fbpx
langitselatan
Beranda » Dentuman dari Meteoroid di Bali

Dentuman dari Meteoroid di Bali

Sebuah dentuman terdengar di pulau Bali bagian utara pada Minggu 24 Januari 2021 pukul 10:27 WITA lalu.

Rekaman gelombang seismik unik pada sensor BMKG di Sngaraja (atas) dan sensor PVMBG di Gunung batur (bawah). Gelombang seismik ini berbeda dibanding pola umum gelombang seismik akibat aktivitas tektonisme maupun vulkanisme. Sehingga secara alamiah hanya bisa disebabkan oleh peristiwa masuknya meteoroid besar ke dalam atmosfer Bumi. Sumber : Sudibyo, 2021 diolah dari BMKG & PVMBG, 2021.
Rekaman gelombang seismik unik pada sensor BMKG di Sngaraja (atas) dan sensor PVMBG di Gunung batur (bawah). Gelombang seismik ini berbeda dibanding pola umum gelombang seismik akibat aktivitas tektonisme maupun vulkanisme. Sehingga secara alamiah hanya bisa disebabkan oleh peristiwa masuknya meteoroid besar ke dalam atmosfer Bumi. Sumber : Sudibyo, 2021 diolah dari BMKG & PVMBG, 2021.

Dentuman terdengar dalam area yang cukup luas. Tak sekedar penduduk pulau Bali bagian utara, dentuman yang sama dilaporkan terdengar pula oleh sejumlah penduduk Banyuwangi. Simultan dengan dentuman tersebut, dua sensor seismometer berbeda mengendus gelombang seismik khas. Tak bisa dirasakan oleh siapapun karena terlalu lemah, namun usikannya cukup kuat dapat direkam oleh kedua sensor tersebut.

Yakni pada sensor Singaraja milik BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) dan sensor Gunung Batur milik Pos Pengamatan Gunung Api Batur di bawah PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi). Sensor BMKG mulai merekamnya pada pukul 10:27:15 WITA hingga 20 detik kemudian. Sedangkan sensor PVMBG mulai merekamnya lebih lambat 65 detik dibanding sensor BMKG. .

Baik pada sensor BMKG maupun PVMBG, seismogramnya memiliki pola khas yang berbeda sama sekali dengan pola gempabumi tektonik dan vulkanik pada umumnya. Maka disimpulkan bahwa seismogram tersebut tidak terkait dengan aktivitas tektonisme maupun vulkanisme. Pola gelombang dalam seismogram tersebut mengesankan sebagai pola-mirip ledakan. Dan jika ditinjau berdasarkan prosedur standar analisa gempabumi, maka usikan seismik itu memiliki magnitudo 1,1 dalam tipe magnitudo lokal. Gelombang berpola mirip-ledakan umum dijumpai dalam peristiwa masuknya meteoroid besar ke atmosfer Bumi yang selanjutnya berkembang menjadi meteor.

Beberapa saksi mata menuturkan mereka melihat satu kilatan cahaya sesaat sebelum terdengarnya dentuman. Dengan memperhitungkan aktivitas penerbangan di kawasan tersebut pada saat dentuman terjadi serta prediksi jatuhnya sampah antariksa, maka sementara ini disimpulkan bahwa dentuman Bali lebih terkait dengan peristiwa tumbukan benda langit. Yakni masuknya meteoroid besar ke dalam atmosfer Bumi dengan segala efeknya.

Dentuman tersebut didahului oleh kilatan cahaya terang dan kemudian diikuti merambatnya gelombang seismik unik. Maka diindikasikan bahwa aktor utamanya adalah sebuah boloid, yakni meteor-sangat terang (magnitudo lebih besar dari –8) yang selalu diiringi dengan fenomena dentuman sonik. Boloid bisa memproduksi dentuman sonik lewat proses perlambatan yang simultan dengan fragmentasi bertingkat. Bergantung pada tipe meteoroid, dimensi dan kecepatan awalnya, maka pada ketinggian tertentu proses simultan tersebut akan mencapai puncaknya. Sehingga boloid sangat terlambatkan dan membuatnya melepaskan mayoritas energi kinetiknya. Peristiwa mirip ledakan di udara ( airburst ) ini melepaskan gelombang kejut yang bisa menjangkau paras Bumi dengan dampak bergantung kepada besarnya energi airburst.

Berapa ukuran meteoroid yang mengalami airburst di Bali dapat diperkirakan dengan mempertimbangkan tiga faktor. Pertama, faktor rasio konversi energi akustik–ke–seismik yang bernilai sepersepuluhribu hingga sepersepuluh juta. Gelombang kejut merupakan gelombang akustik dan pada saat menyentuh paras Bumi terdapat sebagian kecil diantaranya yang bakal berubah menjadi gelombang seismik. Faktor kedua adalah magnitudo minimal –8 yang menjadi syarat batas. Dan faktor ketiga bersifat semi–empirik, mengacu pada fenomena dentuman tunggal sehingga mungkin kurang atau sama dengan karakter boloid Bangkok (Thailand) 7 September 2015.

Baca juga:  Asteroid Kuno Mengungkap Sejarah Tata Surya

Usikan seismik unik dari Bali memiliki magnitudo 1,1 sehingga setara energi seismik 2,8 MegaJoule. Mempertimbangkan ketiga faktor di atas, maka meteoroidnya akan cukup padat karena mirip dengan meteorit akondrit bermassa jenis 5 gram/cm³. Jika bentuknya dianggap seperti bola, maka meteoroid penyebab dentuman Bali memiliki diameter antara 70 hingga 280 sentimeter. Massanya antara 1 hingga 57 ton bilamana memasuki atmosfer dengan kecepatan awal 20 km/detik. Dengan ciri-ciri seperti itu, boloid yang dibentuknya akan mengalami airburst pada ketinggian antara 30 hingga 36 kilometer dari paras Bumi. Rentang energi yang dilepaskan pada saat airburst terjadi berada di antara 0,04 hingga 3 kiloton TNT. Rentang energi tersebut cukup kuat guna memproduksi suara dentuman yang bisa kita dengar namun masih terlalu kecil guna menghasilkan kerusakan minimal sekalipun bagi paras Bumi dibawahnya.

Selisih waktu antara seismogram dari sensor BMKG dan PVMBG menjadi indikasi bahwa titik nol dentuman (yakni titik yang tepat berkedudukan di bawah lokasi airburst ) adalah lebih dekat ke Singaraja dibandingkan Gunung Batur. Maka dapat dikatakan, area dimana boloid tersebut mengalami airburst adalah di pulau Bali bagian utara tak jauh dari Singaraja.

Tentu saja perhitungan dan pemodelan ini masih bersifat sementara. Untuk memastikan apa yang terjadi di atas Bali saat itu, dibutuhkan data infrasonik yang biasanya direkam stasiun-stasiun infrasonik dalam jejaring sistem pemantauan larangan ujicoba nuklir global segala matra CTBTO. Hingga saat ini data-data infrasonik tersebut belum dipublikasikan.

Muh. Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang suka menatap bintang dan terus berusaha mencoba menjadi komunikator sains. Saat ini aktif di Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia. Juga aktif berkecimpung dalam Lembaga Falakiyah dan ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), klub astronomi Jogja Astro Club dan konsorsium International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sedang menjalankan tugas sebagai Badan Pengelola Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong dan Komite Tanggap Bencana Alam Kebumen.

Tulis Komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini