fbpx
langitselatan
Beranda » Menuju Titan, Laboratorium Kehidupan Tata Surya

Menuju Titan, Laboratorium Kehidupan Tata Surya

Sejak tahun 2002, badan antariksa nasional Amerika Serikat NASA (National Aeronautics and Space Administration) telah disibukkan dengan program New Frontiers. Hingga saat ini, NASA telah meluncurkan tiga proyek utama New Frontiers, yakni New Horizons (misi ke Pluto dan obyek sabuk Kuiper, 2006), Juno (misi ke Jupiter, 2011), dan OSIRIS-Rex (misi ke asteroid Bennu, 2016).

Dragonfly di Titan. Kredit: Johns Hopkins APL
Dragonfly di Titan. Kredit: Johns Hopkins APL

Sebagai kelanjutan dari program tersebut, NASA menerima 12 proposal dari berbagai instansi teknis maupun akademik yang akan dipilih sebagai proyek berikutnya. Pada tanggal 27 Juni 2019 yang lalu, NASA mengumumkan bahwa mereka telah memilih Dragonfly, yang digagas oleh Johns Hopkins University Applied Physics Laboratory (APL)  di Laurel, Maryland, Amerika Serikat, untuk menjadi proyek New Frontiers keempat.

Misi Dragonfly akan mengirimkan quadcopter (wahana dengan empat baling-baling) untuk menjelajah Titan, satelit terbesar planet Saturnus.

Mengapa Titan?

Peneliti utama misi Dragonfly, Elizabeth “Zibi” Turtle menjelaskan, bahwa Titan dipilih sebagai obyek misi dikarenakan kondisi di permukaannya sangat menyerupai kondisi Bumi di awal masa pembentukannya, atau Bumi primitif.

Mengapa hal ini penting? Sejak munculnya ilmu pengetahuan, khususnya ilmu biologi dan astronomi, manusia selalu bertanya-tanya mengenai asal mula kehidupan di muka Bumi. Dari manakah kehidupan awal muncul? Bagaimana proses-proses fisika, kimia hingga biologi yang terlibat di dalamnya? Kapan dan di manakah proses-proses ini terjadi?

Berbagai misi antariksa telah diluncurkan untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut. Mereka mengeksplorasi berbagai bagian dari Tata Surya yang diperkirakan menyimpan “catatan” sejarah terbentuknya hingga saat ini, seperti Bulan, asteroid, komet, hingga planet-planet lain.

Berdasarkan pengamatan dan penelitian terdahulu, para ilmuwan meyakini bahwa saat ini di permukaan Titan sedang terjadi berbagai proses kimiawi prabiotik (prakehidupan, proses-proses kimiawi yang diyakini memegang peranan besar dalam munculnya kehidupan). Titan diibaratkan sebuah laboratorium kimia yang sedang bereksperimen dengan berbagai senyawa organik yang ada di sistemnya untuk membentuk kehidupan awal. Dengan mempelajari Titan, para ilmuwan berharap mereka akan dapat menjawab pertanyaan bagaimana proses-proses kimiawi ini akhirnya menjadi proses-proses biologi (proses kehidupan). Atau, seperti kata Zibi Turtle, “bagaimana kimia menjadi biologi.”.

Mengenal Titan

Titan adalah satelit terbesar (dari total 62 buah) dari planet Saturnus, dan merupakan satelit terbesar kedua di Tata Surya setelah Ganymede, satelit planet Jupiter. Titan dinamai berdasarkan kelompok raksasa yang merupakan saudara-saudari dari Kronos, padanan Saturnus dalam mitologi Yunani.

Diameter5150 Km
Gravitasi14% gravitasi Bumi
Temperatur94°K atau -179°C
Tekanan udara1,5 kali tekanan udara di Bumi
Panjang hari1 hari Titan = 16 hari Bumi

Dari sekian banyak satelit di Tata Surya, Titan sangat unik karena merupakan satu-satunya satelit di Tata Surya yang memiliki atmosfer. Titan tidak hanya memiliki atmosfer, tapi atmosfernya cukup tebal dengan kerapatan udara yang tinggi.

Atmosfer Titan

Seperti Bumi, atmosfer Titan sebagian besar terdiri dari nitrogen (94,2%). Gas metana juga merupakan komponen yang cukup signifikan, baik dari segi jumlah (5,65%) maupun peran. Gas metana inilah yang akan terkondensasi menjadi awan dan hujan, mengalami siklus metana sebagaimana air mengalami siklus air di permukaan Bumi.

Kedua gas utama, nitrogen dan metana, diuraikan di bagian atas atmosfer Titan oleh proses-proses fotokimia (dengan bantuan sinar Matahari). Hasil penguraian tersebut akan bereaksi satu dengan lainnya, membentuk senyawa-senyawa organik kompleks yang akan turun ke permukaan Titan dan mengalami berbagai proses lanjutan di situ. Inilah yang sangat diminati oleh para ilmuwan bidang astrobiologi. Sebagaimana kita ketahui, senyawa organik adalah senyawa dasar yang membentuk kehidupan. Dengan tersedianya bahan organik, sinar matahari dan air (akan dijelaskan di bagian selanjutnya) di permukaan Titan, para ilmuwan berharap “laboratorium kimia” Titan dapat memberikan gambaran bagaimana awal kehidupan terbentuk.

Siklus metana di Titan dari data Cassini-Huygens. Kredit: F. Raulin / Nature
Siklus metana di Titan dari data Cassini-Huygens. Kredit: F. Raulin / Nature

Musim dan Geologi Titan

Titan berada sangat jauh dari Matahari, sehingga suhu permukaannya sangat dingin. Sebagai akibatnya, metanalah yang mengalami siklus, dan bukannya air sebagaimana di Bumi. Di Titan, metana menguap ke udara, terkondensasi menjadi awan, dan jatuh sebagai hujan, yang kemudian membentuk sungai, danau dan lautan metana di permukaan.

Baca juga:  Kacang Keberuntungan: Tradisi Unik Jet Propulsion Laboratory
Permukaan Titan yang dipotret Wahana Huygens. Kredit: : ESA/NASA/JPL/Universitas Arizona
Permukaan Titan yang dipotret Wahana Huygens. Kredit: : ESA/NASA/JPL/Universitas Arizona

Geologi Titan juga dibentuk oleh kawah tabrakan meteor dan bukit-bukit pasir. Perbedaan utama adalah bahwa pasir di Titan bukanlah pasir silika seperti di Bumi, namun pasir senyawa organik.

Tak ketinggalan, diperkirakan Titan juga memiliki gunung “berapi”. Informasi dari wahana Cassini mengindikasikan adanya aktivitas vulkanik superdingin di permukaan Titan, yang disebut cryovulcanism. Dalam fenomena ini, letusan gunung “berapi” tidak mengeluarkan lava (batuan cair) panas, namun mengeluarkan air dalam bentuk cair. Di bawah permukaannya, Titan memiliki lautan air, sehingga masuk kategori “Ocean World” atau “Dunia Laut” seperti beberapa satelit di Tata Surya Luar lainnya (misalnya Europa, Ganymede, Callisto (ketiganya satelit Jupiter) dan Enceladus (satelit Saturnus)).

Air dari interior Titan inilah yang melengkapi bahan dasar kehidupan setelah bahan organik dan sinar Matahari.

Mengenal Misi Dragonfly

Misi ke Titan ini dinamai Dragonfly, yang dalam Bahasa Indonesia berarti “capung”. Nama misi ini berkaitan erat dengan bagaimana wahana yang dikirim akan melaksanakan tugasnya utamanya, yaitu mempelajari kimia prabiotik dan peluang lingkungan di luar Bumi untuk menunjang kehidupan.

Wahana Dragonfly adalah wahana tipe rotorcraft lander, dalam arti wahana permukaan yang dilengkapi empat rotor atau baling-baling. Selintas, wahana serupa helikopter yang dilengkapi empat baling-baling ini menyerupai capung dengan empat sayapnya. Wahana ini akan mendarat di suatu tempat selama beberapa waktu, kemudian akan terbang menuju daerah studi lainnya. Studi saintifik akan dilakukan baik ketika mendarat (surface measurement) maupun ketika terbang (in-flight measurement).

Kemampuan Dragonfly untuk terbang dan berpindah tempat sangatlah krusial dalam mempelajari komposisi material dalam berbagai sistem geologi di permukaan Titan. Hal ini penting untuk melihat sejauh mana pergerakan proses prabiotik di lingkungan-lingkungan yang diperkirakan memiliki bahan-bahan utama pendukung kehidupan. Dengan kemampuan penerbangan, tim peneliti tidak perlu mengirimkan lebih dari satu wahana, namun dapat mengeksplorasi berbagai tempat dan atmosfer sekaligus.

Atmosfer Titan sangat menunjang wahana penerbang. Kerapatannya yang mencapai empat kali kerapatan udara di Bumi akan mengurangi luasan area sayap/rotor yang diperlukan untuk menciptakan gaya angkat, sehingga penerbangan tipe apapun menjadi lebih mudah. Selain itu, gravitasi Titan yang hanya 1/7 gravitasi Bumi membuat gaya angkat yang dibutuhkan lebih kecil, dan ini semakin mempermudah penerbangan. Karena itulah, wahana lander rotorcraft dinilai sangat sesuai untuk kondisi di permukaan Titan.

Wahana Dragonfly akan dilengkap dengan sistem baterai Multi-Mission Radioisotope Thermoelectric Generator (MMRTG) sebagai sumber energi. Sistem ini mampu menyediakan energi untuk penerbangan dengan durasi beberapa jam dan jarak puluhan kilometer. Baterai akan melakukan pengisian daya secara otomatis ketika mendarat (di antara dua penerbangan) dan di sela-sela aktivitas saintifik.

Dragonfly akan diluncurkan pada tahun 2025, dan akan tiba di Titan pada tahun 2034. Menurut rencana, wahana akan mendarat di padang pasir Shangri-La sebagaimana pendahulunya, wahana Huygens. Dari sana, Dragonfly akan melaksanakan misinya selama kurang lebih dua tahun.

Kegiatan misi akan serupa dengan misi-misi ke planet Mars, namun dengan jadwal yang lebih renggang mengingat satu hari di Bumi sama dengan 16 hari di Titan. Selama pelaksanaan misi, wahana akan berkomunikasi langsung dengan Bumi.

Peralatan di Dalam Dragonfly

Gambaran pendaratan Dragonfly. Kredit: Johns Hopkins APL
Gambaran pendaratan Dragonfly. Kredit: Johns Hopkins APL

Wahana Dragonfly dilengkapi dengan peralatan-peralatan sebagai berikut:

  • DraMS: Dragonfly Mass Spectrometer. Spektrometer massa berkapasitas tinggi, mampu menganalisis material dengan berat molekul yang besar dan sampel prabiotik.
  • DraGNS: Dragonfly Gamma Ray and Neutron Spectrometer. Alat ini cukup istimewa karena dapat langsung menganalisa komposisi material yang berada tepat di bawah wahana (ketika wahana dalam posisi mendarat) tanpa perlu melakukan aktivitas sampling (pengambilan contoh). Selain itu, alat ini juga mampu mendeteksi adanya komponen inorganik di permukaan, seperti natrium dan sulfur/belerang.
  • DraGMet: Dragonfly Geology and Meteorology Package. Sebagaimana namanya, instrumen ini akan mengukur parameter cuaca seperti tekanan atmosfer, temperatur, kecepatan dan arah angin, serta kelimpahan metana (kelembapan Titan). Elektroda yang ditempatkan pada kaki pendaratan (landing skid) wahana digunakan untuk mendeteksi adanya medan listrik (khususnya medan listrik bolak balik (alternate current/AC). Informasi ini akan digunakan untuk menentukan kedalaman lautan air di interior Titan, dengan mengaitkannya dengan resonansi Schumann. Selain itu, elektroda ini juga digunakan untuk menentukan konstanta dielektrik Titan. Thermometer khusus yang dipanaskan akan digunakan untuk mengukur karakteristik thermal tanah seperti porositas dan kelembaban. Sensor terakhir dalam kelompok ini adalah sensor gempa, yang akan digunakan untuk analisa regolit (pasir lepas), mencari aktivitas tektonik/gempa, serta menggunakan informasi tersebut untuk menentukan struktur interior Titan.
  • DragCam: Dragonfly Camera Suite. Menyediakan pengambilan gambar depan (forward imaging) untuk ketika wahana sedang mendarat dan gambar bawah (downward imaging) untuk pengambilan gambar ketika terbang. Dilengkapi juga dengan microscopic imager, yang dapat menganalisa material dari permukaan hingga ke tingkat butiran. Kamera Panoramik tersedia untuk mengambil gambar yang lebih detail setelah wahana mendarat. Sistem kamera telah dirancang untuk menghadapi kondisi pencahayaan di Titan yang lemah. Pencahayaan LED tersedia untuk pengambilan gambar di malam hari, dan pencahayaan sinar ultraviolet untuk membantu mendeteksi bahan organik melalui fenomena fluoresens.
  • Engineering System. Untuk dapat terbang dari satu titik ke titik lainnya, Dragonfly memerlukan berbagai informasi mengenai atmosfer Titan, seperti profil kerapatan atmosfer dan angin. Informasi ini bisa didapatkan oleh Inertia Measuring Unit (IMU) dengan menganalisa rekaman atmosfer ketika Dragonfly melakukan perlambatan laju saat memasuki atmosfer Titan. Apabila digabungkan dengan informasi navigasi lainnya, batasan angin yang optimal untuk penerbangan wahana dapat ditetapkan. Hubungan radio melalui Doppler dan/atau pengukuran jarak dapat membantu para ilmuwan untuk memahami rotasi Titan, yang sangat dipengaruhi oleh struktur internalnya.
Baca juga:  Fenomena Langit Bulan Februari 2021

Pengukuran

Wahana Dragonfly akan melakukan dua jenis pengukuran utama, yaitu in-flight Measurement (pengukuran ketika terbang) dan surface measurement (pengukuran permukaan, yaitu ketika mendarat). Parameter yang akan diukur dalam surface measurement sudah dipaparkan di bagian peralatan wahana.

In-flight measurements akan mengumpulkan informasi mengenai profil atmosfer, termasuk variasi diurnal (harian atau waktu) dan spatialnya (berdasarkan tempat). Ketika di udara, wahana juga akan mengambil foto udara untuk mendapatkan profil geologi permukaan Titan. Pengamatan udara akan sangat membantu para ilmuwan untuk menentukan konteks pengambilan contoh (kondisi-kondisi ketika pengambilan contoh berlangsung) dan juga melihat titik-titik yang berpotensi untuk dijadikan titik kunjungan selanjutnya. Tentunya, titik-titik tersebut harus memiliki potensi kimia prabiotik, yang diharapkan dapat menyibakkan rahasia asal-usul kehidupan dan kemampuan Titan untuk menopang kehidupan.

Menuju Titan 2025

Misi ini ditangani oleh John Hopkins University Applied Physics Laboratory (APL) di bawah pimpinan Elizabeth “Zibi” Turtle. Tentunya mereka tidak akan melaksanakan misi sebesar ini sendirian. APL akan bekerja sama dengan NASA Goddard Space Flight Center, Lockheed Martin Space, NASA Ames Research Center, NASA Langley Research Center, Penn State University, Malin Space Science Systems, Honeybee Robotics, Jet Propulsion Laboratory, dan Japan Aerospace Exploration Agency.

Saat ini, mereka sedang mempersiapkan segalanya untuk dapat meluncurkan Dragonfly tepat pada waktunya di tahun 2025 nanti. Untuk pembaca yang tertarik untuk mempelajari lebih lanjut mengenai misi ini, dapat mengunjungi laman berikut: http://dragonfly.jhuapl.edu.

Avatar photo

Ni Nyoman Dhitasari

Berlatar belakang pendidikan Teknik Lingkungan dan musik (piano), Dhita telah jatuh cinta pada dunia Astronomi sejak kecil, terutama Astronomi Budaya. Astronomi telah menjadi hobby utamanya hingga saat ini. Dhita adalah seorang guru piano dan pianis di Denver, Amerika Serikat, dan sempat aktif sebagai tenaga sukarela di Denver Museum of Nature and Science (DMNS), bagian Space Odyssey.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini