fbpx
langitselatan
Beranda » Astronomi Masuk Desa

Astronomi Masuk Desa

Setiap manusia pada hakekatnya adalah sama dihadapan Tuhan. Si kaya dan si miskin ataupun si orang kota dan si orang desa, semua sama. Saya tidak bermaksud untuk mendiskriminasikan desa dari kota, namun saya menggambarkan desa disini adalah sebuah daerah yang sangat jauh terpencil dari hingar-bingar teknologi dan berada di wilayah yang terpelosok.

Penggembala..

Dalam perjalanan ekspedisi gerhana matahari cincin ke Lampung, langitselatan mendapat kesempatan untuk mengunjungi anak-anak yang tinggal di desa Trimukti, Karangrejo, Lampung Selatan. Perjalanan dari pusat kota Lampung menuju ke tempat ini ditempuh selama 2 jam 30 menit sejauh 25 km. Kendaraan yang kami pakai hanya bisa melaju dengan kecepatan rata-rata 10 km/jam, hal itu dikarenakan jalan yang dilalui cukup sulit. Sepuluh kilometer pertama kendaraan melaju diatas jalan aspal, lima belas kilometer selanjutnya kami melewati hutan karet dan jalan tanah.

Setibanya di desa Trimukti, saya merasakan ketenangan, tidak ada suara bising kendaraan dan handphone mati karena tidak mendapat sinyal. Kami tiba pukul 9.30 WIB dan langsung menemui Bapak Daniel, beliau adalah seorang tokoh masyarakat yang mendirikan kelompok bermain dan tempat ibadah pertama di desa ini. Belum ada sekolah resmi, sekolah yang terdekat berjarak sekitar 3 km dari sini. Setelah beristirahat sejenak, kami lalu mempersiapkan diri untuk bertemu anak-anak, rupanya mereka sudah menunggu sejak pukul 7.00 WIB.

Mengajar Tata Surya di Desa Trimukti

Ada sekitar 20 anak yang berkumpul, yang paling kecil berusia 3 tahun dan yang paling besar berusia 12 tahun. Ada juga guru, orang tua dan penduduk sekitar yang datang. Pengenalan astronomi pun dimulai, diawali dengan mengenal tata surya, lalu simulasi fenomena gerhana matahari, mengenal teleskop dan yang terakhir pengamatan matahari dengan menggunakan kacamata gerhana.

Anak-anak antusias menyimak setiap materi yang diberikan, walaupun di sisi lain saya menangkap ada kebingungan di raut wajah mereka. Ya..mungkin inilah pertama kalinya mereka mendengar kata “Astronomi”. Belum ada sekolah resmi dan fasilitas belajar yang memadai, membuat anak-anak ini tidak mendapat pengetahuan yang baik. “Listrik saja masih belum stabil, kadang mati, kadang menyala” kata Bapak Daniel. Namun begitu, mereka mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar.

Belajar teleskop. Kredit: ivie
Mengamati matahari menggunakan filter matahari. kredit : ivie

Waktu yang terbatas membuat kami harus berpisah dengan anak-anak. Langitselatan memberikan beberapa buah kacamata gerhana, agar mereka bisa mengamati gerhana matahari cincin yang akan berlangsung dengan aman. Selain itu ada juga teleskop mini, beberapa poster dan buku sebagai bahan belajar. Sedih rasanya karena harus berpisah dengan mereka dan kami tidak tahu kapan bisa kembali lagi ke desa ini.

Kami tiba di kota Lampung dan melakukan pengamatan gerhana matahari di UNILA. Setelah peristiwa gerhana berakhir, kami mendapat kabar dari Bapak Daniel bahwa anak-anak dan warga desa Trimukti merasa sangat senang sekali karena bisa mengamati gerhana matahari cincin dengan menggunakan kacamata gerhana. Mereka bisa melihat dari mulai awal gerhana sampai terbentuk cincin. Sungguh ini merupakan bayaran yang setimpal bagi saya, seketika itu juga, rasa capek yang saya rasakan hilang.

Baca juga:  Penemuan Manis Para Astronom

Mungkin keterbatasan ekonomi membuat anak-anak di desa Trimukti tidak mempunyai hak atas sejengkal tanah di planet Bumi, namun astronomi menyadarkan mereka bahwa mereka mempunyai hak atas langit yang tak terbatas untuk dimiliki dan dijelajahi. Semoga apa yang sudah Langitselatan kerjakan disana dapat membangun semangat mereka untuk belajar menembus keterbatasan yang ada.

Suasana desa Trimukti. kredit :ivie
Tim LS berfoto di tengah hutan karet. kredit :ivie
Avatar photo

Irma Hariawang

Alumnus astronomi yang sempat menjadi Ketua HIMASTRON ini memiliki ketertarikan dalam hal astroarkeologi dan etnoastronomi.

3 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • good job..rasanya memang banyak masyarakat kita yang masih haus akan pendidikan. sayang, jarang yang mau terjun ke pelosok nusantara.

  • Dear mbak Irma dkk,

    Saya adalah siswa kelas IX, SMP Negeri I Jepara (Junior category, utk. International Astronomy Olympiad)

    Saya adalah pemenang medali emas astronomi pada Olympiade Sains Nasional yll, tahun sebelumnya saya peringkat IV untuk menuju International Astronomy Olympiad, tetapi peserta ke IAO Crimea, Ukraina hanya 3 anak.

    Adik saya di kelas VIII sekolah yang sama. Ia rangking 11 pada OSN Astronomy 2008, Tahun 2008 ia juga rangking 5 untuk International Astronomy Olympiad, tetapi peserta ke IAO Trieste, Italy hanya 3 anak.

    Kami berdua berusaha mendorong rekan-rekan dan belajar bersama(Astronomy club) di SMP di daerah kami. Tetapi kami, bahkan sekolah kami tidak mempunyai teleskop. Kami tinggal di ds. Senenan, kec. Tahunan, kab.Jepara.

    Mohon bantuan untuk memperoleh Galileoscopes atau telescopes beserta perlengkapannya yang tidak lagi dipakai (mungkin dianggap terlalu sederhana).

    Thanks for your kindness.

    Best regards,
    Agustinus Benyamin Prasetyo
    Thomas Edison Prasetyo

  • Alo M’ Ima… tq ya to tulisannya keren banget sering-sering ya
    Senang banget masih ada anak muda yang peduli ma lingkungan