fbpx
langitselatan
Beranda » Mungkinkah Planet Yang Terkunci Gravitasinya, Laik Huni?

Mungkinkah Planet Yang Terkunci Gravitasinya, Laik Huni?

Jauh dari Bumi, di sebuah bintang, ada planet laik huni yang terkunci gravitasi pada bintang. Panas dan dingin ekstrim pada dua “sisi” yang berbeda. Tak cuma satu, ada banyak planet serupa di bintang lain. Pertanyaannya, mungkinkah ada kehidupan di planet yang terkunci secara gravitasi?

Planet yang terkunci gravitasinya pada bintang akan selalu memiliki sisi yang sama yang berhadapan dengan bintang. Kredit: Sean Raymond / Nautilus
Planet yang terkunci gravitasinya pada bintang akan selalu memiliki sisi yang sama yang berhadapan dengan bintang. Kredit: Sean Raymond / Nautilus

Mencari kehidupan di planet lain memang bukan hal mudah. Mirip mencari jarum di antara jerami. Yang kita tahu hanya kehidupan yang kita kenal di Bumi. Karena itu, yang kita cari ciri-ciri kehidupan yang mirip Bumi. Planet itu harus ada di zona laik huni bintang supaya ada air. Itu kriteria pertama dan paling utama.

Pencarian pun dimulai, terutama pada bintang-bintang serupa Matahari. Ternyata, planet-planet seukuran Bumi yang juga serupa Bumi banyak ditemukan di bintang katai merah. Bintang ini memang lebih kecil dan lebih dingin dari Matahari. Karena itu, zona laik huni dimana air bisa tetap cair di permukaan planet pun jadi sangat dekat dengan bintang.

Tapi ada masalah lain.

Planet yang berada sangat dekat dengan bintang akan menghasilkan interaksi gravitasi yang kuat antara bintang dan planet. Pada kondisi ini pengaruh gravitasi bintang lebih besar menyebabkan rotasi planet melambat. Akibatnya, rotasi planet akan mendekati periode revolusi planet mengorbit bintang. Kondisi ini yang dikenal sebagai tidal lock atau terkunci secara gravitasi. Implikasinya, hanya satu sisi planet yang akan berhadapan dengan bintang. Dengan demikian ada satu sisi planet yang selalu siang dan sisi yang tidak berhadapan dengan bintang akan mengalami malam abadi. Temperatur udara di kedua sisi planet akan sangat berbeda. Panas dan dingin yang sangat ekstrim.

Pertanyaannya, mungkinkah kehidupan berevolusi di planet yang terkunci gravitasinya? Dengan kondisi temperatur yang ekstrim, tentu sulit bagi kehidupan untuk bertumbuh. Tapi penemuan planet batuan yang terkunci gravitasi di area laik huni bintang tentunya menjadi tantangan tersendiri. Apakah ada kesempatan bagi kehidupan untuk berevolusi?

Angin di Planet yang Terkunci Gravitasinya

Ilustrasi planet laik huni di bintang katai merah. Kredit: D. Aguilar/Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics
Ilustrasi planet laik huni di bintang katai merah. Kredit: D. Aguilar/Harvard-Smithsonian Center for Astrophysics

Pada planet yang terkunci gravitasi, ada satu area yang paling dekat dengan bintang a.k.a bintang tepat berada di zenit. Area yang disebut titik substellar ini menerima cahaya dan panas bintang secara kontinyu. Akibatnya area ini jadi luar biasa panas. Pemanasan yang terus menerus dari bintang pada satu sisi bisa mengubah cuaca di planet, bahkan bisa mengontrol cuaca dan menyebabkan terjadinya ketidakstabilan iklim. Kondisi ini bisa memicu planet jadi laik huni atau justru tidak laik huni.

Itu area panas. Di area dingin yang tidak pernah menerima cahaya dan panas bintang, atmosfer akan jadi gas yang lebih rapat, berkondensasi jadi cairan dan pada akhirnya jadi padat. Diperkirakan kondisi ini bisa memicu terjadinya sirkulasi atmosfer yang memicu planet jadi laik huni atau justru menyebabkan terjadinya badai mematikan di planet tersebut.

Meskipun demikian, keberadaan atmosfer di planet batuan merupakan faktor penting untuk kita bisa mengetahui senyawa kimia apa saja yang ada di sebuah planet. Dan apakah bisa mendukung kehidupan seperti yang kita kenal.

Di planet yang terkunci gravitasinya, atmosfer jadi komponen penting untuk mendistribusi panas ke seluruh planet. Tujuannya untuk mengurangi perbedaan temperatur yang sangat kontras di sisi siang dan malam. Dengan demikian planet jadi hangat, termasuk di sisi malam yang tadinya beku. Untuk itu kita harus mengetahui apakah ada angin di planet tersebut. Tanpa angin, tidak ada panas yang bisa disebar. Angin terjadi karena ada aliran udara dari tekanan tinggi ke tekanan rendah. Ini merupakan cara atmosfer bergerak untuk menyebarkan panas ke area sekitarnya.

Para astronom pun coba melakukan pemodelan berdasarkan data dan teori yang ada. Planet yang terkunci gravitasi berotasi sangat lambat. Tapi tidak berarti tidak ada sirkulasi atmosferik.

Supaya planet yang terkunci gravitasinya bisa laik huni, planet harus memiliki sistem pendingin udara yang menyeimbangkan temperatur permukaan di seluruh area terang dan gelap. Pada salah satu pemodelan cuaca planet yang terkunci gravitasinya, sistem pendingin udara ini diganti oleh angin kencang yang bergerak ke timur untuk mendistribusikan panas dari area siang ke area malam. Diperkirakan pada sisi siang, temperatur lebih dari 100º C dan di sisi malam, temperatur di bawah titik beku yakni kisaran -100º C. Aliran angin bergerak melintasi seluruh lintang. Pada lintang tinggi, ada interaksi atmosfer yang terionisasi dengan medan magnetik planet. Akibatnya, angin di lintang tinggi bisa diredam dan terjadi variasi pada kecepatan angin maupun pada sirkulasi angin kencang di area ekuator.

Baca juga:  Planet Jupiter Panas Yang Tercabik oleh Bintang Muda

Untuk beberapa kasus, panas yang terdistribusi ternyata bisa membuat planet jadi hangat di area gelap dan planet bisa berpotensi laik huni.

Pemodelan lain mengungkapkan kalau planet yang mengelilingi bintang katai merah pada jarak dekat bisa lolos dari penguncian gravitasi. Kuncinya ada pada atmosfer dari planet itu sendiri. Jika planet memiliki atmosfer tipis mengelilingi bintang katai merah pada jarak 1/3 jarak Matahari – Bumi, maka masih ada kemungkinan planet tersebut untuk lolos dari penguncian gravitasi. Jika atmosfernya lebih tebal dan jaraknya juga lebih dekat lagi dengan bintang, maka planet masih bisa lolos dari kondisi terkunci gravitasinya oleh bintang.

Cuaca

Pada planet kebumian, saat batuan dan mineral terpapar udara, maka akan ada reaksi kimia dengan gas di dalamnya. Batuan akan mengalami erosi dan lapisan baru akan tampil di permukaan. Lapisan baru ini kemudian berinteraksi lagi dengan udara dan semakin banyak gas yang diubah. Jika kecepatan proses erosi ini selaras dengan gas baru yang dilepaskan ke atmosfer, maka iklim di planet akan stabil. Gas baru tersebut bisa berasal dari erupsi gunung api di planet.

Pada planet yang terkunci gravitasi, area substellar yang paling dekat dengan bintang akan terus menerus menerima panas dan mempengaruhi cuaca dan iklim di atmosfer. Ini terjadi karena aliran panas berlebih bisa meningkatkan perubahan cuaca di area yang terpapar panas paling banyak tersebut. Temperatur yang terlalu tinggi juga bisa menyebabkan hujan deras yang pastinya mempengaruhi cuaca di planet. Hujan yang sangat deras akan meningkatkan terjadinya erosi batuan di planet. Artinya akan ada kelimpahan batuan baru yang terus bereaksi dengan atmosfer, dan menghabiskan komponen yang di situ.

Jika area substellar ini jadi dingin, proses perubahan cuaca juga akan lambat. Akibatnya tidak banyak batuan baru yang tersedia untuk reaksi kimia dan pembentukan gas di atmosfer. Proses vulkanik di planet bisa melepaskan lebih banyak materi di atmosfer dibanding yang bisa diserap batuan. Ada ketidakstabilan dan bisa memicu terjadinya pemanasan berlebih dan menyebabkan efek rumah kaca. Semua ini terjadi karena panas dari bintang terfokus hanya pada satu area yang tepat berhadapan dengan bintang.

Proses cuaca di satu planet bisa menghasilkan cerita yang berbeda. Di Bumi, efek rumah kaca bisa dikendalikan. Sementara di Venus, efek rumah kaca berlebih terjadi dan menjadikan planet ini luar biasa panas dan tidak cocok untuk kehidupan. Kondisi ekstrim lain yang bisa terjadi adalah perubahan panas dan dingin yang terjadi terus menerus sepanjang hidup. Pada kondisi ekstrim seperti ini tentu kehidupan tidak dapat berkembang. Tapi, evolusi kehidupan tidak terjadi dalam sekejap. Butuh waktu panjang untuk kehidupan bertumbuh dan berkembang di Bumi.

Kala hidup bintang katai merah yang lebih panjang jelas menguntungkan untuk evolusi kehidupan. Tapi keberadaan planet yang sangat dekat dengan bintang jadi tantangan tersendiri. Untuk bisa mencapai kestabilan cuaca, area substellar yang terus menerus menerima panas harus berada di permukaan tanah bukan di dalam lautan. Dan gas yang diserap haruslah gas yang banyak terdapat di atmosfer.

Baca juga:  Sabuk Asteroid di Vega

Itu idealnya. Yang jelas masih butuh hasil pengamatan untuk membuktikan itu semua.

Yang diperoleh dari pengamatan

Ilustrasi HD 189733b Kredit: NASA/CXC/M.Weiss
Ilustrasi HD 189733b. Di kiri atas foto bintang ganda HD 189733 yang dipotret Teleskop Chandra dalam sinar-X. Kredit: NASA/CXC/M.Weiss

Untuk bisa mengetahui detil kondisi di exoplanet tentu tidak mudah. Kita tidak bisa mengunjungi planet-planet tersebut. Bahkan untuk menemukannya pun hanya dari efek yang ditimbulkan planet pada bintang. Demikian juga untuk mengetahui keberadaan angin di planet yang berada sangat dekat dengan bintang. Pengamatan pun dilakukan pada planet yang terkunci gravitasi dan mudah diamati atmosfernya.

Planet Jupiter panas.

Planet serupa Jupiter ini memiliki ukuran yang besar dan bisa memberikan efek yang lebih signifikan dibanding planet kecil serupa Bumi. Pengamatan yang dilakukan pada exoplanet tidak lain untuk menentukan karakteristik planet tersebut. Pada bintang, dengan mengetahui massa kita bisa mengenali bintang tersebut. Tapi tidak demikian dengan planet. Contoh di Tata Surya, massa yang hampir mirip antara Venus dan Bumi tidak membuat keduanya serupa, Mirip tapi berbeda.

Saat melakukan pengamatan exoplanet, informasi yang bisa diperoleh melingkupi massa, radius, jarak, komposisi, dan temperatur. Dari transit primer ketika planet melintas di depan bintang, pengamat bisa mengetahui ukuran planet dan radiasi bintang yang melewati atmosfer planet. Selain itu, informasi radiasi thermal di planet bisa diketahui dari transit sekunder saat planet menghilang di balik bintang.

Hasil pengamatan memperlihatkan kalau planet yang terkunci secara gravitasi bisa memiliki angin yang mengalir dari area siang ke malam atau panas ke dingin. Angin tersebut berhasil dideteksi keberadaannya di planet HD 1897333b yang terkunci secara gravitasi pada bintang. Kondisi ini tampak dari periode rotasi yang sinkron dengan periode orbit planet. Planet HD 1897333b diketahui memiliki kecepatan rotasi 3,4 km per detik, dengan periode rotasi 1,7 hari dan periode orbitnya 2,2 hari.

Pengamatan dilakukan dengan spektograf milik ESO memperlihatkan angin kencang di planet ini bergerak dengan kecepatan 3 km per detik. Sementara di lapisan teratas atmosfer, angin bergerak dengan kecepatan 7 – 10 km per detik. Keberadaan angin jelas sangat penting untuk distribusi panas ke area malam yang dingin, dan bisa dilihat dari temperatur planet HD 1897333b yang merentang dari 973 – 1212 K. Hal ini menjadi indikasi terjadinya sebaran energi yang diserap dari bintang lewat atmosfer ke seluruh permukaan planet. Jangan berharap ada kehidupan di planet HD 1897333b. Planet ini bukan planet batuan dan dari temperaturnya, jelas planet Jupiter panas seperti HD 1897333b memang tidak akan bisa menopang kehidupan.

Tapi, keberadaan angin di planet yang terkunci gravitasinya ini memberi secercah harapan bahwa pada planet batuan dengan kasus serupa, ada angin yang bisa menghantar panas dari sisi siang ke malam dan menstabilkan temperatur planet untuk terjadinya evolusi kehidupan. Apalagi di bintang katai merah yang kala hidupnya lebih panjang dari Matahari. Planet bisa punya waktu panjang untuk berevolusi dan demikian juga kehidupan jika ada. Meskipun untuk bisa bertahan, ada faktor lain dari bintang yang juga akan mempengaruhi kehidupan.

Apakah mungkin planet yang terkunci gravitasinya pada bintang laik huni? Mungkin saja. Tapi apakah kehidupan itu akan serupa dengan Bumi, bisa saja tidak. Apalagi dengan kondisi planet yang terbagi dua dengan satu sisi selalu siang dan sisi lain yang selalu malam. Tentu evolusi planet juga akan berbeda dari Bumi.

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • sepertinya NASA harus melupakan proyek bintang katai, memang prospek hidup bintang katai lebih panjang daripada bintang-bintang dengan massa yang lebih besar. Namun disisi lain, skala perbandingan jarak planet dengan bintang pun ikut menyusut. Terkunci secara gravitasi berarti siang dan malam disalah satu sisi selamanya, hampir tidak mungkin kehidupan bertahan di iklim planet sekeras itu. Dibutuhkan kemampuan planet untuk melepaskan diri dari cengkraman tarik bintang namun harus membentuk shield dari angin bintang yang mematikan. Hampir pasti dikatakan peluang hidup kehidupan cerdas di planet-planet tersebut sulit ditemukan, namun di area tertentu terutama garis melintang dengan temperatur stabil mungkin kehidupan tingkat dasar sangat besar untuk ditemukan