fbpx
langitselatan
Beranda » Hubble Meniadakan Teori Alternatif Energi Gelap

Hubble Meniadakan Teori Alternatif Energi Gelap

Tampaknya energi gelap masih menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi laju ekspansi alam semesta.  Hal ini didapat setelah para astronom melakukan perhitungan kembali laju ekspansi alam semesta dengan menggunakan teleskop Hubble. Perhitungan ini dilakukan agar mendapatkan tingkat keakurasian yang lebih baik.  Tak hanya itu, para astronom berhasil mengesampingkan teori alternatif tentang asal mula energi gelap yang ada saat ini.

NGC 5584. Kredit : NASA, ESA, and Z. Levay (STScI), NASA, ESA, A. Riess (STScI/JHU), & L. Macri (Texas A&M University)

Alam semesta berekspansi atau mengembang dalam laju yang dipercepat. Laju yang dipercepat tersebut bisa terjadi karena alam semesta diisi oleh energi gelap. Akibatnya meski jumlah total materi (baryon dan materi gelap) tidak memungkinkan untuk membuat alam semesta berekspansi dengan cepat, keberadaan energi gelap memungkinkan hal tersebut terjadi. Energi gelap ini bekerja dengan cara berlawanan dari gravitasi.  Seperti halnya konsep energi gelap yang misterius, asal usul dan pemodelan yang dibuat oleh para astronom juga menarik untuk dibahas.

Salah Satu Teori Asal Mula Energi Gelap
Salah satu teori alternatif tentang keberadaan energi gelap adalah keberadaan gelembung besar yang mengisi ruang kosong sebesar 8 milyar tahun cahaya dan mengelilingi lingkungan galaksi. Nah jika kita tinggal di dekat pusat ruang hampa tersebut, pengamatan yang memperlihatkan galaksi bergerak saling menjauh dengan laju dipercepat hanya akan menjadi ilusi.

Bentuk sederhana hipotesa tersebut saat ini sudah tidak lagi dipakai karena para astronom memberikan batasan yang lebih ketat pada laju ekspansi alam semesta.  Dalam penelitian yang meggunakan teleskop Hubble dan diarahkan oleh tim SHOES (Supernova H0 for the Equation of State) di bawah pimpinan Adam Riess dari Space Telescope Science Institute (STScI) dan Johns Hopkins University di Baltimore,  tim ini bekerja untuk lebih memperhalus keakuratan konstanta Hubble. Hal ini dimaksutkan untuk mendapatkan tingkat presisi yang lebih baik untuk karakterisasi perilaku energi gelap.  Hasil pengamatan tersebut dipergunakan untuk menentukan angka laju ekspansi alam semesta saat ini agar mencapai ketidakpastian hanya 3,3 %.

Pengukuran yang baru tersebut mereduksi margin kesalahan sekitar 30% dibanding pengukuran Hubble sebelumnya di tahun 2009.
Harga laju ekspansi adalah 73,8 km/detik/megaparsek. Artinya, untuk setiap tambahan satu juta parsek (3,26 juta tahun cahaya) galaksi dari Bumi, maka galaksi akan tampak bergerak menjauh dengan laju 73,8 km/detik lebih cepat dari kita. Setiap penurunan ketidakpastian dari laju ekspansi alam semesta akan membantu pemahaman manusia akan bahan-bahan pembentuk alam semesta. dengan mengetahui harga yang lebih presisi akan memberi batas bagi rentang kekuatan energi gelap dan membantu para astronom untuk lebih mempererat / memberi harga yang memiliki margin eror lebih kecil untuk menghitung properti kosmik termasuk di dalamnya bentuk alam semesta, nutrino dan partikel-partikel yang mengisi alam semesta dini.

Baca juga:  EGS-zs8-1, Galaksi Terjauh di Alam Semesta

Adam Riess dkk menggunakan kamera baru di Hubble yang berfungsi seperti radar polisi untuk bisa menangkap percepatan alam semesta.

Meledakkan Si Gelembung

Energi gelap merupakan salah satu misteri terbesar kosmologi dalam fisika modern. Bahkan Einsten memahami keberadaan kekuatan misteri tersebut dan dikenal sebagai konstanta kosmologi.

Konstanta kosmologi adalah faktor yang dimasukkan dalam persamaan Einstein dalam relativitas umum. Konstanta kosmologi ini awalnya dimaksudkan untuk mengimbangi gravitasi supaya diperoleh gambaran alam semesta yang statis.  Ide ini kemudian ia sesali ketika Edwin Hubble menemukan alam semesta yang mengembang sesuatu yang harusnya terlebih dulu bisa diramalkan oleh relativitas umum. Eksistensi konstanta kosmologi ini kembali mencuat akhir-akhir ini, dan mencapai puncak ketika terdeteksi keberadaan energi gelap di kisaran tahun 1998.

Ide keberadaan energi gelap tersebut tidak wajar, dan banyak juga ilmuwan yang mulai mencari intrpretasi lain yang “aneh” termasuk di dalamnya teori gelembung kosmik. Dalam teori tersebut, gelembung dengan kerapatan rendah akan mengembang lebih cepat dibanding alam semesta yang lebih masif disekitarnya. Bagi pengamat di dalam gelembung, energi gelap akan tampak mendorong seluruh alam semesta untuk saling terlepas. Dengan hipotesa gelembung, dibutuhkan laju ekspansi alam semesta lebih lambat dari yang sudah dihitung para astronom, sekitar 60 – 65 km / det / megaparsek.

Dengan mereduksi ketidakpastian Konstanta Hubble menjadi 3%, Adam Riess bisa mengeliminasi kemungkinan harga Konstanta Hubble yang sedemikian rendah, yang artinya teori gelembung tersebut bisa dieliminasi.

Bagian tersulit dari teori gelembung adalah karena salah satu syaratnya mengharuskan kita hidup di dekat ruang kosong yang luar biasa besar. Kemungkinan itu terjadi hanya 1 dari 1000000 kesempatan. Dan karena hasil pegamatan memperlihatkan bahwa alam semesta mengalami percepatan, jauh lebih baik jika pemandu bagi para astronom adalah data yang diperoleh.

Bintang Sebagai Pengukur Kosmik

Perhitungan laju ekspansi alam semesta bukanlah yang mudah.  Pada awalnya Riess dan tim  menentukan keakuratan jarak galaksi jauh dan dekat dari Bumi. Setelah itu dilakukan perbandingan jarak tersebut dengan laju galaksi saat menjauh karena ekspansi alam semesta.  Menurut Riess, “energi gelap seperti menjadi pedal yang memicu percepatan laju ekspansi”. Kedua harga yang didapat kemudian digunakan untuk menentukan konstanta Hubble, angka yang memiliki korelasi dengan laju menjauhnya galaksi dari Bima Sakti.

Ini semua terkait dengan ruang kerja astronom yang tidak bisa menyentuh sendiri obyek yang ia teliti. Tak mungkin bukan para astronom mengukur sendiri jarak galaksi-galaksi tersebut? Karena itu dibutuhkan bintang atau obyek lainnya yang bertugas sebagai pengukur kosmik. Obyek-obyek tersebut haruslah memiliki kecerlangan intrinsik yang sudah diketahui. Jaraknya dapat diketahui dengan membandingkan kecerlangan sebenarnya si obyek dengan kecerlangan semu yang tampak dari Bumi.

Baca juga:  Penemuan Sistem Planet Terkecil oleh Kepler

Dari semua obyek yang ada, yang dapat digunakan sebagai pengukur kosmik dan memiliki jarak yang relatif lebih dekat maka pilihannya jatuh pada bintang variabel Cepheid. bintang berdenyut yang kecerlangannya berubah secara berkala. Magnitudo mutlaknya dapat diketahui dari periode perubahan cahayanya. Masalahnya, Cepheid terlalu redup untuk ditemukan di galaksi yang sangat jauh. Untuk itu, butuh pengukur lain untuk jarak yang jauh.

Untuk jarak yang jauh, digunakan Supernova tipe 1a, yang merupakan ledakan bintang. Ledakan bintang pada tipe ini bersinar dengan luminositas yang hampir sama dan sangat cerlang untuk bisa dilihat dari jarak yang jauh di alam semesta.

Untuk memperkecil ketidakpastian Konstanta Hubble, Riess mencari galaksi dekat yang memiliki bintang Cepheid dan Supernova Tipe 1a, sesuatu yang sulit untuk didapat. Setelah itu, ia melakukan perbandingan kecerlangan semua kedua tipe bintang dan kemudian dilakukan penentuan kecerlangan intrinsik keduanya sehingga jarak ke supernova Tipe 1a di galaksi yang luas dan jauh bisa diketahui.

Para astronom ini menggunakan ketajaman Wide Field Camera 3 (WFC3) untuk mempelajari lebih banyak bintang yang berada pada panjang gelombag tampak maupun yang ada di dekat-inframerah. Setelah itu para ilmuwan melakukan eliminasi sistematik terhadap kesalahan yang didapat dengan membandingkan pengukuran mereka dengan pengukuran dari teleskop-teleskop yang berbeda.  WFC3 ini memberikan tingkat presisi yang lebih baik.

Para astronom berharap Hubble akan terus digunakan untuk bisa mereduksi ketidakpatian konstanta Hubble sehingga bisa memperhitungkan properti energi gelap.

Mengejar Alam Semesta Yang Menjauh

Adam Riess  sudah 13 tahun mengejar energi gelap. Ia adalah salah satu penemu keberadaan energi gelap saat menemukan supernova Tipe 1a lebih redup dari yang diharapkan, yang artinya supernova tersebut berada lebih jauh dari yang diduga. Satu-satunya yang mungkin terjadi adalah ekspansi alam semesta mengalami percepatan dari waktu ke waktu.

Sampai dengan penemuan tersebut, para astronom secara umum meyakini bahwa laju ekspansi kosmik mengalami perlambatan secara berkala sebagai akibat tarikan gravitasi galaksi antara satu dengan lainnya. Hasilnya menunjukkan ada kekuatan misteri yang bekerja berlawanan dengan gravitasi dan mendorong galaksi itu menjauh satu sama lainnya dengan laju yang semakin bertambah.

Nah untuk mengetahui batasan energi gelap diperlukan harga yang akurat dari konstanta Hubble.

Sumber : NASA

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

3 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • Semakin tambah terasa sedikit aja pengetahuan manusia mengenai alam semesta ini, space yang sebelumnya diyakini berupa vacuum, benar-benar tanpa ada apa-apa didalamnya sekarang mulai diyakini mengandung dark matter yang belum diketahui, bagaikan kita kembali ke fakta novel angel and demons nya Dan Brown, Materi dan AntiMateri…

    • Saat Big bang berlangsung disinilah peranan antimateri membentuk alam semesta sekarang ini, menurut Hipotesis yg ada, alam semesta sekarang ini terbentuk dari 0,000001 persen materi saja (yg mencakup semua isi jagat raya ini dari planet, bintang hingga materi gelap) lha trus mana sisa materi yg 99,999999 persen itu? ya materiny musnah bersama seluruh antimateri.