fbpx
langitselatan
Beranda » Mari Berhitung, Berapa Banyak Kehidupan Lain Di Luar Bumi?

Mari Berhitung, Berapa Banyak Kehidupan Lain Di Luar Bumi?

Pada awalnya saya akan menanggapi tulisan bung Ahmad mengenai adanya kemungkinan kehidupan lain di dalam alam semesta ini, tapi sepertinya akan lebih menarik untuk membuat posting tersendiri untuk hal tersebut.

Teleskop SETI.

Sedangkan untuk komentar bung Ahmad yang pertama, nanti saya akan coba tuliskan dalam posting terpisah. Ada berapa banyakkah kehidupan (cerdas) lain selain kehidupan (cerdas) di Bumi, sehingga kita bisa melakukan kontak?

Pertanyaan ini telah dicoba untuk dirumuskan secara matematis oleh Prof. Frank Drake di tahun 1960-an. Prof. Frank Drake menyusun rumus ini pada pertemuan mengenai SETI (Search of Extra Terrestrial Inteligence/Pencarian Kehidupan yang cerdas di luar Bumi) di Green Bank, Virginia Barat.

Mari kita sedikit bermain hitung-hitungan, menggunakan persamaan yang dirumuskan oleh Prof. Drake, sbb:

N = R* × fp × ne × fl × fi × fc × L

N jumlah peradaban di dalam galaksi kita, yang memungkinkan kita bisa melakukan kontak.;

R* rasio pembentukan bintang di dalam galaksi kita
fp fraksi dari bintang-bintang yang mempunyai planet
ne rata-rata jumlah planet yang berpotensi punya penunjang hidup per-bintang (yang mempunyai planet)
fl fraksi dari yang di atas dimana ada kehidupannya berkembang
fi fraksi dari yang di atas dimana kehidupannya mengembangkan kecerdasan
fc fraksi dari peradabaan yang mengembangkan teknologi, yang bisa mengirimkan sinyal tentang keberadaannya, ke luar angkasa
L rentang waktu peradaban tersebut untuk mengirimkan sinyal ke luar angkasa

Tentu saja angka-angka yang berada pada sisi kanan tidaklah selalu disepakati oleh banyak pihak. Tetapi, tidaklah salah untuk mencobakan satu atau dua angka tertentu sebagai pendekatan awal, sehingga bisa menggambarkan kemungkinannya. Bahkan kita bisa mencoba asumsi kita sendiri.

Pada tahun 1961, Prof. Drake mempergunakan pendekatan angka-angka sebagai berikut:

R* = 10/tahun (10 bintang terbentuk dalam setahun)
fp = 0.5 (setengah dari setiap bintang terbentuk punya planet)
ne = 2 (2 planet per bintang memungkinkan adanya kehidupan)
fl = 1 (100% dari setiap planet mengembangkan kehidupan)
fi = 0.01 (1% dari setiap kehidupan mengembangkan kecerdasan)
fc = 0.01 (1% yang bisa berkomunikasi)
L = 10000 tahun (hanya bisa terjadi komunikasi setelah 10000 tahun, setelah sinyal dikirimkan)

Maka N = 10 × 0.5 × 2 × 1 × 0.01 × 0.01 × 10,000 = 10. Baiklah, ada 10 kemungkinan peradaban lain di luar sana yang mungkin berkomunikasi dengan kita. Tapi apakah benar demikian adanya?

Nilai R* bisa diterima karena memang banyak ditemukan di alam dari pengamatan-pengamatan; demikian juga dengan nilai fp tidak terlalu diperdebatkan. Tetapi angka-angka yang lain masih harus di uji lagi, dan disesuaikan dengan pengamatan-pengamatan terkini.

Penemuan terkini tentang planet-planet gas di dekat orbit bintang menyebabkan nilai ne semakin tidak pasti, karena memberikan keragu-raguan apakah planet yang mempunyai penunjang-hidup, dapat bertahan di dalam sistem bintang? Sebagai tambahan, kebanyakan bintang di dalam galaksi merupakan raksasa merah, dengan radiasi UV yang sangat kecil, menambah kecil kemungkinan adanya planet yang bisa ditinggali. Alih-alih terjadi semburan energi bintang pada UV oleh bintang, semburan terjadi pada sinar-X, yang malah menyebabkan adanya erosi pada atmosfer planet. Jadi apakah mungkin suatu planet dengan penunjang kehidupan bertahan dalam kondisi seperti itu?

Baca juga:  Permainan Petak Umpet Lubang Hitam

Selain itu, adanya kemungkinan jika planet-planet gas tersebut mempunyai bulan yang mempunyai kemungkinan adanya kehidupan
(seperti contoh kasus satelit Jupiter Europa) menambah ketidak-pastian-nya menjadi semakin besar.

Angka-angka untuk fl, fi dan fc, sampai sekarang masih menjadi perdebatan.

Perdebatannya melibatkan Geologi, Biologi dan semua ilmu yang berkaitan dengan bagaimana asal muasal planet Bumi serta kehidupannya. Penemuan adanya kehidupan di Mars menambah keruwetan dalam menentukan angka-angka tersebut, jika kehidupan di Mars berasal dari proses pembentukan yang berbeda dengan di Bumi, maka angka fl harus lebih lagi. Itu pun, jika ada kecerdasan lain, apakah mereka akan berpartisipasi dalam mencari kehidupan di luar planet-nya? Apakah mereka peduli mereka sendirian atau tidak di alam semesta? Mempunyai kecerdasan, berarti mempunyai kebebasan untuk memilih, sekalipun memiliki teknologinya, tetapi jika tidak berminat mencari tahu, maka kita di Bumi tidak akan pernah tahu. Atau, jangan-jangan, malah mereka sudah datang kesini, sudah mencoba berkomunikasi dengan kita?

Nilai L, hanya berlaku untuk daerah di sekitar Matahari, sementara berapa jauh alam semesta ini? Luas sekali. Jika saja ada suatu peradaban yang mengirimkan pesan ke Bumi setelah 10ribu tahun dan baru kita terima sekarang,

Sampai saat ini, angka-angka yang diterapkan dalam perumusan tersebut masih dianggap spekulatif, tetapi, spekulatif atau bukan; rumus yang dibuat oleh Prof. Drake memberikan harapan, bahwa, secara statistik, masih ada kemungkinan kehidupan lain di luar Bumi, dan ini menjadi pijakan untuk kita terus menerus melakukan pengamatan, studi astronomi dan mencari tahu tentang banyak hal yang sampai saat ini belum kita ketahui tentang alam semesta kita.

Avatar photo

Emanuel Sungging

jebolan magister astronomi ITB, astronom yang nyambi jadi jurnalis & penulis. Punya hobi dari fotografi sampe bikin komik, pokoknya semua yang berhubungan dengan warna, sampai-sampai pekerjaan utamanya adalah seperti dokter bedah forensik, tapi alih-alih ngevisum korban, yang di visum adalah cahaya, seperti juga cahaya matahari bisa diurai jadi warna cahaya pelangi. Maka oleh nggieng, cahaya bintang (termasuk matahari), bisa dibeleh2 dan dipelajari isinya.

25 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • Persamaan Drake memungkinkan kita mengkuantifikasi SETI dan membuat perkiraan tentang jumlah kehidupan cerdas di Galaksi kita. Ini adalah salah satu terobosan yang mendorong SETI menjadi sains.

    Namun bisa jadi kehidupan certas tidak mesti mengikuti Persamaan Drake…

  • Sekedar berpendapat dan juga bertanya.

    Saya pribadi menyangsikan dan pesimis terhadap keberhasilan pencarian kehidupan cerdas dikarenakan beberapa faktor di bawah ini.

    Pertama, rumus Drake (hipotesa ? atau teorikah ?) di atas serba…mungkin…spekulatif…dan berujung perdebatan.

    Kedua,Tidak semudah membuktikan ketidakbenaran geosentris. Paradigma alam semesta yang mekanistis dan dipandang bak mesin raksasa dengan gerak bandul jam yang pasti, kayaknya tidak bisa untuk dijadikan paradigma pencarian kehidupan. Apakah bentuk kehidupan itu sebuah mesin,seperti pergerakan benda-benda langit ? Tampaknya tidak. Sederhananya, apakah “kehidupan itu “bisa didekati dengan cara pandang mekanistis ?

    Ketiga.Sebenarnya berapa banyak faktor yg bisa dilibatkan untuk memodelkan kehadiran kehidupan cerdas di Bumi sekarang ini? Jawabnya, seluruh faktor di Bumi dan di langit. Dan sains sekarang ini hanya mampu memodelkan kepingan-kepingannya saja.

    Dan faktor yang dilibatkan untuk memunculkan kehidupan cerdas di Bumi ternyata teramat sangat khusus,jikalau kemudian dijadikan pijakan untuk mencari hal yg serupa di luar Bumi.

    Artinya,untuk bisa memunculkan kehidupan cerdas harus ada planet yang persis plek seperti Bumi,persis plek seperti Tata Surya, persis plek dengan sejarah terbentuknya semuanya ini. Apalagi sekarang ini belum ada kesepakatan final mengenai kronologi sejarah pembentukan Bumi beserta makhluk hidupnya. Seperti faktor mana yang dominan dan muncul duluan pada tiap-tiap kurun,dll.

    Contoh yang lain, apakah kehidupan cerdas akan ada bila Bumi tidak memiliki Bulan ? Bila ada Bulan, apakah tetap akan ada bila tidak ada Jupiter dan Saturnus? Bila ada ketiganya, apakah tetap akan ada kehidupan cerdas bila matahari lebih besar/ kecil,lebih panas/redup dari sekarang ini, lebih dekat/jauh? BIla seluruhnya ada, apakah kehidupan cerdas juga akan muncul bila tidak ada asteroid yang melenyapkan dinosaurus dahulu kala? Dan rangkaian kejatuhan asteroid dan komet ? dll…dll

    Namun untuk bentuk kehidupan sederhana,kemungkinannya jauh lebih besar (atau tersebar luas ?) dikarenakan parameternya yang jauh lebih sedikit seperti percobaan yg dilakukan Harold Urey pada 1953(dengan hanya mempertimbangan komposisi dan fenomena di atmosfer)

    Keempat, seandainya kehidupan di luar Bumi ada namun dalam wujud yg berbeda dgn di Bumi maka sains sekarang ini kesulitan untuk menggambarkannya atau memodelkanya.

    Seperti apa yg akan dilakukan wahana exomars (diluncurkan pada 2013 ke mars) untuk mencari asam amino. Percobaan yg bakal dilakukan memberikan pilihan, apakah akan ditemukan asam amino model tangan kiri (sebagaimana asam amino yg dimiliki makhluk hidup di Bumi) atau model tangan kanan. Yg mengejutkan bila asam amino yg ditemukan adalah model tangan kanan.

    Beranjak dari itu, maka pencarian kehidupan di luar Bumi hanya mungkin ( dan merupakan satu-satunya cara) dengan mengunjunginya (melampui dari sekedar menentukan ukuran dan massa planet,jarak thd bintang,komposisi atmosfer dan temperaturnya,bentuk orbit,kala orbit dan rotasi,karakteristik bintang,dll) karena parameter kehidupan itu sendiri berbeda dengan di Bumi.

    Kelima, Intinya terletak pada “definisi kehidupan itu sendiri”.Apakah telah ada kesepakatan dengan definisinya? Bagaimana dengan aspek spiritual pada kehidupan (cerdas) seperti keberadaan roh. Bagaimana mengkuantifikasikan roh–dlm artikel di atas–, juga hasrat,kemauan ? Apakah sains cukup mumpuni untuk menjawab semua ini ?

    Sains menuntut bukti. Bagaimana bukti bisa dihadirkan bila pencarian bukti hanya sebatas pengamatan melalui medium cahaya dan “landasan” untuk menginterpretasikan hasil pengamatan tersebut justru masih diperdebatkan.

    Jangan-jangan sains membutuhkan “kehadiran” yang lain. Filsafatkah? Teologikah? Kitab sucikah ? Sastrawan/watikah? Dukun ? Ataukah sekedar konvensi bahasa berdasarkan voting? hehehe…..

    (sori bila terlalu panjang,habis terlalu semangat sih….. 🙂 )

  • Wah, menarik sekali pernyataan Nur, panjang sih, tapi jadinya dalemmmmm .. ngomentarinnya jg jd mumyet … hehehe .. Tp gpp, itu jd wacana yg membangun.

    Saya mau mulai dr komentar yg kelima dulu, “definisi kehidupan”, nah .. itu bisa masuk ke ranah filsafat-teologis, tapi pijakan sains adalah tetap sains. Jadi perkara “definisi”, itu bisa dibilang gampang-gampang susah, kenapa susah? Karena jelas definisi-nya sangat ambigu, “kehidupan?”, wah .. dampaknya sangat luas dan bisa menjurus kemana2; Bahkan, Schneider, dalam “The Search of Life outside of The Solar System”, menyatakan bahwa definisi tentang kehidupan itu bisa sangat-sangat subyektif.

    Gampangnya? Sains itu selalu gampang, karena selalu memberi batasan yang jelas, disini wacana sains, keluar dari sini udah gak sain. Titik. Selesai. Nah, kemudian, apa batasan sains? Sains itu selalu bicara tentang dunia yang fisik, material, nah batasan2 kehidupan dalam sains itu adalah semua yang bisa ditera dan diukur secara material. Gampang kan memberi batasannya. Jadi, dari kaca mata sains, bakteri dan manusia itu sama saja. Obyektif kan?

    Kedua, soal kehidupan bisa didekati secara mekanistis? Iya, betul sekali, karena kehidupan dari kacamata sains itu adalah wacana yang sangat materialistis dan bisa diukur, jd sah-sah saja bisa mendekati sesuatu yg absurd itu dengan pendekatan yang sistematis, sepanjang bisa dipertanggung-jawabkan. Gak usah jauh2, kembali ke soal geo-helio-sentris, toh belum pernah ada manusia yang bisa terbang jauh2 dari sistem tata-surya, toh mayoritas sudah setuju bahwa memang kita hidup dalam ranah yang heliosentris. Ini hanyalah masalah persepsi saintifik.

    Ketiga, berapa banyak? Jawabannya tak hingga!! Proses pembelajaran sains itu tidak pernah memberikan kebenaran mutlak, yang ada hanya memberikan pendekatan-pendekatan pada suatu kebenaran, dan proses itu terus berulang (dialektika), kalau tidak begitu, manusia tidak belajar. Bukankah hakikat manusia itu untuk selalu belajar? Hanya orang bodoh yang tidak pernah mau belajar. Apakah ini persepsi sains? Saya pikir ini hanyalah opini pribadi, tapi saya tidak menemukan opini ini dari ranah sains. 😉

    Demikian juga proses pemahaman kehidupan di luar Bumi itu adalah proses pembelajaran dan pencarian yang tidak akan pernah berhenti. Bahkan sampai ada proyek SETI segala, itu karena keingin-tahuan manusia itu sangat besar, selalu mencoba mencari tahu.

    Keempat, gimana kalau ternyata bentuk kehidupan berbeda? Nah, penemuan sains akan selalu penuh dengan kejutan, seperti juga kasus geosentris dan heliosentris, ketika heliosentris diperkenalkan, betapa gegap gempita-nya kan kehidupan pada masa itu? Tatanan dunia yang mapan harus dibolak-balik. Demikian juga ketika Einstein memperkenalkan E=mc^2? Kagetlah Einstein ketika rumusnya itu bisa menjadi bom atom yang mencabut begitu banyak nyawa manusia. Demikian juga, kalau ternyata kehidupan itu ternyata diluar bayangan kita.

    Oleh karena itu, wacana saintifik selalu menuntut obyektivitas, pikiran yang selalu terbuka, dan jujur. Kalau salah ya akui salah. Jujur juga terhadap semua keraguan, tidak usah terlalu optimis, tapi juga jangan menjadi pesimis.

    Jadi, kendati rumus Drake hanyalah sekedar “rumus yang spekulatif”, tapi cukup jujur untuk bisa menjadi optimis, kendati banyak juga sisi-sisi yang menjadi pesimis. Tetapi, bukanlah berarti bahwa pembelajaran sains harus berhenti, toh masih banyak misteri alam semesta yang masih ingin disingkapkan. Kalau tidak begitu, ngapain kita hidup di tengah semesta ini, jika tidak mencoba mencari hakikat kita? 🙂

  • Dengan sains yg materialistis,terukur,bisa dibuktikan dan universal, ilmuwan eksakta tampaknya lebih percaya diri dibandingkan ilmuwan sosial. Saya pernah baca di buku ensiklopedi sains, syahdan di sebuah PT di AS, saat mahasiswa ilmu sosial bersantai di taman, mereka melihat mahasiswa ilmu eksakta keluar dari gedung kuliah,berjalan melintasi taman dan bercakap,”wah teori minggu lalu ternyata telah diruntuhkan pada penemuan hari ini “.Dan begitu seterusnya.Perjalanan ilmu eksakta bak grafik eksponensial.Penemuan baru mengalir deras bak air hujan yg siap menggenangi Jakarta :-))

    Namun,apa yg menjadi kajian sains tidak bisa dilepaskan dari kritik ilmuwan sosial. Contohnya,Michel Foucoult,seorang pemikir dibidang sosial,mengkritik dunia kedokteran.Diagnosa (sains) kedokteran pada sebuah penyakit selalu melokalisasi jenis penyakit tersebut. Demikian halnya dengan paradigma spesialisasinya.Misalkan sakit gigi,ya seputar mulut.Sakit mata,ya seputar mata.Sakit jantung,ya seputar jantung. Dan tidak merambat (meluas pada organ) yg lain.Akibatnya terapi yg dilakukan dan obat yg diberikan,ya seputar penyakit itu.Ada banyak kasus,dimana pasien sembuh,tapi memberi dampak fisiologis bagi organ lain atau bahkan bertambah parah.Penyebabnya bisa banyak. Pertanyaannya,apakah penyakit mata hanya seputar mata ? dll.

    Sains di atas (bidang kedokteran) berbicara pada biologi pada spesies tunggal homo sapiens.Sains yang berbicara secara material dan membatasi masalah untuk kemudian bisa memodelkan dalam bentuk rumus yg mudah dicerna ternyata kesulitan untuk menjelaskan secara utuh mengenai “kehidupan” pada makhluk hidup tsb.

    Dan memang banyak faktor yg memengaruhi kehidupan itu sendiri,bahkan dari awal kejadiannya. Seperti yang berada dilokasi yg amat jauh. Contohnya peristiwa supernova thd pembentukan tata surya (Cameron, A. G. W.; Truran, J. W., 1977),bahkan ledakan supernova 3 jt thn lalu,memengaruhi jalannya evolusi kehidupan –makhluk cerdas (Gunther Korschinek,in the Oct. 22 ,2004 issue of the journal Physical Review Letters), dll. Seandainya, itu semua tidak terjadi,apakah kita sekarang ini akan ada ?

    Pertanyaannya,apakah karena sains belum sempurna sebagaimana impian (ambisi ?) theory of everything (TOE) ataukah ada “bagian” di alam ini dimana sains memiliki keterbatasan diri untuk menjelaskannya seperti menjelaskan kehidupan pada makhluk hidup?

    Singkatnya,memandang makhluk hidup hanya secara material, apakah tdk terlalu menyederhanakan kehidupan itu sendiri? Jangan-jangan sains terlalu percaya diri dengan paradigma saintifiknya ? 🙂

  • Wah .. pertanyaannya dalam nih, apakah paradigma sains terlalu menyederhanakan? Sains itu sendiri apa? Secara non-formal, sains adalah metodologi yang sistematis, sedemikian, sehingga disepakati secara bersama, tentang pemahaman fenomena alam, ataupun persepsi tentang manusia itu sendiri. Jadi kemudian ada yg namanya sains eksak, sains sosial, teologi sains; itu hanyalah etimologi, yang punya sistematika, baku, sehingga pemahamannya terus menerus disepakati.

    Apakah kemudian, kesepakatan itu menggambarkan realita yang absolut? Paling tidak, pada taraf-taraf yang normatif, bisa dikatakan, oke, kita bersepakat, bahwa bintang jatuh, hanyalah karena fenomena gravitasi. Tapi apakah benar itu? Sederhana iya, tapi hukum Newton menyatakan bahwa itu hanyalah karena interaksi massa pertama dan massa kedua belaka, tidak ada istilah jatuh, tapi karena massa bumi jauh lebih besar daripada ‘bintang-jatuh’ yang mungkin hanya seukuran badan manusia (sebut begitu), maka, sederhana saja orang mengatakan ada yang namanya bintang jatuh. Itu kesepakatan bersama kan?

    Kembali ke masalah ‘penyederhanaan’, mungkin saya akan coba contoh yg rada-rada bombastis, sebut saja, asal usul alam semesta, ada dua mazhab besar, yang pertama: ledakan besar, (semua sudah tahu kan?), kedua, keadaan alam semesta tunak (tidak ada awal dan akhir alam semesta).

    Dalam pemahaman sains, ada pakem yang selalu dipegang, dikenal sebagai Occam’s Razor: Kalau ada fenomena yang mempunyai lebih dari satu penjelasan, pilihlah penjelasan yang paling gampang dipahami.

    Demikian juga, untuk kasus bigbang, data pendukung lebih banyak, penjelasan teoritis-nya jg lebih bisa diterima, matematika-nya juga gak rumet. Tapi kenapa masih ada yang berpegangan dengan teori keadaan tunak? Paling tidak, org2 yg berpegangan disitu punya alibi saintifik yang paling tidak bisa diterima. Cuman karena penjelasannya lebih rumit, maka pilihlah yang gampang saja, big-bang lebih bisa diterima koq pada saat ini. Tapi apa benar demikian? Berapa sih umur manusia dibanding umur alam semesta?

    Jadi bukan masalah terlalu percaya diri pada paradigma saintifik-nya. Tapi bertanggung-jawab pada etika saintifik-nya. Lagian, untuk kasus ‘kehidupan’, itu kan multi-polar, ada tinjauan2 yang non-materialistis. Makanya, dalam etika sains, itu ada garis demarkasi yang jelas, apakah sesuatu itu ‘sains’, ‘pseudo-sains’, atau bahkan bukan sains sama sekali. Sains modern harus bisa memberi batasan yang jelas dalam membeberkan wacana-nya. Jadi kalau mau bicara tentang ‘kehidupan’, harus ada garis batas yang benar-benar jelas. Kalau mau lebih dalam, maka ada ranah yang nama-nya filsafat sains, dimana semua keruwetan itu bisa dibahas.

    Yang pasti , belajar sains itu semakin membuka mata, bahwa ternyata manusia itu gak ada apa2nya, banyak hal yg belum bisa (atau tidak akan pernah bisa?) membuka seluruh ujung semesta ini? Bahkan wacana tentang manusia itu sendiri belum pernah berhenti. 🙂

  • “…Dalam pemahaman sains, ada pakem yang selalu dipegang, dikenal sebagai

    Occam’s Razor… “.

    “Occam’s razor ini ” mengingatkan saya pada film contact (adaptasi dari novel

    karya carl sagan) ketika sang tokoh utama diadili untuk menjelaskan

    “pengalamannya”. Kejadian sekelebat yang terekam oleh kamera ketika

    wahana yang membawa astronom jatuh ke “mesin peluncur (?)” yg akan

    membawanya ke tempat alien berada di bintang vega (kalo gak salah),ternyata

    bukanlah pengalaman sekelebat seperti yang dialami oleh astronom.

    Dalam dialog publik istilah occam’s razor ini muncul untuk menegasikan

    bahwa pengalaman sang astronom berada di luar domain pemahaman yg

    sederhana.

    Mana yg benar,kamera dan penonton yg melihat bahwa wahana itu meluncur

    sekelabat,ataukah sang astronom yg merasakan telah pergi ke bintang

    vega,bertemu alien dan bercakap-cakap dengannya,dalam hitungan belasan

    jam ?

    Meskipun kasus di atas terdapat dalam film, secara umum pengalaman pribadi

    tak bisa dijadikan rujukan sains.

    Dalam kasus pencarian kehidupan cerdas, pengalaman pribadi yang berjumlah

    banyak,misalkan manusia diculik alien, termasuk ada yang berwarga negara

    indonesia, apakah tidak bisa dijadikan rujukan untuk mencari SETI ?

    Dengan analogi occam’s razor di atas, sepertinya sih sains yg melandasi SETI

    menegasikan pengalaman pribadi manusia yang pernah diculik alien.

    Sebagaimana astronom dalam film contact dan orang yg diculik alien,

    bagaimana mereka harus menjelaskan pengalamannya,kalau pengalaman itu

    berada diluar wilayah occam’s razor ?

  • Nggieng, George Dvorsky menulis artikel tentang Persamaan Drake yg dianggapnya sudah usang karena tidak mempertimbangkan banyak hal. Gw sendiri pernah membahas soal Persamaan Drake (artikelnya tadinya mau dimuat di Centaurus tapi gak jadi :D) nanti gw post deh dan memang kesimpulannya, sejauh ini Persamaan Drake agak2 main tebak2an di parameter2 belakangnya. Mengenai kapan munculnya kehidupan cerdas, George juga menulis artikel menarik.

    cheers,

    -tri-

  • Yah , dengan sangat menyesal, pengalaman pribadi adalah suatu hal yang sangat subyektif. Seperti juga, apakah seseorang percaya pada Tuhan, bagaimana percaya, bilamana secara ‘eksak’ tidak bisa membuktikan adanya Tuhan?

    Ini adalah sebuah ironi, tapi bukankah berarti kita perlu mengingkari keberadaan Tuhan bukan? Demikian juga, mungkin ada orang-orang yang mempunyai ‘pengalaman’ pribadi dengan alien, tapi sampai saat ini belum ada pendukung ‘bukti2’ material yang kuat untuk menyatakan bahwa, “iya , saya bertemu alien, whatsoever”.

    Sebuah ironi yang lain, bilaman kita tidak bisa membuktikan keberadaan Tuhan, tapi kita percaya ada Tuhan; bilamana kita tidak bisa membuktikan keberadaan alien, tapi kita ‘percaya’ ada alien, secara logika, persepsi-nya sama. Lalu apakah Tuhan = alien?

    Secara gampang , logika -nya sama kan, tapi secara subyektif, kita mungkin akan keberatan dengan pernyataan seperti itu, bukan?

    Wajar kalau kemudian muncul kumpulan2 masyarakat (bahkan ada yang meng-kultuskan) adanya alien, (mungkin memang benar ada alien?), tapi belum ada dukungan dari dunia sains, sehingga muncul istilah2 pseudo-sains, atau orang2 seperti Erik von Deniken, atau seperti Dajjal dan segitiga bermuda. Nah, itu mungkin ungkapan perasaan yang (mungkin) secara ilmiah kurang beralasan.

    Kembali tentang kehidupan di luar bumi, makanya secara ilmiah ada proyek SETI, untuk mencari KEHIDUPAN CERDAS DI LUAR BUMI, ini sangat tidak relevan dengan PENGALAMAN PRIBADI DICULIK ALIEN. Sorry, bukan maxut marah, tp berhubung gak ada bold. :”>

    Satu hal lagi, mohon kl komentar yg panjang2 mending di forum aja, plis? Bukannya kenapa, jd kl menyertakan artikel2 rujukan bisa lebih enak, bisa di italik, bold , dll.

    Matur tenkyu

  • sori klo comentnya pnjng,hbis tdk tahu sih. 🙂
    trims berat atas penjelasannya yg ilmiah.rujukan di atas mengenai George Dvorsky memperjelas mengenai apa dan bagaimana SETI itu sendiri. 🙂
    bagi khalayak yg minim info spt sy,tentu disertakannya rujukan amat membantu memahami maksud artikel, terlebih untuk tema yg msih mnjadi tanda tanya bahkan kontroversi di khalayak.

    matur suwun /tenkyu banget . 🙂

  • hehe .. emang bener try, persamaan Drake itu kan cuman persamaan pendekatan, yang terlalu menyederhanakan masalah; kl. baca Schenieder, maka persamaan Drake itu jauh dari realistis. Tapi gpp.

    Kalau ngeliat paradox Fermi, yang pendekatannya digunakan dalam persamaan Drake, koq ternyata sampai sekarang belum ditemukan, maka muncul pertanyaan, “dimana mereka?”

  • pada hakekatnya pernyataan nur isinya menyangsikan sains yang menggunakan metoda alur logika sedang kalo di perhatikan komentar yang di diluncurkan hanya mengotak atik logika pembicaraan.. sedang sodara nur menyangsikan sains yang menggunakan logika ..jadi bingung…

  • Bayangkan, di lautan yang maha luas ini hanya ada seekor ikan. Apa yang akan kita pikirkan?
    Bayangkan, jika kita berada pada sebuah gua dengan keluarga kita, dengan segala kebutuhan kita dan juga dengan segala pengetahuan yang kita buat untuk hidup di gua itu. Apakah kita akan berpikir bahwa hanya ada kita?
    Maka, bayangkan juga di jagat raya yang sangat luas ini hanya bumi yang memiliki kehidupan, maka analoginya sama dengan lautan luas dengan seekor ikan. Untuk apa lautan luas itu? Sama juga dengan persepsi kita bahwa kecil kemungkinan di luar sana ada kehidupan tidak lebih dari keterbatasan sains saat ini.
    Ingat teman-teman dulu bumi ini datar. Semua pemikiran mengarah ke sana karena berpatokan pada kitab-kitab suci. Sekarang siapa yang masih mengatakan bumi ini datar?

  • Mmh, boleh juga perbincangannya. Kalo pendapat gw, ET itu ada, itu mutlak. Ingat, alam ini bukan hanya secuil sebatas galaksi kita saja. Tetapi sebatas tak terhingga alias tak terhingga.

    Saya pernah baca ebooknya ( berisi ajaran ) gerakan Rael ( Claud Vorhillon ) yang isinya sangat inovatif. Bahkan untuk disebut kultus pun kurang tepat. Rael menguak semua misteri di jagat raya ini. Memang, orang yang belum paham dengan ajaran ini menganggap bahwa gerakan ini sesat. Bahkan pengikutnya pun masih sedikit untuk sebuah sekte. Menurut pendapat saya, gerakan rael sangat inovatif dan kreatif serta menyelesaikan atau menguak masalah / rahasia di Alam Semesta yang tak terhingga ini. Agama / gerakan rael sungguh2 sempurna menurut saya. Jika kita membaca semua tulisan, maka kita akan merasa puas dengan jawabannya.

    Sekian. 😀

    Alamat download buku2 rael : http://www.rael.org atau id.rael.org

  • Kalo pun hanya ada probabilitas 0 dan 1 untuk kehidupan extra terestrial,,, maka jawabannya adalah 1. Tapi apakah bentuk kehidupan itu berupa peradaban cerdas atau bukan, disinilah menariknya.. Oke, berbagai pendekatan science boleh dilakukan, jutaan asumsi dan model dikembangkan ke arah situ, tapi tetaplah manusia harus tetap berpijak di bumi. Ada batasan2 yang memang belum terbuka oleh pengetahuan manusia. Atau jangan2, jawaban yg paling ditunggu itu ternyata udah ada disini, di bumi kita ini! Dan kita telah mengabaikannya….

  • Walaupun jauh dari kata sempurna, Drake equation salah satu fav-ku.

    Karena equation inilah SETI bisa dikategorikan sebagai science., walaupun white paper-nya kebanyakan tentang computer engineering =) bukannya tentang astronomi.
    Dan terakhir ini SETI sudah meluncurkan media baru, sebagai bahan diskusi umum, yang oleh banyak orang disambut gembira krn bisa dianggap sebagai scientific report-nya SETI *Near Time Persistency Checker*

    http://setiathome.berkeley.edu/forum_forum.php?id=830

    • Persamaan Drake memang sebuah pendekatan matematika, sehingga merupakan kajian sains, dan memang persamaan matematika paling tepat diterapkan pada ilmu komputer.

      SETI sendiri merupakan kajian sains akan keberadaan ETI, karena tetap patuh pada kaidah2 sains, tanpa menjanjikan sebuah jawaban pasti ada atau tidak alien, biarlah data yang berbicara .. dan itu yang terus menerus dikaji (secara ilmiah tentunya)

  • bila belihat kitab suci orang Budha, memang telah dijelaskan bahwa bumi itu bulat. Kepercayaan budha mengibaratkan bumi bagaikan siklus kehidupan bagaikan roda. Mereka juga percaya reinkarnasi mahluk hidup dan juga reinkarnasi Bumi bahkan Alam semesta.
    Sedangkan menurut ilmu astronomi hindu setidaknya dalam alam semesta ini terdapat 240.000 jenis kehidupan.
    Percaya atau tidak……………? Terserah……

  • Wah kalao saya malahan pernah tu main-main ke MARS, ato ke planet-palanet lain diluar bumi kita tercinta ini, malahan teman-teman saya ALIENS memberitahuka bahwa hidup disana lebih enak, kata pak Bondan pas sama-sama makan di MARS berkata POKOKE MAK NYUSSSSSSSSSSS………wuaha………………ha………………….uenak tenan!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!.

  • Saya emang g tw tentang dunia sains. .Tp yg psti kita hdup ini pnya tjuan,dan tjuan itu adalah crilah ilmu sebanyak2nya. .Jd q dkung sains

  • Semua komentar bagus-bagus. Kalimat-kalimatnya sangat edukatif. Bahkan ada sebagian yang malah lebih bagus dari tulisan yang dikomentari. Saya sangat tertari dengan topik ini.

    Menurut saya, para pakar/ahli/ilmuan/scientis, tidak akan pernah sepaham sampai kapan pun tentang kehidupan, (apakah tentang unsur-unsur kehidupan di luar sana, atau tentang hal yang lain), selama mereka tidak mengenal atau mengakui Allah sebagai Pencipta dan sumber kehidupan itu sendiri. Jika mereka masih mengatakan kehidupan ini tercipta secara kebetulan, yang diawali oleh ledakan yang sangat besar, maka mereka akan kehilangan makna kehidupan.

    Apa pun bentuk penelitiannya, semulia apa pun tujuannya, se’ngebet’ apa pun keingintahuannya, tanpa diawali dengan keyakinan yang teguh bahwa Allah lah penciptanya, maka penelitian itu tidak akan membawa berkah baginya. Bahkan sangat mungkin yang timbul malah kekecewaan dan frustrasi.

    Saudaraku para ahli, yang telah memperoleh berkah kepintaran dari Allah, Lanjunkanlah penelitianmu! Tetapi ingat, Allah lah Pencipta mu, Allah lah pencipta bumi dan segala isinya (selama 6 hari)di mana kamu berpijak.

    “Ilmu pengetahuan yang benar tidak akan pernah bertentangan dengan Firman Allah”.

  • Kalau menurut aku,berdasarkan ajaran kita Agama Islam bahwa alam itu ada tujuh lapis,jadi kehidupan di luar bumipun jumlahnya ada 6. Karena setiap alam pasti punya kehidupan. Coba tolong hitung secara matematik dengan rumus perhitungan kecerdasan.

  • Wehele komentar pada bagus tapi menurut. Nasa ada kehidupan di dunia lain karna pernah ditemukan beberapa jejak alien seperti :pintu rahasia di mars piramida dimars jejak kaki mahluk lain Dll…dan juga tidak mungkin kita hidup di alam semesta ini galaksi kita aja (bima sakti ada 168 miliar planet dan 17 miliar planet yg mirip bumi di alam semesta aja ada 18 galaksi bagaimana tdk munkin pikirkan terlebih dahulu aku masih kelas 6 loh udah pinterkan hehehe