putih yang sudah diuji dan cukup dikenal, diantaranya adalah merk: Ilford FP4 dan Kodak T-Max 100 (*penyebutan nama produk bukan bagian dari sponsor untuk tulisan ini hanya untuk menyebut merk yang sudah dikenal di kalangan para penjual saja :D)
Dua hari sebelum gerhana, salah seorang dari kami pergi ke toko film dan membeli Ilford FP4. Kami beli format menengah (medium format) agar dapat leluasa menutupi mata. Film tersebut lalu dibuka, dipapar ke matahari, dan dicuci sendiri di rumah. Sambil menunggu film kering kami membuat pola kacamata di atas kardus bekas dan mengguntingnya. Setelah film kering, kamipun memasukkan dua lapis film terbakar yang telah kami proses, lalu kami letakkan tepat di bagian mata di atas kardus bekas yang telah kami desain menyerupai kacamata.
Pengujian filter buatan untuk kacamata gerhana yang kami bikin sendiri, yang paling akurat adalah dengan menggunakan spektrofotometer. Karena kami tidak punya akses ke alat tersebut, kami mengujinya dengan cara menatap langsung ke arah Matahari yang terik benderang, sehari sebelum gerhana terjadi. Apabila setelah beberapa jam mata kami baik-baik saja, maka kemungkinan besar filter buatan sendiri ini berfungsi dengan baik.
Selasa, 19 Maret sebelum hari H terjadinya gerhana, satu buah kacamata gerhana sudah selesai kami bikin. Di Uniplatz, lapangan dekat gedung utama Universitas Heidelberg saat kami bergantian melakukan tes kacamata gerhana dan melakukan tes kamera serta lensa, seorang ibu mendekat dan bertanya di mana dia bisa membeli kacamata seperti yang kami punya. Dia mengetahui besok gerhana Matahari akan terjadi dan katanya orang di Jerman juga bisa menyaksikannya, tapi ia tak bisa menemukan di mana bisa membeli kacamata gerhana untuk melihat peristiwa yang akan terjadi besok hari tersebut.
Sebelumnya, kami kebetulan juga sempat mengecek di mana orang bisa membeli kacamata gerhana dan kami mendapati sebuah website yang menjual secara online kacamata tersebut, tapi si distributor berada di dekat München dan tentu membutuhkan waktu untuk mengirim si kacamata. Itulah juga salah satu alasan kenapa kami memilih membuat sendiri kacamata gerhana versi kami. Membuat kacamata sendiri, tentu juga lebih ekonomis. Harga kacamata yang dijual di website online: 15 euro per kacamata. Modal yang kami butuhkan untuk membuat kacamata gerhana DIY: 7 euro saja! Yaitu untuk membeli satu roll Ilford FP4, materi selebihnya: kardus bekas. Dari satu roll film tersebut, kami bisa membuat 2 filter untuk kacamata plus 1 helm gerhana.
Setelah tes dilakukan dan mata kami baik-baik saja, dengan cukup percaya diri kami akan pergi ke Karlsplatz esok hari dan melakukan pengamatan gerhana dengan kacamata dan lensa kamera yang kami bikin sendiri.
Mengamati dan mengabadikan gerhana
Karlsplatz. Alun-alun itu adalah salah satu dari alun-alun atau lapangan besar dari banyak platz atau alun-alun atau lapangan yang berjejer sepanjang Aldtstadt Haupstrasse daerah sekitar tempat kami tinggal.
Kami memilih tempat tersebut karena berpendapat bahwa tempat itu cukup besar dan luas untuk melakukan peneropongan gerhana, dan yang terutama, biasanya tempat itu sepi alias tidak terlalu ramai oleh para turis dan penduduk. Membayangkan membuat video time-lapse dari kamera dengan orang yang banyak berlalu lalang, tentu sangat mengganggu. Bagaimana kalau tripod kesenggol? bagaimana kalau ada anak kecil lari-lari lalu ‘bruk!’ jatuh tepat di kaki tripod? Hancur sudah harapan untuk bisa membuat sendiri time-lapse gerhana parsial yang filter tambahan khusus gerhana-nya telah kami persiapkan.
Untuk merekam gerhana, kami menggunakan kamera Sony Nex-6 yang dilengkapi lensa Nikkor 100 mm (ada adaptor lensa yang bisa menyambungkan lensa non-Sony dengan badan kamera). Di depan lensa kami pasang filter yang terbuat dari film terbakar seperti yang telah kami ceritakan di atas, dan kami biarkan kamera merekam seluruh perjalanan gerhana.
Bukan hanya kami yang melakukan pengamatan dan pengambilan gambar di tempat tersebut. Sejak pertama datang, telah terlihat sekelompok orang yang telah terlebih dahulu melakukan pengamatan gerhana, mengambil gambar dengan kamera pro dan amatir, atau yang cuma berkerumun melihat Gerhana Matahari dengan saling meminjam kacamata dari teman-temannya dan bergantian memakai kacamata tersebut lalu mendongak ke langit. Beberapa turis dan penduduk setempat, secara menyebar tapi masih berada di lokasi yang sama yakni Karlsplatz tampak memakai kacamata gerhana dan juga mendongak ke arah di mana Bulan dan Matahari sedang mengalami kontak. Beberapa yang tak memiliki kacamata mendatangi kami serta kerumunan tersebut, dengan senang hati tentu saja kami meminjamkan bergantian kacamata gerhana dan helm yang telah kami bikin dan berkali mendengar komentar “Wooow… schön!” dan “Wooow… nice!” saat kacamata gerhana dipakai oleh mereka dan pemandangan di atas langit siang itu terlihat di depan mata di balik filter gerhana.
Ada sepasang pemburu gerhana yang juga sama seperti kami melakukan perekaman gambar di Karlsplatz. Nampaknya lelaki berkacamata dan perempuan yang saling sapa dengan kami tapi tak saling bertukar nama tersebut telah berpengalaman mengabadikan berbagai gerhana. Mereka mengatakan, pernah juga mengamati gerhana matahari 1999, gerhana total terakhir yang jalur totalitasnya melintasi daratan Eropa.
Menggunakan lensa 300 mm dan tripod yang bisa dikendalikan dengan remote control, mereka memotret gerhana. Ada dua kamera yang mereka pasang. Mereka tiba lebih dahulu dari kami, dan terus bersama kami sampai kontak terakhir, saat proses gerhana selesai pada jam 12 lewat. Bersama, kami berempat bertepuk tangan ke langit, puas telah berhasil mengamati dan mengabadikan pertunjukan balet kosmik ini sampai usai seluruh prosesnya.
Matahari Heidelberg, kini telah sepenuhnya cerah!
Membuat video time-lapse
Berhasil mengumpulkan sekitar 2 jam rekaman video dari seluruh proses gerhana, sesungguhnya kami merasa agak menyesal karena proses kontak pertama tidak terekam di kamera. Kami baru sepenuhnya melakukan perekaman pada jam 10.00, karena keluar rumah baru pada pukul 09.45 kemudian melakukan seting ini itu pada kamera.
Tapi lagi-lagi apa daya, kami harus bisa puas dengan data visual yang kami punya. Sekembalinya ke rumah, seluruh rekaman video yang kami punya, kami olah untuk dijadikan video time-lapse.
Karena kamera diletakkan di atas tripod yang statis, maka Matahari (dan Bulan) dalam hasil rekaman video kami bergerak di sepanjang medan pandang kamera. Dari sisi bawah kiri frame, Matahari (dan Bulan) terus bergerak semakin ke atas menuju ujung kanan frame dan terus-terusan terjadi begitu dalam hampir semua rekaman yang dihasilkan.
Kami ingin, dalam frame kami, setiap saat Matahari (dan Bulan) ada di tengah gambar. Maka dibutuhkan teknik-teknik tertentu untuk mencari titik pusat piringan Matahari, dan kemudian melakukan cropping di sekitar titik pusat tersebut. Ini harus dilakukan secara otomatis untuk setiap gambar yang akan dijadikan bagian dari video time-lapse.
Menulis script Python untuk melakukan pekerjaan ini, itulah kemudian yang dikerjakan. Pertama-pertama, untuk setiap satu file video, setiap frame diekstrak menjadi satu gambar. Pada gambar ini lalu diterapkan Transformasi Hough untuk mencari titik pusat lingkaran. Ekstraksi frame dari file video dan algoritma pencarian lingkaran dilakukan dengan menggunakan paket OpenCV yang sudah di-port ke Python.
Untuk sebuah frame, metode ini sering tidak akurat dalam menentukan titik pusat lingkaran. Bahkan kadang-kadang keliru mendeteksi piringan Bulan dan bukan piringan Matahari. Bila metode ini berhasil mendeteksi baik piringan Bulan dan piringan Matahari, maka tidak sulit untuk mengetahui yang mana piringan Matahari (tentunya itu adalah yang paling terang di antara keduanya), namun akan menjadi persoalan apabila hanya piringan Bulan yang dideteksi.
Atas saran seorang teman astronom Korea Selatan yang juga bekerja di MPIA, Dae-Won Kim, kami kemudian memperlakukan seluruh data pengukuran lokasi titik pusat Matahari di setiap frame dalam satu footage sebagai sebuah deret waktu. Artinya, dari data ini dapat diharapkan kita dapat membuat model yang dapat meramalkan pergerakan piringan Matahari di sepanjang medan pandang kamera.
Usul ini lalu diterapkan dengan memodelkan pergerakan piringan Matahari sebagai fungsi linear terhadap waktu (fungsi polinomial mungkin bisa lebih teliti, namun kami tidak ingin terlalu rumit dalam pemodelan ini). Dengan menggunakan data posisi titik pusat piringan Matahari terhadap waktu, kami melakukan analisis regresi dengan metode Bayesian Ridge Regression yang sudah diimplementasikan dalam Python pada paket Scikit-learn. Analisis regresi ini dilakukan dua kali: Pertama dengan menggunakan semua titik data, kedua kalinya dengan menolak titik-titik di mana Transformasi Hough keliru mengidentifikasi piringan Matahari dan malahan mengidentifikasi piringan Bulan. Kami mengidentifikasi titik-titik yang ditolak dengan cara mencari titik-titik yang jaraknya lebih dari 5 piksel dari garis model hasil analisis regresi.
Alhasil, kami sukses menemukan titik-pusat piringan Matahari untuk setiap frame yang kami butuhkan.Video time-lapse di mana piringan Matahari relatif stabil berada di tengah video, itulah yang kemudian kami dapatkan:
Penutup
Lega rasanya telah melihat dan melewati peristiwa gerhana matahari dan cukup puas juga dengan serangkaian persiapan meski ala kadarnya, namun berakhir dengan hasil. Tak sempurna, tapi cukup bikin hati senanglah… Untuk pertamakalinya kami berhasil merekam peristiwa alam ini.
Membuat script untuk mengedit data visual di antara hari kerja, ternyata cukup seru juga. Sebuah pengalaman baru yang pertama kali Tri lakukan. Melihat proses pembuatan kacamata, editing dengan menggunakan penulisan script program yang beda dengan cara biasa Ucu melihat editor filmnya bekerja, dan bahkan melakukan pengamatan Gerhana Matahari dengan sadar seutuhnya bahwa itu adalah peristiwa gerhana, juga merupakan pengalam pertama bagi Ucu di usia yang sudah dewasa. Hehe.
Mengingat semua pengalaman yang telah terjadi dua minggu kemarin, saat ini kami sudah tak sabar untuk mengikuti perkembangan gerhana-gerhana selanjutnya yang akan terjadi lagi. Jadwal gerhana matahari total yang setiap tahunnya bisa dilihat jatuh pada tanggal berapa dan bertempat dimana saja, bisa ditengok di situs Fred Espenak alias Mr. Eclipse.
Untuk tahun depan, sebagaimana informasi yang tercantum dan tentu sudah menjadi informasi umum bagi para astronom, pemburu gerhana, atau mereka yang tertarik dengan peristiwa alam tersebut, Indonesia adalah tempat untuk mengamati Gerhana Matahari Total. Selanjutnya, Gerhana Matahari ini memang akan melewati Indonesia pada tanggal 9 Maret 2016, dengan informasi selengkapnya dapat ditemukan di sini.
Maka, mari… bersiaplah Indonesia!
kalau tau kalian bakal ngamat kan gw bisa bekelin si ucu ama filter gw hehehehe
Mana gue tau loe punya filter. Gw bisa pake buat teleskop gw punya.
gw masih ada bbrp filter lembaran.