fbpx
langitselatan
Beranda » Planet Jupiter Panas Nan Kering

Planet Jupiter Panas Nan Kering

Ketika sebuah exoplanet ditemukan, maka penelitian tidak hanya sampai disitu. Pengamatan dan penelitian lanjutan pun dilakukan untuk mempelajari setiap planet yang ditemukan tersebut.

Ilustrasi planet Jupiter panas HD 209458b aka Osiris yang mengitari bintang induknya, Kredit: NASA, ESA, and G. Bacon (STScI)
Ilustrasi planet Jupiter panas HD 209458b aka Osiris yang mengitari bintang induknya, Kredit: NASA, ESA, and G. Bacon (STScI)

Menyelidiki Atmosfer Planet Jupiter Panas
Di antaranya adalah exoplanet HD 189733b, HD 209458b, dan WASP-12b yang berada pada jarak 60 dan 900 tahun cahaya. Ketiganya merupakan planet gas panas dengan temperatur antara 800 dan 2200 derajat Celsius.  Jika berdasarkan temperatur, maka ketiga planet tersebut merupakan kandidat ideal untuk mendeteksi uap air di atmosfer planetnya.

Tapi ternyata, hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Nikku Madhusudhan dari Institute of Astronomy di University of Cambridge, Inggris, menyingkapkan cerita yang berbeda. Survei yang dilakukan pada ketiga planet justru menunjukan kalau ketiganya hanya memiliki sepersepuluh sampai dengan satu seperseribu dari jumlah air yang diprediksi oleh teori.

Planet HD 209458b atau Osiris yang berada di Rasi Pegasus, menjadi planet dengan air terbanyak di atmosfer untuk planet-planet di luar tata surya. Dan untuk pertama kalinya para astronom bisa mengatakan mereka sudah menemukan air di exoplanet, meskipun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Yang pasti, kelimpahan air yang rendah pada exoplanet tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi ahli teoretik. Seperti membuka sekaleng cacing dalam pembentukan planet. Kok bisa?

Saat melakukan penelitian lanjutan untuk mempelajari atmosfer ketiga exoplanet, para astronom ini berharap untuk menemukan sejumlah besar air di sana.

Berdasarkan teori akresi inti, planet gas raksasa terbentuk dalam piringan protoplanet di sekitar bintang muda. Piringan protoplanet tersebut disusun oleh hidrogen, helium dan partikel es dan debu yang juga disusun oleh berbagai elemen kimia. Partikel debu akan menyatu, membentuk butiran yang lebih besar dan semakin besar. Gaya gravitasi yang bekerja di piringan protoplanet-lah yang mengikat butiran-butiran partikel debu tersebut menjadi sebuah inti padat. Inti padat inilah yang kemudian mengendalikan akresi gas dan materi padat yang membentuk planet gas raksasa.

Teori akresi inti juga memperkirakan perbandingan setiap elemen berbeda di planet, relatif terhadap bintang, khususnya oksigen. Ketika planet raksasa terbentuk, keberadaan oksigen tentunya akan mencakup juga kehadiran molekul air. Dengan kata lain, planet gas raksasa yang panas diharapkan akan memiliki kandungan uap air yang tinggi di atmosfernya. Rendahnya kandungan air di atmosfer ketiga planet jelas memunculkan berbagai pertanyaan terkait elemen kimia yang ada dalam pembentukan planet.

Penemuan ini tidak hanya memiliki implikasi pada planet Jupiter panas atau planet gas raksasa yang berada dekat dengan bintang induknya. Ia juga memiliki implikasi pada pencarian air pada exoplanet seukuran Bumi yang berpotensi laik huni. Artinya, meskipun exoplanet Bumi Super yang ditemukan berada di daerah laik huni namun kelimpahan airnya bisa jadi sangat sedikit atau dengan kata lain tergolong planet kering.

Baca juga:  Menikmati Indahnya Wajah Sang Mentari

Mencari Uap Air
Pengamatan ketiga planet Jupiter panas tersebut dilakukan oleh Teleskop Hubble dan pengukuran kelimpahan uap air dilakukan oleh tim astronom dengan pemodelan atmosfer.

Mendeteksi air bukan pada planet yang transit dari Bumi bukan pekerjaan mudah. Atmosfer Bumi yang mengandung banyak air akan mengkontaminasi hasil pengamatan. Karena itu, untuk mengeliminasi air di atmosfer Bumi, teleskop Hubble yang berada di luar angkasa yang dipilih untuk melakukan pengamatan tersebut.

Masih banyak misteri yang tersimpan di balik setiap sistem extrasolar planet maupun di dalam diri setiap planetnya. Penemuan kondisi ketiga planet yang gersang membuka babak baru untuk memahami pembentukan planet dan sistem keplanetan itu sendiri. Dan tampaknya asumsi awal kelimpahan air yang tinggi di sistem keplanetan seperti yang ada di Tata Surya harus dikaji ulang, mengingat ketiga planet yang diamati dalam penelitian ini menunjukan hasil berbeda. Sangat mungkin, kelimpahan air yang rendah menjadi ciri umum sistem keplanetan. tapi tentu saja hal ini maish perlu dikaji lebih lanjut pada exoplanet lainnya.

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

Tulis Komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini