Pernahkah terpikir bagaimana seandainya dua buah planet saling bertabrakan? Dan seandainya tabrakan itu terjadi seperti apakah kehancuran yang dibuat? Hipotesa seperti apa tabrakan antar planet memang sudah bisa diprediksi oleh para peneliti. Namun kini mata Spitzer berhasil melihat bukti yang lebih nyata kalau kejadin itu memang benar-benar pernah terjadi.
Mata inframerah milik Spitzer berhasil menemukan sisa tabrakan tersebut dan berhasil pula melihat betapa brutalnya kejadian itu.
Kedua planet yang bertabrakan itu diperkirakan sebesar Bulan dan Merkurius beberapa ribu tahun lalu – tidak terlalu lama jika diukur dalam waktu kosmik-. Tabrakan ini menghancurkan obyek yang lebih kecil, menguapkan sejumlah besar batuan dan melontarkan lava panas ke angkasa.
Detektor Spitzer juga berhasil menangkap tanda dari batuan yang menguap itu beserta potongan lava beku yang disebut tektites. Tabrakan ini tentunya sangat besar dan dalam kecepatan tinggi sehingga batuan bisa menguap dan mencair. Tentunya lagi, ini bukan kejadian biasa yang bisa terjadi setiap saat. Tabrakan yang terjadi dengan singkat ini sangatlah langka namun sekaligus berperan besar dalam pembentukan planet seperti Bumi dan juga Bulan.
Kalau menurut Carey M. Lisse dari Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory, Laurel, Md, “Kita sangat beruntung bisa menyaksikan kejadian ini tak lama setelah tabrakan berlangsung.” Tabrakan kosmik ini mirip dengan tabrakan yang terjadi saat pembentukan Bulan 4 milyar tahun yang lalu saat obyek berukuran Mars menghantam Bumi.
Tabrakan yang mmbentuk ulan tersebut memang sangat hebat sehingga dapat melelehkan permukaan Bumi. Sisa dari tabrakan itu sendiri tampaknya tak berada jauh dari piringan yang mengeliling Bumi dan kemudian bergabung membentuk Bulan. Tabrakan dengan skala yang sama jugalah yang dilihat Spitzer kali ini. Apakah sisa dari tabrakan ini akan membentuk bulan memang belum dapat diketahui namun yang diketahui adalah permukaan batuan besar yang dilihat itu berwarna merah, panas, hancur dan meleleh.
Sejarah awal Tata Surya memang kaya dengan bermacam-macam dongeng kehancuran. Kehancuran yang disebabkan oleh tabrakan kecil maupun besar. Bahkan diperkirakan sebuah tabrakan raksasa telah mencabik lapisan merkuri sampai lapisan terluarnya, membalikan sumbu putaran uranus dan membuat venus berputar pada arah berlawanan dibandingkan arah putaran planet lainnya. Tapi kekejaman ini memang wajar dan selalu terjadi saat sebuah planet sedang terbentuk.
Planet batuan terbentuk dan menjadi besar sebagai akibat dari tabrakan yang kemudian saling bergabung pada intinya dan melepaskan sebagian permukaannya. Saat ini Tata Surya memang sudah dalam keadaan stabil namun bukan berart tabrakan tidak lagi terjadi. Sebulan yang lalu, kita baru saja dikejutkan dengan tabrakan sebuah objek dengan Jupiter.
Lisse dan timnya melakukan pengamatan pada bintang HD 172555 yang berusia 12 juta tahun dan berada sekitar 100 tahun cahaya jauh di selatan rasi Pavo, atau rasi si Burung Merak (sebagai perbandingan, usia alam semesta saat ini 4,5 milyar tahun). Para astronom menggunakan spektograf pada Spitzer untuk memisahkan cahaya bintang dan dimulailah pencarian sidik jari kimia pada spektrum. Yang ditemukan juga tak biasa. Spektrumnya tidak biasa!
Setelah melakukan analisis, diidentifikasikan terdapat sejumlah besar silika tak berbentuk atau lelehan kaca. Silika di Bumi bisa ditemukan di batu obsidian dan tektites. Batuan obsidian merupakan kaca vulkanik yang berkilau dan berwarna hitam sedangkan tektites merupakan gumpalan lava padat yang diperkirakan terbentuk saat meteorit menghantam Bumi.
Tak hanya itu. Tim ini juga berhasil mendeteksi gas silikon monoksida yang mengorbit dalam jumlah besar. Gas silikon monoksida diperkirakan terbentuk saat batuan mengalami penguapan. Dan sebagai tambahan, para astronom juga menemukan puing-puing batuan yang kemungkinan terhempas dari kejadian yang menghancurkannya di sebuah sistem planet.
Massa debu dan gas yang diamati ini jika digabungkan ternyata dua kali massa Bulan. Tentunya tabrakan yang terjadi itu kecepatannya sangat tinggi. Kemungkinan kedua benda ini bergerak dalam kecepatan relatif sekitar 10 km/detik terhadap satu sama lainnya (22400 mil per jam) sebelum terjadinya tabrakan.
Teleskop Spitzer berhasil menjadi saksi mata tabrakan asteroid besar sebelumnya namun tidak pernah menemukan tipe kehancuran yang sama, yakni terjadinya pelelehan dan penguapan batuan tersebar di mana-mana. Yang ia temukan sebelumnya adalah sejumlah besar debu, kerikil, puing sebesar batu besar yang mengindikasikan tabrakan yang lebih lambat.
Dengan demikian bisa disimpulkan tabrakan yang berhasil dilihat Spitzer ini merupakan tabrakan yang sangat dasyat dan terjadi hanya dalam kedipan mata.
Sumber : NASA
Wow..
artikel yg sangat menarik Vie 🙂
thanks for sharing 🙂
animasinya keren abis :-bd
waa… keren abiiizz…!
tp syang krang lngkap…:)