fbpx
langitselatan
Beranda » Kecerdasan Buatan, Kacamata Spesial Astronomi

Kecerdasan Buatan, Kacamata Spesial Astronomi

Kecerdasan buatan bukan lagi makhluk aneh di masa sekarang. Kecerdasan buatan berperan merekomendasikan film untuk kita tonton di Netflix, juga membuat karakter untuk berinteraksi saat memainkan permainan daring seorang diri. 

Analisis data dengan kecerdasan buatan bisa membantu astronom menyingkirkan derau dan menemukan bentuk Alam Semesta. Kredit: The Institute of Statistical Mathematics
Analisis data dengan kecerdasan buatan bisa membantu astronom menyingkirkan derau dan menemukan bentuk Alam Semesta. Kredit: The Institute of Statistical Mathematics

Kecerdasan Buatan

Kecerdasan buatan punya banyak aplikasi dan sudah kita temui saat berselancar di dunia maya. Kehadiran kecerdasan buatan bisa digunakan untuk membawa produk di gudang dan rumah sakit atau bahkan mengingatkan para pemilik kebun kapan waktu terbaik untuk menyirami anggurnya atau memangkas pohon lemon.

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) juga bisa digunakan di astronomi. Contohnya untuk mempertajam visualisasi, sama seperti ketika kita menyesuaikan lensa kacamata untuk memperoleh hasil penglihatan yang tajam. Buat kamu yang memakai kacamata tentu tahu kalau mata kita diperiksa, maka dokter mata akan menggonta ganti lensa sampai kita bisa melihat objek dengan fokus dan tajam. Sepasang lensa yang tepat bisa membawa perubahan!

Di astronomi pun sama. Seperti  saat kacamata buram kita perlu diganti, di astronomi ada “derau” yang bisa mendistorsi citra atau foto dan data lewat beberapa cara. Jadi bukan hanya buram. Derau bisa mempengaruhi bentuk galaksi atau bahkan salah mengenali eksoplanet sebagai objek lain yang mirip. 

AI di Astronomi

Data survey area yang luas bisa digunakan untuk mempelajari struktur skala besar Alam Semesta, lewat pola pelensaan gravitasi. Dalam pengamatan lensa gravitasi, gaya gravitasi objek latar depan seperti gugus galaksi bisa mendistorsi citra objek latar belakang seperti galaksi-galaksi jauh.

Tim astronom Jepang belum lama ini mengembangkan teknik AI untuk meningkatkan analisis data astronomi. Teknik ini bisa menghilangkan derau dalam data yang menyebabkan perubahan acak pada bentuk galaksi saat diamati dengan teknik lensa gravitasi. 

Efek derau tersebut membuat para astronom kesulitan membedakan apakah bentuk galaksi yang aneh berasal dari efek lensa gravitasi atau bukan.

Untuk itu, tim astronom ini melatih kecerdasan buatan dengan 25000 dataset galaksi tiruan hasil simulasi komputasi untuk mengenali dan membedakan galaksi. Dataset tersebut dibuat berdasarkan data pengamatan. Setelah itu, para astronom menambahkan derau untuk menguji apakah AI bisa mengenali efek yang ditimbulkan oleh lensa gravitasi dan bukan. Ternyata ide ini berhasil! 

Para astronom kemudian menggunakan kecerdasan buatan ini pada Teleskop Subaru di Hawai’i dan hasilnya, mereka bisa memperoleh citra galaksi yang sangat detail.

Para astronom juga menemukan kalau AI bisa melihat distribusi massa objek antariksa seperti model Alam Semesta yang dikerjakan para astronom sejak dulu. Dengan demikian, AI bukan hanya bisa mengenali bentuk galaksi tapi juga bisa jadi alat untuk menganalisis dengan sangat detail data masif dari survei astronomi.  

Fakta Keren

Komputer yang membuat 25000 galaksi tiruan adalah ATERUI II, superkomputer terbaik di dunia yang didedikasikan untuk astronomi. Komputer ini sangat cepat dan bisa mengerjakan tiga kuadriliun atau seribu triliun operasi matematika dalam satu detik!

Baca juga:  Lahir dari Debu

Sumber: Artikel ini merupakan publikasi ulang yang dikembangkan dari Space Scoop Universe Awareness edisi Indonesia. Space Scoop edisi Indonesia diterjemahkan oleh langitselatan.

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • Kebanyakan Ilmuwan luar angkasa dalam membuat tulisan ilmiah maupun teori teori Alam Semesta berpatokan pada hasil pengamatan melalui Teleskop ya apalah namanya baik Hubble maupun yang lain lain, padahal tidak sesuai kenyataan Teori fisika, contoh jembatan jaring jaring antar Galaksi jauh yang jaraknya milyaran tahun, kalau kita lihat dari bumi melalui Teleskop maka seakan akan ada materi gelap, padahal itu adalah repleksi dari ribuan bintang bintang dan gas serta debu didekat galaksi yang memancarkan cahaya (jadi kelihatan seakan ada jaring laba-laba).