fbpx
langitselatan
Beranda » Geminids, Dari Mana Asalmu ?

Geminids, Dari Mana Asalmu ?

Setiap hari Bumi diguyuri batuan dari antariksa dalam kuantitas yang cukup besar. Astronom Linda Elkis T. Tanton menuturkan sebanyak 55 hingga 216 juta ton batuan antariksa menerobos atmosfer Bumi per hari, yang jika dikumpulkan di satu tempat bisa membentuk sebuah bukit.

Citra komposit instrumen kamera HI–1 STEREO–A pada 17–22 Juni 2009. Lingkaran putih menunjukkan posisi 3200 Phaethon yang terekam dari waktu ke waktu. Busur putih di sisi kiri menunjukkan posisi radius 0,14 SA dari Matahari (jarak perihelion Phaethon). Busur putih tersebut menjadi dasar kerucut yang berpuncak di Matahari (tidak diperlihatkan) dengan sisi–sisi berupa sepasang garis putih. Kerucut ini membatasi area dimana aktivitas pita koronal Matahari berskala besar terjadi pada 20 Juni 2009 pukul 15:49 WIB. Kredit foto : Jewitt & Ling

Batu–batu itu terpanaskan demikian hebat ketika bergesekan dengan molekul–molekul udara sehingga membara sebagai meteor dan mayoritas diantaranya menguap di atmosfer. Sebagian diantaranya merupakan meteoroid yang semula adalah debu terhambur dari komet akibat tekanan radiasi angin Matahari kala benda langit ini bergerak mendekati titik perihelion orbitnya.

Kita di Bumi menyaksikan meteor sisa komet ini seolah–olah muncul dari satu titik dalam sebuah konstelasi bintang tertentu dengan intensitas cukup tinggi yang bisa mencapai puluhan meteor per jam, yang dikenal sebagai hujan meteor periodik (showers). Hujan meteor periodik senantiasa dinanti pecinta langit, sebab memiliki jadwal kedatangan relatif tetap setiap tahunnya dan sanggup menyajikan panorama langit nan spektakuler. Hujan meteor Leonids di tahun 1966 dan 1998 misalnya, demikian menggetarkan siapapun yang melihatnya oleh panorama melintasnya sekitar 100 ribu meteor di langit setiap jamnya.

Di antara sesama hujan meteor periodik, Geminids adalah nama yang kian menanjak popularitasnya khususnya sepanjang tiga dekade terakhir. Berbeda dengan Leonids yang fluktuatif dengan intensitas rata–rata 10 meteor perjam di setiap tahunnya kecuali dalam kurun 33 tahun sekali, maka Geminids yang muncul setiap awal hingga pertengahan bulan Desember tergolong hujan meteor konstan berintensitas besar dimana ZHR (zenith hourly rate)–nya mencapai 120 meteor/jam dengan kecepatan 35 km/detik. Ini sedikit lebih besar dibanding hujan meteor Perseids yang tak kalah populernya dan muncul setiap akhir bulan Juli hingga akhir bulan Agustus, yang konstan pada ZHR 110 meteor/jam dengan kecepatan 59 km/detik. Bedanya, jika meteor Perseids bersumber dari debu–debu komet periodik 109 P/Swift–Tuttle, apa yang menjadi sumber meteor Geminids masih berselubung teka–teki. Keunikan lainnya, Geminids acapkali memproduksi fireball, yakni meteor yang sangat cemerlang sehingga bisa menyamai kecerlangan planet Venus (magnitude visual –4).

Misi antariksa IRAS (Infra Red Astronomical Satellite) yang diluncurkan pada awal dekade 1980–an sempat menyodorkan peluang guna menjawab teka–teki sumber Gemidis. Astronom Simon F. Green dan John K. Davies yang menganalisis citra IRAS 11 Oktober 1983 berhasil mengidentifikasi adanya asteroid redup 3200 Phaethon (1983 TB) sebagai pengorbit Matahari pada lintasan lonjong dengan perihelion 0,14 SA; aphelion 2,4 SA; periode 1,432 tahun; eksentrisitas 0,89 dan inklinasi 22,2°. Inilah asteroid pertama yang terdeteksi lewat observasi landas Bumi.

Orbit Phaethon sangat lonjong sehingga tergolong pelintas Mars, Bumi, Venus dan Merkurius. Perihelionnya jauh lebih dekat ke Matahari dibanding perihelion Merkurius sementara aphelionnya jauh melambung di kawasan Sabuk Asteroid Utama. Yang mengejutkan, karakteristik orbit Phaethon ternyata sesuai dengan meteor Geminids seperti ditunjukkan oleh kriteria Drummond. Padahal sebelumnya diketahui sumber sebuah hujan meteor periodik selalu berhubungan dengan sebuah komet tertentu. Observasi demi observasi selanjutnya kian menegaskan status Phaethon sebagai asteroid, dengan diameter 5 km dan albedo 5 + 1 % tanpa adanya tanda–tanda pelepasan massa dari permukaannya entah sebagai gas atau debu. Phaethon tergolong asteroid langka sebab secara optis nampak biru dimana hanya 4 % populasi asteroid yang demikian.

Eksistensi Phaethon tidak lantas membuat teka–teki Geminids terselesaikan. Sebaliknya, Phaethon justru memancing perdebatan baru akan kemampuan asteroid sebagai sumber hujan meteor. Asteroid memang merupakan sumber meteor, namun berupa meteor spontan yang sifatnya random dan tak terjadwal. Komposisi asteroid sangat berbeda dengan komet, sebab merupakan bongkahan atau butir–butir batuan yang tidak mengandung unsur–unsur volatil pada keraknya seperti air, karbondioksida, sianogen, metana dan gas–gas lain yang acapkali ditemukan pada komet.

Baca juga:  Workshop Astronomi dalam Science Fair Darul Hikam 2010

Penemuan demi penemuan asteroid yang mirip seperti 4015 Wilson–Harrington, 7968 Elst–Pizzaro dan 2201 Oljato kian memanaskan perdebatan, sebab asteroid–asteroid tadi memiliki sifat yang hanya dimiliki komet seperti bentuk ekor maupun refleksi ultraviolet nan tinggi, namun tidak menampakkan aktivitas lainnya seperti coma maupun emisi gas–gas tertentu. Sempat muncul hipotesis aktivitas mirip komet dari asteroid–asteroid tersebut adalah emisi debu hasil tumbukan dengan sesama asteroid lainnya. Belakangan hipotesis ini menemukan bukti awalnya saat Hubble Space Telescope menyajikan hasil observasi komet P/2010 A2, yang semula diidentifikasi sebagai komet periodik namun ternyata adalah asteroid yang baru saja ditumbuk sesamanya.

Dengan demikian apakah Geminids berasal dari tumbukan asteroid Phaethon dengan sesamanya, yang membuat keraknya terhambur ke angkasa sebagai remah–remah batuan halus? Dengan densitas 2,5 gram/cc dan asumsi diameter efektif 5 km maka Phaethon memiliki massa 1,6 x 1014 kg. Sedangkan massa Geminids diindikasikan 1012 hingga 1013 kg, sehingga ekstrapolasinya bagi Phaethon setara dengan pelolosan massa kerak setebal 5–50 meter. Perhitungan sederhana tersebut memperlihatkan Geminids bisa saja berasal dari Phaethon. Argumen ini seakan menemukan buktinya menyusul penemuan asteroid 2005 TD. Asteroid bergaris tengah 1,3 km itu secara optis dan dinamis sama karakteristiknya dengan Phaethon.

Belakangan diketahui asteroid 1999 YC juga memiliki karakteristik dinamis yang sama dengan Phaethon, meski secara optis tidak. Penemuan demi penemuan ini membuat sejumlah astronom berspekulasi bahwa Phaethon, 2005 TD dan 1999 YC mungkin adalah bongkahan–bongkahan besar yang tersisa dari tumbukan terhadap terhadap asteroid Pallas (garis tengah 544 km) yang saat ini menghuni kawasan Sabuk Asteroid Utama. Kemungkinan ini ditunjang oleh pemodelan numeris Bottke dkk (2002) yang memperlihatkan asosiasi Phaethon dengan anggota Sabuk Asteroid Utama bagian dalam dengan probabilitas hingga 80 %.

Namun spekulasi ini dimentahkan oleh umur Phaethon dan posisi sumber Geminids. Phaethon diindikasikan telah berada di orbitnya sekarang sejak 26 juta tahun silam, sehingga tumbukan yang memecahbelah Pallas sekurang–kurangnya terjadi 26 juta tahun lalu. Sebaliknya Geminids merupakan hujan meteor berusia muda, dimana model numerik dengan memasukkan efek tekanan radiasi dan gangguan gravitasi antar planet mengindikasikan meteoroid–meteoroid Geminids terbentuk 600 hingga 2.000 tahun silam.

Geminids sendiri baru mulai teramati sejak 1,5 abad terakhir, tepatnya sejak tahun 1865. Astronom NASA William Cooke menuturkan, analisis lebih teliti terhadap sumber Geminids menyimpulkan meteoroid itu bersumber dari lingkungan sangat dekat dengan Matahari, bukan jauh di kedalaman Sabuk Asteroid Utama. Sehingga sumber Geminids terlokalisir di Phaethon sendiri khususnya perilakunya pada titik perihelionnya, bukan sebagai hasil tumbukan yang diduga telah memecahkan Pallas jutaan tahun silam. Untuk itu observasi terhadap dinamika optis Phaethon saat berada di titik perihelionnya mutlak diperlukan.

Observasi terlaksana ketika Phaethon menempati titik perihelionnya pada 20 Juni 2009. Dalam posisi itu Phaethon berada dalam lingkup medan pandang satelit pengamat Matahari STEREO, meski dari sepasang satelit STEREO hanya satu saja (yakni STEREO–A) yang berhasil mengidentifikasi pergerakan Phaethon khususnya lewat instrumen kamera SECCHI HI–1 pada rentang waktu 17–22 Juni 2009. Analisis pendahuluan mengidenfitikasi adanya peningkatan kecerlangan Phaethon secara dramatis, fenomena yang mengejutkan sebab selama ini hanya bisa teramati di komet.

Tertarik akan fenomena ini maka David Jewitt dan Jing Li, keduanya astronom University California of Los Angeles, memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut. Ternyata benar, Phaethon memang mengalami peningkatan kecerlangan yang spektakuler hingga 2 magnitude (6 kali lipat) dari sebelumnya saat di perihelionnya. Namun pada saat yang sama aktivitas Matahari sedang mengalami sedikit lonjakan yang ditandai terdeteksinya pita koronal berskala besar meski tidak sempat berkembang menjadi pelepasan massa (coronal mass ejection).

Perbandingan peningkatan kecerlangan pada Phaethon (kurva atas) dengan langit latar belakang (kurva bawah) yang disebabkan oleh lonjakan kecil aktivitas Matahari. Sekilas kedua kurva nyaris identik, namun kurva bawah mulai menanjak menuju puncak 12 jam sebelum kurva atas mengalami hal serupa. Ini mengindikasikan kecerlangan Phaethon tidak dipengaruhi oleh lonjakan aktivitas Matahari. Kredit foto : Jewitt & Ling

Analisis secara hati–hati memperlihatkan peningkatan kecerlangan Phaethon tidak berhubungan dengan lonjakan aktivitas Matahari karena lonjakan tersebut sudah terjadi sejak 12 jam sebelumnya. Kecerlangan Phaethon juga tidak berhubungan dengan stimulasi oleh hantaman partikel bermuatan dari angin Matahari ke permukaan Phaethon. Pun demikian, kecerlangan Phaethon bukanlah emisi fluoresensi oleh interaksi foton sinar–X maupun ultraviolet Matahari dengan permukaan Phaethon. Kecerlangan tersebut berhubungan dengan hamburan sinar Matahari dari partikel debu yang diemisikan Phaethon ke lingkungan. Namun dengan posisi Phaethon demikian dekat terhadap Matahari, aktivitas pelepasan debu tersebut tidak mungkin digerakkan oleh sublimasi air dari padat ke uap, maupun oleh gas–gas volatil lainnya. Dalam jarak 0,14 SA dari Matahari, sisi Phaethon yang menghadap ke Matahari akan memiliki suhu 470o C hingga 780o C. Dengan perkiraan Phaethon telah berada di orbitnya sekarang sejak 26 juta tahun lalu maka panas yang diterima permukaannya dikonduksikan secara kontinu ke interior Phaethon sehingga suhu inti bisa mencapai 30o C. Secara keseluruhan disimpulkan kala Phaethon berada di perihelionnya, ia menjadi benda langit yang terlalu panas sehingga tak mungkin air berbentuk es bisa eksis.

Baca juga:  Menulis Kembali Hukum Efek Debu Pada Cahaya Bintang
Apparent magnitude Phaethon terhadap sudut fase dibandingkan benda langit hipotetik di posisi Phaethon yang memiliki fungsi sudut fase seperti terukur di Bulan (kurva merah) dan inti komet Tempel (kurva hitam). Nampak Phaethon mengalami lonjakan apparent magnitude hingga +2,0 (6 kali lipat) dari semula, yang tidak terjadi pada benda–benda langit hipotetik tersebut. Ini menunjukkan adanya perubahan karakteristik permukaan Phaethon secara mendadak di perihelionnya sehingga diikuti peningkatan kecerlangan. Kredit foto : Jewitt & Ling

Pemodelan Jewitt dan Ling memperlihatkan pelepasan debu dari permukaan Phaethon salah satunya disebabkan oleh pemecahan mineral terhidrat. Sebagai fragmen Pallas, Phaethon tergolong asteroid tipe C yang kaya mineral terhidrat seperti filosilikat (lempung). Di Bumi, terpecahnya lempung bisa ditemukan pada lapangan–lapangan berlumpur yang dipanggang terik Matahari, sehingga terjadi penyusutan yang membentuk retakan–retakan di permukaannya. Proses yang sama diduga terjadi di Phaethon. Selain itu produksi debu juga disebabkan oleh pemuaian badan Phaethon akibat tekanan interior yang dikontrol oleh perbedaan suhu siang dan malam yang dramatis. Dengan periode rotasi 3,6 jam dan variasi suhu siang–malam Phaethon sebesar 230o C didapatkan tekanan interior Phaethon mencapai 500–5.000 bar, jauh lebih tinggi dibanding batas tekanan yang bisa diterima batuan sebelum terpecah yakni 100 bar.

Profil kecerlangan permukaan Phaethon sebelum dan sesudah mengalami peningkatan kecerlangan, masing–masing ditandai dengan lingkaran hitam dan putih. Nampak bahwa hingga 100 detik busur dari pusat Phaethon, terdeteksi adanya perbedaan kecerlangan antara sebelum dan sesudah peningkatan kecerlangan, sementara pada radius lebih dari 100 detik busur tidak teramati. Kredit foto : Jewitt & Ling,

Jewitt dan Ling juga memperlihatkan, tiadanya uap air dan gas–gas lainnya membuat debu Phaethon hanya sanggup terlepas dari permukaan lewat tekanan radiasi foton Matahari. Namun tekanan radiasi hanya sanggup mendorong partikel–partikel debu yang diameter maksimumnya 1 mm. Fenomena pelepasan debu Phaethon membuat Jewitt dan Ling mengusulkan perlunya klasifikasi baru bagi komet, yakni komet batu, yang mengemisikan debu dari permukaannya lewat kombinasi dekomposisi dan peretakan batuan di bawah lingkungan suhu tinggi tanpa sedikitpun melibatkan air maupun gas–gas volatil lainnya. Dengan debu 1 mm, Phaethon mengemisikan 2,5 x 108 kg debu setiap kali mencapai perihelionnya. Jumlah ini sangat kecil karena bila dibandingkan massa meteoroid Geminids, secara kasar bisa dikatakan bahwa dalam setiap 10 ribu partikel meteoroid Geminids hanya sebutir yang beasal dari Phaethon. Dengan kata lain emisi debu Phaethon hanyalah komponen minor dalam meteoroid Geminids.

Pertanyaan mengenai asal–usul sumber Geminids memang belum terjawab dengan tuntas sampai saat ini. Geminids berasal dari lingkungan di dekat Matahari, namun hanya sebagian sangat kecil saja yang berasal dari emisi debu Phaethon di titik perihelionnya. Dan kini muncul klasifikasi baru : komet batu, dimana Phaethon adalah anggota pertamanya.

Muh. Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang suka menatap bintang dan terus berusaha mencoba menjadi komunikator sains. Saat ini aktif di Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia. Juga aktif berkecimpung dalam Lembaga Falakiyah dan ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), klub astronomi Jogja Astro Club dan konsorsium International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sedang menjalankan tugas sebagai Badan Pengelola Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong dan Komite Tanggap Bencana Alam Kebumen.

2 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini