fbpx
langitselatan
Beranda » Cahaya Supernova Dari 10 Miliar Tahun Lalu Teramati

Cahaya Supernova Dari 10 Miliar Tahun Lalu Teramati

Sepuluh setengah miliar tahun lalu, sebuah bintang meledak dalam ledakan supernova mahadasyat saat alam semesta baru berusia kurang dari 4 miliar tahun!  Cahaya supernova tersebut baru tiba di Bumi 10,5 miliar tahun kemudian dan pertama kali dipotret bulan Agustus 2016.

Supernova DES16C2nm saat mencapai puncak kecerlangannya tanggal 29 September 2016. Kredit: Mathew Smith dan Kolaborator Survei Energi gelap.
Supernova DES16C2nm saat mencapai puncak kecerlangannya tanggal 29 September 2016. Kredit: Mathew Smith dan Kolaborator Survei Energi gelap.

Supernova dari alam semesta muda

Ketika para astronom menemukan cahaya transien yang ternyata dari ledakan supernova ini, mereka menelusuri kembali data pengamatan sampai bulan Maret 2016 untuk mencari tahu apakah supernova ini sudah tampak sebelumnya.  Ternyata ada indikasi kalau supernova ini sudah mulai tampak sejak 9 maret 2016.

Ledakan bintang yang kemudian diberi nama DES16C2nm, diamati dalam program Survei Energi Gelap untuk memetakan jutaan galaksi jauh pada area seluas 5000 (°)2 atau 1/8 area langit. Tujuannya untuk mempelajari energi misterius yang mempercepat pemuaian alam semesta. Pengamatan area langit yang demikian luas, tak mengeherankan jika kita akan menemukan banyak sekali supernova dari waktu ke waktu.

DES16C2nm mencapai puncak kecerlangannya pada bulan September 2016 dan kemudian meredup sampai akhirnya tidak dapat diamati lagi pada bulan Januari 2017.

Untuk memperoleh informasi dari supernova. Yang harus diketahui adalah kecerlangannya. Dan tentunya kecerlangan akan berkaitan erat dengan jarak. Caranya tentu dengan analisis spektrum cahaya yang dihasilkan saat pengamatan. Informasi penting ini baru diketahui bulan Oktober 2017 lewat pengamatan dengan Teleskop Hubble, Teleskop Keck di Hawaii, serta Very Large Telescope dan Teleskop Magellan di Chile.

Ada yang menarik. Spektrum dari DES16C2nm memperlihatkan kalau supernova ini mengalami pergeseran merah yang memberi indikasi kalau objek tersebut sedang bergerak menjauh dengan cepat. Hasilnya, diketahui kalau cahaya dari supernova tersebut sudah menempuh perjalanan 10,5 miliar tahun untuk mencapai pengamat di Bumi. Waktu tempuh ini sekaligus juga merupakan jarak yakni 10,5 miliar tahun cahaya dari Bumi.

Itu jarak. Dari hasil pengamatan kecerlangan supernova, diketahui juga kalau DES16C2nm memiliki kecerlangan 100 kali lebih terang dari supernova yang selama ini kita ketahui. Itu artinya, DES16C2nm yang ditemukan merupakan supernova langka dari kelas Supernova Mahaterang (Superluminous Supernova atau SLSN) atau hipernova!

Supernova Superterang

Supernova atau ledakan sebuah bintang terjadi ketika bintang masif sudah kehabisan bahan bakarnya dan akhirnya mengalami keruntuhan inti. Untuk bintang masif yang tidak berakhir sebagai lubang hitam, inti yang runtuh akan mengembang tiba-tiba dan memicu terjadinya ledakan yang menimbulkan gelombang kejut. Ledakan yang terjadi pada umumnya melepaskan energi yang sangat besar, setara dengan seluruh energi yang dipancarkan Matahari selama hidupnya!  Peristiwa inilah yang kita kenal sebagai Supernova.

Tapi, supernova juga punya tipe berbeda berdasarkan kecerlangannya. Supernova Tipe I dan Tipe II, dengan Tipe I bisa mencapai kecerlangan -16 magnitudo sedangkan tipe II, 2 magnitudo lebih redup. SLSN memiliki karakteristik yang sangat terang dengan kecerlangan melebihi -21 magnitudo. Nah, supernova DES16C2n diketahui memiliki kecerlangan -22 magnitudo!

Baca juga:  Penampakan Super si Bintang Maharaksasa

Supernova superterang seperti ini pertama kali ditemukan pada tahun 1998. Namun, SLSN pertama kali dikonfirmasi keberadaannya pada tahun 2003 saat penemuan ledakan sinar gamma GRB 030329 di rasi Leo yang juga sebuah supernova dan diberi nama SN 2003dh. Peristiwa ini menandai kematian bintang yang 25 kali lebih masif dari Matahari.

DES16C2nm juga bagian dari supernova tipe langka yang kecerlangannya bisa melebihi kecerlangan galaksi paling terang.  Jadi apa yang menyebabkan sebuah bintang yang meledak bisa seterang itu?

Menurut para astronom SLSN terbentuk saat inti bintang yang mengalami keruntuhan membentuk objek kompak yang dikenal sebagai bintang neutron. Diduga, yang terbentuk itu bukan sekedar bintang neutron tapi magnetar, bintang neutron yang memiliki medan magnet 100 triliun kali lebih kuat dari Bumi. Interaksi materi yang runtuh ke dalam magnetar justru semakin memperkuat ledakan bintang, dan menghasilkan lontaran energi yang lebih besar yang kemudian kita kenal sebagai tipe SLSN.

Tapi, ada kemungkinan lain. SLSN terbentuk dari ledakan pasangan bintang yang tidak stabil atau materi yang terlontar saat bintang meledak bertabrakan dengan gas yang ada di galaksi induknya dan menyebabkan terjadinya peningkatan kecerlangan.

Masalahnya, saat ini kita tidak punya banyak contoh supernova superterang dari tipe SLSN ini. Karena itu, setiap penemuan supernova tipe ini akan sangat membantu para astronom untuk memahaminya.

Keunggulan supernova tipe ini, ia merupakan tipe ideal untuk menjejak objek dengan pergeseran merah yang besar.  Beberapa kandidat dengan pergeseran merah besar sudah ditemukan pada tipe SLSN, dan DES16C2nm adalah salah satunya.

Para astronom juga tidak menemukan kehadiran gas hidrogen pada spektrum DES16C2nm. Dengan demikian, bintang yang jadi cikal bakal supernova tersebut sudah menghempaskan sebagian besar lapisan terluarnya sebelum ledakan terjadi. Dari spektrum radiasi ultraungu DES16C2nm, para pengamat juga bisa memperoleh informasi seberapa besar logam yang terbentuk dalam ledakan dan juga temperaturnya. Dari informasi inilah kita bisa mengetahui penyebab ledakan kosmik tersebut dan memahami apa yang terjadi miliaran tahun lalu. Apalagi untuk menjejak galaksi jauh tidaklah mudah karena sangat redup.

Lilin Penentu Jarak

Penemuan DES16C2nm juga punya arti penting. Apalagi kecerlangannya luar biasa terang melampaui Supernova Tipe Ia yang biasanya bisa mencapai -19 magnitudo.  Supernova Tipe Ia merupakan peristiwa yang dijadikan lilin penentu jarak dalam kosmologi, karena kecerlangan yang sebenarnya sudah diketahui dan hanya berubah oleh jarak atau jika dihalangi debu.

Penemuan supernova superterang yang kecerlangannya 100 kali lebih terang dari Supernova Tipe Ia jelas menjadi keuntungan tersendiri. SLSN bisa menjadi kandidat lilin penentu jarak baru untuk objek-objek yang berada pada jarak yang super jauh.

Baca juga:  Eta Carinae, Bintang yang Selamat dari Ledakan

Tapi, supernova tipe SLSN yang ditemukan belum banyak. Karena itu, untuk menjadikan SLSN sebagai lilin penentu jarak, perlu ada perburuan hipernova besar-besaran agar bisa dilihat pola cahaya yang dipancarkan dan kecerlangannya.  Jika kita punya contoh yang cukup, maka supernova tipe SLSN bisa distandarisasi sebagai lilin penentu jarak.

Tidak mudah, tapi sangat mungkin untuk dilakukan,

Survei Energi Gelap masih akan melakukan pemantauan langit selama satu tahun lagi. Selain itu ada Large Synoptic Survey Telescope yang akan memetakan seluruh area langit selatan dan mulai beroperasi tahun 2019. Selain itu ada teleskop Wide Field Infrared Survey Telescope (WFIRST) milik NASA yang seharusnya bisa menjadi kandidat pengamat SLSN. Sayangnya, teleskop yang satu ini tampaknya terancam tidak akan beroperasi karena masalah pendanaan yang dibatalkan oleh pemerintah Amerika. Teleskop masa depan lainnya yang diharapkan dapat melakukan survei adalah teleskop luar angkasa EUCLID milik ESA yang akan diluncurkan tahun 2021.

Dengan teleskop masa depan, para astronom yang menemukan DES16C2nm akan dapat mengamati objek yang lebih jauh dari 12 miliar tahun cahaya. Itu artinya kita akan melihat ke masa lalu alam semesta ketika semuanya masih sangat berbeda.

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

Tulis Komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini