fbpx
langitselatan
Beranda » Jumlah Materi Gelap Untuk Pembentukan Bintang Dalam Galaksi

Jumlah Materi Gelap Untuk Pembentukan Bintang Dalam Galaksi

Herschel Space Observatory milik ESA yang bekerjasama dengan NASA, berhasil mengungkap berapa banyak materi gelap yang dibutuhkan untuk membentuk galaksi baru yang penuh bintang.

Animasi yang menunjukkan distribusi materi gelap pada pergeseran merah 2 saat alam semesta baru berusia 3 milyar tahun. kredit : The Virgo Consortium/Alexandre Amblard/ESA

Dalam pengamatannya, Herschel menemukan populasi galaksi yang diliputi debu yang tidak membutuhkan jumlah materi gelap yang banyak seperti yang diduga sebelumnya untuk mengumpulkan gas dan menyebabkan terjadinya ledakan pembentukan bintang,

Penemuan tersebut menjadi salah satu langkah penting untuk bisa memahami bagaimana materi gelap yang merupakan substansi yang tidak tampak, berkontribusi dalam proses kelahiran galaksi masif di awal alam semesta.

Kontribusi Materi Gelap Bagi Pembentukan Galaksi

Menurut Asantha Cooray dari University of California, Irvine, yang juga peneliti utama penelitian ini, “jika diawali dengan sedikit materi gelap, maka galaksi yang berkembang akan berakhir dengan perlahan. Tapi jika materi gelapnya terlalu banyak, gas tidak akan bisa menjadi cukup dingin untuk membentuk sebuah galaksi besar. Pada akhirnya hanya akan terbentuk galaksi kecil dalam jumlah besar. Tapi jika jumlah materi gelapnya tepat, maka galaksi yang terbentuk akan memiliki ledakan jumlah bintang di dalamnya.”

Berapakah jumlah yang tepat itu? Dari hasil yang dilihat Herschel, Asantha Cooray menemukan kalau jumlah yang tepat itu 300 milyar massa Matahari.

Ukuran tersebut jelas menantang teori yang ada saat ini yang memprediksikan bahwa sebuah galaksi haruslah lebih besar 10 kali, dengan massa 5000 miliar massa Matahari untuk bisa membentuk sebuah galaksi dengan jumlah bintang yang banyak.

Sebagian besar massa di galaksi tersebut diperkirakan merupakan materi gelap, substansi yang tak dapat dilihat oleh panca indera maupun oleh instrumen apapun, dan hanya bisa dideteksi melalui pengaruh gravitasi yang ditimbulkan bahan tersebut. Gravitasi materi gelap inilah yang diperkirakan dapat mengikat si galaksi saat berotasi sehingga bintang-bintang di dalamnya tidak tercerai berai.

Area "lubang Lockman" yang berada di rasi Ursa Mayor. Arrea yag di survei Herschel. Titik-titik kecil di citra tersebut merupakan galaksi jauh. Kredit : konsorsium ESA & SPIRE & konsorsium HerMES

Model pembentukan galaksi yang ada saat ini dimulai dengan akumulasi sejumlah besar materi gelap. Gumpalan raksasa materi gelap ini berfungsi bak sumur yang mengumpulkan gas dan debu yang dibutuhkan untuk membentuk galaksi. Saat campuran gas dan debu jatuh ke dalam sumur, mereka akan berkondensasi dan memulai proses pendinginan, dan dimulailah ledakan pembentukan bintang. Yang dilihat Herschel, laju pembentukan bintang pada galaksi-galaksi muda yang ia amati pada jarak 10 – 11 milar tahun tersebut mencapai 100 – 1000 kali lebih cepat dari laju pembentukan bintang di Bima Sakti saat ini. Saat bintang yang terbentuk sudah cukup, maka sebuah galaksi baru pun lahir.

Mata Infra Merah Herschel
Hasil Herschel tersebut menunjukan pentingnya astronomi infra merah yang membawa para ilmuwan untuk melihat apa yang ada di balik cadar debu antar bintang dan melihat bintang-bintang kala bayi.

Baca juga:  Planet Jupiter Panas Yang Tercabik oleh Bintang Muda

Bagaimana Herschel bisa melihat semua itu? Ini tak lepas dari kemampuan instrumen SPIRE (Spectral and Photometric Imaging Receiver) milik Herschel yang bekerja pada panjang gelombang 250, 350 dan 500 mikron. Panjang gelombang tersebut 1000 kali lebih panjang dari area panjang gelombang yang bisa dilihat oleh mata manusia. Kemampuan ini jugalah yang menyebabkan mata Herschel mampu mengungkap keberadaan galaksi yang diliputi oleh debu.

Menurut Göran Pilbratt, peneliti dalam proyek Herschel, “kemampuan Herschel yang memiliki sensitivitas tinggi pada cahaya infra merah jauh yang dipancarkan oleh galaksi muda yang penuh dengan ledakan bintang telah membawa para astronom untuk melihat ke kedalaman alam semesta dan memberi pemahaman yang lebih baik lagi mengenai pembentukan dan evolusi galaksi.”

Distribusi materi gelap. kredit : The Virgo Consortium/Alexandre Amblard/ESA

Citra Yang Diambil Herschel
Dalam melakukan pengamatannya, Herschel tidak hanya melihat namun ia juga memotret semua yang dilihatnya. Dari citra yang dihasilkan Herschel terdapat banyak galaksi yang tumpang tindih dan menciptakan kabut radiasi inframerah yang dikenal sebagai latar belakang kosmik infra merah. Galaksi-galaksi tersebut tidak terdistribusi secara acak melainkan mengikuti pola yang mendasari materi gelap di alam semesta. Akibatnya, kabut tersebut memiliki pola khas yang berupa potongan terang dan gelap.

Analisa kecerlangan dari potongan yang ada dalam citra SPIRE menunjukkan laju pembentukan bintang di galaksi jauh infra merah lebih tinggi 3 – 5 kali dibanding pengamatan serupa pada galaksi yang masih sangat muda pada panjang gelombang tampak oleh teleskop Hubble dan teleskop lainnya.

Analisis lebih lanjut dan simulasi yang dibuat menunjukkan kalau massa yang lebih kecil untuk galaksi-galaksi tersebut merupakan jumlah yang pas untuk pembentukan bintang. Galaksi yang kurang masif akan sulit terbentuk lebih dari generasi pertama bintang sebelum ia mengalami kegagalan pembentukan. Sedangkan galaksi yang lebih masif harus berjuang keras karena proses pendinginan gas jadi lebih lambat dan menghalangi si galaksi untuk mengalami keruntuhan untuk memiliki kerapatan yang lebih tinggi yang dibutuhkan untuk memicu terjadinya pembentukan bintang.

Tapi jumlah yang dilihat Herschel yakni beberapa ratus milyar massa matahari sudah cukup untuk membuat galaksi memiliki laju pembentukan bintang yang besar dan akan dapat bertumbuh dengan cepat.

Sumber : ESA, NASA

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

8 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini