fbpx
langitselatan
Beranda » Menggali dan Memperkenalkan Kisah Langit Asia Pada Dunia

Menggali dan Memperkenalkan Kisah Langit Asia Pada Dunia

Mengapa kita menyebut benda-benda langit itu dengan nama-nama asing seperti Jupiter, Saturnus, Mars, Pleiades, atau Orion? Bisakah kita menyebutnya dengan panggilan yang lebih khas “Indonesia”, seperti Respati, Batara Kala, Joko Belek atau Anggara, Lintang Kartika, Hala Na Godang atau Waluku?

Poster dari Langitselatan di Stars of Asia. kredit : Sze-leung Cheung

Dunia, termasuk kita sendiri sebagai orang Indonesia pada khususnya dan orang Asia pada umumnya, lebih mengenal akan dongeng atau mitologi dari Yunani dan Romawi. Kita lebih mudah menemukan Rasi Bintang Orion di langit sebagai seorang pemburu daripada menemukan bentuk pembajak (Waluku) ataupun bentuk naga raksasa (Hala Na Godang) pada wilayah rasi bintang yang hampir sama dengan Orion. Mungkin jika diminta untuk menceritakannya, kita lebih fasih untuk menceritakan kembali kisah Orion si Pemburu tersebut daripada kisah Hala Na Godang dari Tanah Batak atau kisah Waluku dan kegunaannya dalam pertanian bagi orang-orang zaman dulu di Tanah Jawa. Sebagian besar dari kita mungkin sejak kecil telah akrab dengan buku-buku mitologi Yunani daripada, misalnya, mendengar dalang melakoni wayang yang sarat dengan kearifan lokalnya tersendiri atau tertarik mendengar nenek-kakek kita bercerita tentang bintang-bintang di langit. Contoh lain lagi, sebutan Mars atau Ares mungkin lebih akrab dengan kita daripada sebutan “Joko Belek”.

Hal ini mudah-mudahan bukan karena kita lebih mengagumi dan menghargai budaya bangsa lain daripada budaya bangsa sendiri. Hal ini mungkin juga disebabkan antaralain karena memang sumber-sumber kisah tersebut tidak mudah ditemui atau belum terdokumentasi dengan baik, masih tersebar-sebar. Kebanyakan kisah-kisah tentang langit dalam budaya Jawa, seperti Joko Belek, Lintang Banyak Angrem, Lintang Wulanjar Ngirim, dan lain sebagainya, diceritakan turun-temurun secara lisan sebagai cerita rakyat. Kalaupun ada buku yang memuat tentang kisah-kisah langit tersebut, jumlahnya minim sekali dan sudah usang, sulit ditemui karena memang tidak dicetak lagi. Barangkali tidak cukup menguntungkan dan tidak banyak orang yang mau peduli. Yang mengejutkan, beberapa buku penting berisikan cerita rakyat tentang langit ini ditulis dengan sangat baik oleh orang-orang Barat.

Kelangkaan sumber untuk kisah-kisah langit ini berlaku juga dalam budaya lainnya selain Jawa. Naskah-naskah kuno tentunya ada, tetapi seperti sudah bisa diduga, lebih sulit aksesnya untuk ditemui dan dipelajari karena memang ditulis dengan bahasa daerahnya masing-masing. Sebagian besar malah tidak bisa sembarangan dilihat oleh orang karena nilai kesakralannya. Selain langkanya atau sulitnya menemukan dokumen tertulis, planetarium di dunia, bahkan di Asia sendiri, sebagai sarana pendidikan astronomi pun pada umumnya menyajikan pertunjukan dengan menggunakan rasi-rasi bintang Yunani atau Romawi.

Barangkali oleh karena faktor-faktor diataslah diantaranya, banyak dari kita menjadi tidak akrab dengan pengetahuan astronomi yang telah dimiliki nenek moyang kita di nusantara ini. Bahkan mungkin juga memang tidak mengetahui sama sekali bahwa nenek moyang kita pun sebenarnya kaya akan kisah-kisah langitnya sendiri, seperti halnya nenek moyang orang Yunani, Romawi, atau Mesopotamia, sebagai contoh nyata akan upaya mereka memahami tempatnya di alam semesta ini. Hal-hal inilah yang antara lain mendorong diselenggarakannya workshop “Stars of Asia” di Jepang pekan lalu, 11-13 Mei 2009.

Pertemuan Stars of Asia di Jepang. Kredit : Sze-leung Cheung
Pertemuan Stars of Asia di Jepang. Kredit : Sze-leung Cheung

Acara yang juga merupakan salah satu agenda International Year of Astronomy (IYA) 2009 ini digagas dan dimotori oleh astronom mumpuni, Prof. Norio Kaifu dari Open University, Jepang. Workshop yang diselenggarakan selama tiga hari ini merupakan workshop yang bertujuan untuk menggali dan memperkenalkan kembali kepada dunia akan pengetahuan astronomi yang telah dimiliki orang-orang Asia sejak zaman kuno. Hasil akhir yang ingin dicapai bersama-sama dari workshop ini adalah diterbitkannya dua jenis buku (Volume I dan Volume II) tentang mitologi/legenda Asia akan bintang, langit dan alam semesta. Diharapkan tahun depan dua buku ini sudah bisa dinikmati oleh masyarakat dunia, terlebih oleh anak-anak sebagai generasi muda dan guru-guru sebagai pendidik. Volume I memuat tentang mitologi/legenda tentang bintang-bintang dan langit dari negara-negara Asia. Volume II memuat tentang nama-nama dan bentuk-bentuk rasi yang dikenal orang-orang di wilayah Asia, serta kisah tentang benda-benda langit lainnya dan fenomena-fenomena langit. Masing-masing volume nantinya akan diterbitkan ke dalam versi Bahasa Inggris dan versi bahasa masing-masing negara yang turut berpartisipasi dalam workshop ini.

Baca juga:  Fenomena Langit Bulan Februari 2024

Tercatat 14 negara Asia mengikuti workshop “Stars of Asia” (sekaligus pertemuan internasional pertama) yang bertempat di National Astronomical Observatory of Japan (NAOJ), Mitaka, Tokyo, ini. Negara-negara tersebut adalah Bangladesh, RRC, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Mongolia, Nepal, Taiwan, Thailand, dan Vietnam. Seorang partisipan, Prof. Akira Goto, yang bertindak sebagai koordinator negara-negara Pasifik ikut serta mewakili negara-negara Pasifik. Dewi Pramesti Kusumaningrum dari Komunitas langitselatan berkesempatan mengikuti workshop ini mewakili Indonesia. Selain itu ada juga Widya Sawitar dari Planetarium Jakarta. Hakim L. Malasan, dosen Program Studi Astronomi – Institut Teknologi Bandung, memberikan report tentang kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di Indonesia, berkaitan dengan bidang ini.

Pramesti mempresentasikan hasil buruan cerita rakyat (mitologi, legenda maupun dongeng) yang berkaitan dengan astronomi, yang selama satu setengah tahun terakhir ini turut giat dilakukan Komunitas langitselatan. Selama kurun waktu tersebut, sebanyak lebih dari 20 cerita rakyat berhasil dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia. Semuanya tentu saja menarik dan terkadang mengundang senyum usai membacanya, bahkan juga rasa penasaran akan bagaimana nenek moyang kita tiba pada pemikirannya yang demikian saat itu. Sebagian kecil cerita-cerita tersebut sudah tidak asing lagi dengan telinga kita, tetapi sebagian besar merupakan cerita-cerita yang belum pernah didengar sebelumnya. Dari cerita-cerita rakyat inilah orang-orang sekarang dapat mengidentifikasi pola rasi bintang dan penamaan benda langit sebagaimana dilakukan nenek moyang kita zaman dahulu di berbagai daerah di Indonesia. Jadi hal ini merupakan salah satu upaya merekonstruksi pola langit yang dilihat orang-orang dulu di nusantara. Pekerjaan ini pun belum berhenti disini, melainkan masih panjang karena memang masih banyak yang bisa digali.

Sungguh sangat menarik mengetahui nenek moyang kita di negara kepulauan ini telah memiliki pemahamannya sendiri akan langit dan alam semesta. Diantara 20 cerita rakyat tesebut adalah Bulan Pejeng (Bali), Pasaggangan’ Laggo Samba Sulu atau Pertempuran Matahari dan Bulan (Mentawai), Memecah Matahari (Papua), Manarmakeri (Papua), Hala Na Godang (Batak), Kilip dan Putri Bulan (Dayak Benoaq), Lawaendrona Manusia Bulan (Nias), Bima Sakti (Jawa), Mula Rilingé’na Sangiang Serri’ (Bugis), dan lain sebagainya. Cerita-cerita rakyat yang terkumpul ini nantinya dapat dibaca pada tulisan terpisah pada halaman web ini.

Foto bersama peserta Stars of Asia 2009. kredit : Sze-leung Cheung
Foto bersama peserta Stars of Asia 2009. kredit : Sze-leung Cheung

Widya Sawitar dari Planetarium mempresentasikan nama-nama benda langit dan pola-pola rasi bintang di langit yang dipetakan orang-orang Jawa (Jawa Tengah) kuno, beserta kegunaannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Salah satu contohnya adalah Bintang Salib Selatan (Southern Cross atau nama latinnya Crux) atau yang dikenal juga sebagai Bintang Layang-layang. Di wilayah Jawa, orang-orang zaman dahulu melihatnya dan mengenalnya sebagai Lintang Pari dan juga Lintang Gubug Penceng. Barangkali dunia spiritualitas yang mereka kenal saat itu masih seputar dunia kebatinan, atau animisme dan dinamisme, dan belum mengenal agama-agama samawi, sehingga belum mengenal simbol-simbol agama. Rasi bintang ini sangat berguna bagi nelayan untuk menentukan arah Selatan jika berlayar di laut. Memang jika ditarik garis semu dari bintang paling atas pada rasi ini ke bintang yang berada di posisi paling bawah di rasi ini dan terus lurus ke horizon langit akan sampai pada titik Kutub Selatan. Tidak heran jika mereka (para nelayan) mengasosiasikannya dengan bentuk ikan pari.

Baca juga:  Singa di Taman Kosmik

Tetapi lain lagi dengan para petani yang tinggal di pedalaman Pulau Jawa. Mereka melihat rasi ini sebagai rumah peristirahatan yang bentuknya miring di sawah untuk beristirahat saat bertani di sawah, dan mengenalnya dengan sebutan Lintang Gubug Penceng. Ada juga versi lain yang mengisahkan rasi ini sebagai rumah yang sedang dibangun oleh seorang pemuda. Setiap hari rumahnya dilewati seorang wanita yang sangat anggun nan jelita (direpresentasikan dengan bintang Alpha Centauri) menghantarkan suatu persembahan ke suatu tempat. Akibat terpana kecantikannya dan karena khayalannya akan wanita tersebut, pemuda tersebut kehilangan fokus sehingga dinding rumah yang sedang dibangunnya miring ke kiri dan ke kanan. Jadilah gubug penceng.

Sebuah contoh lagi adalah Lintang Kartika, yang dalam dunia barat lebih dikenal dengan Pleiades atau The Seven Sisters (karena memang bintang yang jelas terlihat dari Bumi berjumlah tujuh buah). Di Jawa rasi Lintang Kartika ini diasosiasikan juga sebagai tujuh bidadari, yang direpresentasikan dalam tarian Bedhaya Ketawang di Keraton Mataram. Di wilayah Pantai Utara Jawa rasi ini digunakan untuk menandakan waktu (kalender) dalam penanggalan Jawa. Jika rasi ini sudah terbit sekitar 50° di langit, maka musim ketujuh (mangsa kapitu) pun dimulai. Pada musim ini, beras muda harus mulai ditanam di sawah. Lucunya, di Jepang rasi ini dilihat berjumlah sembilan buah bintang, dikenal sebagai Subaru yang dalam Bahasa Jepang arkaik artinya “bersatu” atau “berkumpul”. Di India, seperti dituturkan seorang wakil dari India yang juga bergelar Master of Science dalam bidang nuclear physic, Leena Damle, rasi ini tadinya dilihat orang-orang India zaman dahulu sebagai tujuh buah bintang. Namun lambat laun orang-orang India sekarang melihatnya sebagai enam buah bintang karena suatu sebab. Memang lain ladang, lain ilalang.

Perbedaan yang ada tidak lain hanya menambah warna dan kekayaan kisah-kisah langit. Bagaimana pun, seperti diingatkan lagi akan semboyan IYA 2009, One Universe for All. Langitku adalah langitmu juga. Mudah-mudahan kelak anak-anak Indonesia pun mengenal nama-nama seperti Lintang Kartika, Hala Na Godang, Nini Anteh, Waluku, Bima Sakti, Boru Deak Parujar, dan banyak lagi lainnya.

Avatar photo

Dewi Pramesti

Alumni astronomi ITB yang saat ini bergerak dalam bidang pendidikan di ibukota Jakarta. Cabang astronomi yang diminatinya adalah terutama pada bidang impact cratering dan etno/arkeoastronomi. Mencintai seni, terutama musik dan sastra. Di sela-sela kegiatannya sebagai seorang pendidik, ia masih giat berbagi tentang astronomi di langitselatan. Selain itu, bersama teman-teman langitselatan, ia juga masih tertarik untuk membudayakan kembali kisah-kisah langit (skylore) yang ada di nusantara.

15 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • Wow, nice article, Bon..
    akirnya jadi juga.. mau dung baca full papermu 🙂
    hehe, selamat yak 🙂

  • Hehehe. .thx non nia.. ntar deh dikirimin yah. Gak pernah main ke bdg lagi yah kyknya?

  • Mbak mau juga dong dikirimin ‘full-paper’-nya. Makasih ya dah ‘nyerempet’ ke Lawaendröna (nulisnya gak Lawaendrona lho). Salam.

  • mbak.. saya anggota baru langitselatan nieh,
    mau dong dikirimin cerita lengkapnya tentang legenda2
    rasi bintang dari Indonesia…
    please ya mbak…

  • Hmm…kueren euy…

    he…bener tuh..”indonesia”-kan yuk istilah2 itu..saya mah lebih suka nyebut “waluku” daripada “orion”

    hmmmm…..

    saya tunggu rilis berikutnya ya….

  • “Yen ning TAWANG ana LINTANG ….cah ayu…”(ketika di LANGIT ada BINTANG …..orang cantik dst) & “…..LINTANG KARTIKO, kairing rasa… tresna asih…”(PLEIADES, bersama …rasa cinta kasih…… Tembang campusari yg dipopulerkan waljinah & manthous kayaknya lebih familiar bagi masyarakat Indonesia dibandingkan nama2 bintang tersebut dalam astronomi indonesia.
    Usul nich…Gmn klo setiap penulisan di LS yang menyebutkan nama bintang dlm mitologi yunani/romawi disertai dengan sinonimnya dlm bahasa daerah di Indonesia? Biar asronomi indonesia bisa familiar spt ke-2 lagu diatas.
    Buat mbak pramesti n mbak ivie, tolong ulas juga sejarah astronomi indonesia trmsk mitologinya. Maturnuwun

  • Bagaimana mendapatkan ke 20 cerita rakyat Indonesia tentang langit itu ? Saya kebetulan dari Nias dan ingin sekali mendapatkannya. Bagaimana juga memperoleh hasil akhir workshop ini, volume 1 dan 2 ? Siapa yang bisa memberi informasi tentang hal ini ? Hubungi saya ke alamat email saya : [email protected]. Terima kasih !