fbpx
langitselatan
Beranda » Kisah Gelombang Gravitasi dari Alam Semesta Dini

Kisah Gelombang Gravitasi dari Alam Semesta Dini

Penemuan baru selalu menjadi cerita yang menarik untuk dikabarkan. Apalagi kalau penemuan itu menyingkap cerita dari masa lalu alam semesta. Tentunya sebuah kabar gembira bukan saja untuk para astronom atau ahli fisika yang bekerja di bidang itu, tapi untuk seluruh manusia. Alam semesta dimulai 13,8 milyar tahun yang lalu dan semenjak saat itu alam semesta pun berevolusi dari kondisinya yang sangat panas, padat dan juga seragam menjadi alam semesta kompleks yang kita kenal saat ini yang diisi oleh galaksi, bintang, planet dan obyek-obyek lainnya.

Area pengamatan BICEP2 yang dilihat Planck. Kredit: Planck/ESA
Area pengamatan BICEP2 yang dilihat Planck. Kredit: Planck/ESA

Untuk menjejak masa lalu alam semesta, para astronom mempelajari sejarah dari radiasi latar belakang yang merupakan cahaya yang dipancarkan ketika alam semesta baru berumur 380000 tahun setelah Big Bang atau Dentuman Besar.

Ketika alam semesta baru terbentuk, ia mengalami pertumbuhan yang sangat pesat dalam rentang waktu sangat singkat. Setelah pemuaian pesat itulah baru kemudian alam semesta mengembang dengan laju yang lebih tenang. Inflasi atau pemuaian pesat itu terjadi bahkan dalam waktu kurang dari 1 detik, mengubah alam semesta dari skala sub atomik atau sangat kecil menjadi sebesar lapangan bola.

Mengutip penyataan Dr. Premana Premadi dalam tulisannya di Majalah Astronomi, “Inflasi merupakan pemuaian yang dipaksakan pada alam semesta dini yang baru saja terbentuk. Pemuaian secara paksa itu dirasakan oleh ruang sebagai gangguan besar yang dikenal sebagai gelombang gravitasi. Gangguan ini amat lemah sehingga para astronom belum mampu untuk mengamatinya. Tapi, dampak dari gangguan tersebut bisa dideteksi. Pada kondisi yang tanpa gangguan,  gelombang cahaya dapat bergetar ke arah manapun, namun gangguan tertentu membuat arah getarannya tertentu, disebut terpolarisasi.  Gelombang gravitasi menyebabkan pola polarisasi yang dikenal sebagai polarisasi B-mode“.

Gempita kebahagiaan itu terjadi di bulan Maret 2014 ketika tim astronom mengumumkan ditemukannya bukti pertama dari gelombang gravitasi purba yang diamati oleh teleskop BICEP2 di Antarika. Bukti itu berupa polarisasi B-mode pada radiasi latar belakang yang disebabkan oleh gelombang gravitasi.  Karakter dari polarisasi tersebut menunjukan kalau polarisasi ini disebabkan oleh gelombang gravitasi yang terjadi saat inflasi alam semesta. Artinya, para astronom berhasil mengkonfirmasi terjadinya inflasi!

Tapi, satu pengamatan belumlah cukup untuk menjadi bukti kuat. Butuh konfirmasi pengamatan lainnya agar penemuan tersebut bisa menjadi bukti sahih dari terjadinya pemuaian pesat di alam semesta.

Dan ternyata, tak sampai setahun, hasil survei dari wahana Planck milik ESA memberikan cerita berbeda yang mengindikasikan polarisasi mode-B yang dilihat para astronom itu bukanlah berasal dari inflasi. Apakah pengumuman yang dilakukan tahun lalu terburu-buru? Bisa jadi memang demikian.

Yang pasti, ada kekecewaan mengingat euforia yang ditimbulkan tahun lalu. Bagaimana tidak, para astronom akhirnya bisa menjejak kembali satu periode singkat yang mengubah perjalanan alam semesta. Tanpa inflasi atau pemuaian pesat, alam semesta saat ini seharusnya belum sedingin sekarang.  Artinya bisa jadi tanpa inflasi, evolusi kehidupan pun masih belum memungkinkan. Mengecewakan memang, tapi itulah sains. Bukti baru akan selalu menjadi pertimbangan untuk menganalisa kembali sebuah penelitian, bahkan mengoreksinya.

Baca juga:  Kilasan Cahaya dari Masa Lalu
Wahana Planck milik ESA dan radiasi latar belakang. Kredit: ESA
Wahana Planck milik ESA dan radiasi latar belakang. Kredit: ESA

Menjejak Kembali Penemuan Gelombang Gravitasi
Polarisasi mode-B yang berupa lengkungan ataupun polarisasi mode-E yang berbentuk lingkaran dan radial, bisa dihasilkan oleh fenomena berbeda di alam semesta. Dan tidak mudah juga untuk mengetahui dari mana asalnya.  Pencarian polarisasi mode-B ini amat sangat tidak mudah. Sinyal halus tersebut tersembunyi dalam polarisasi radiasi latar belakang yang hanya mewakili sebagian kecil dari cahaya total.

Untuk itu, konfirmasi kehadiran polarisasi mode-B tersebut coba dilakukan lewat misi Planck yang salah satu tujuannya untuk menguji teori inflasi dan menemukan gelombang gravitasi.

Dalam penemuan tahun 2014, tim astronom yang menelaah data BICEP2 menemukan polarisasi mode-B yang merentang di angkasa dengan ukuran beberapa kali lebih besar ukuran Bulan Purnama. Tapi, meskipun mereka meyakini bahwa sinyal yang mereka temukan itu datang dari gangguan yang terjadi saat inflasi, sebenarnya masih ada kemungkinan lain.

Dalam melakukan pengamatan, mengapa perlu adanya konfirmasi ulang dari pengamatan lain, itu dikarenakan bisa saja sinyal yang ditangkap merupakan sinyal yang salah. Untuk kejadian ini, bisa saja sinyal gangguan yang diterima itu justru berasal dari debu.

Galaksi Bima Sakti dilingkupi oleh campuran debu dan gas yang juga bersinar pada frekuensi yang sama dengan cahaya yang datang dari radiasi latar belakang. Akibatnya, pancaran sinar latar depan ini akan sangat mempengaruhi pengamatan cahaya kosmik purba. Apalagi debu antar bintang juga memancarkan cahaya yang terpolarisasi dan bisa menjadi sinyal yang salah dalam mengenali polarisasi radiasi latar belakang.

Ketika John Kovac dari Universitas Harvard mendeteksi sinyal tersebut dari pengamatan BICEP2, mereka mengacu pada model emisi debu Galaksi (penulisan Galaksi dengan huruf kapital memberi acuan pada Bima Sakti -red) yang ada saat itu. Menurut model tersebut, area yang mereka amati memiliki polarisasi debu yang jauh lebih rendah dari sinyal yang berhasil mereka deteksi. Pengamatan dengan dua instrumen landas Bumi pada frekuensi gelombang mikro tunggal menambah kesulitan dalam memisahkan emisi yang datang dari Bima Sakti dan dari radiasi latar belakang.

Dengan meyakini bahwa sinyal polarisasi debu Galaksi harusnya lebih rendah, maka polarisasi mode-B yang dilihat itu diyakini sebagai bukti keberadaan gelombang gravitasi dari masa terjadinya inflasi.

Tapi setiap pengamatan perlu adanya konfirmasi. Dan konfirmasi itu datang dari pengamatan yang dilakukan Planck pada 9 saluran frekuensi gelombang mikro dan sub-milimeter. Dari 9 saluran itu, 7 diantaranya sudah dilengkapi dengan detektor yang khusus dapat mengenali polarisasi serta memisahkan sumber sinyal yang diterima. Hasilnya data pengamatan Planck memberi hasil yang berbeda.

Area yang dipilih tim BICEP2 yang seharusnya memiliki emisi atau pancaran debu yang rendah ternyata justru memiliki emisi debu yang lebih tinggi dari yang diduga sebelumnya. Dan di bulan September 2014, wahana Planck juga mengungkap kehadiran polarisasi debu yang cukup signifikan pada area tersebut.

Baca juga:  Mengapa Pluto Punya Atmosfer dan Bulan Tidak?

Dengan hasil pengamatan yang jauh lebih presisi dari Planck, tim BICEP2 pun bergabung dengan tim dari Planck untuk menyelidiki apakah sinyal yang mereka terima itu memang berasal dari alam semesta dini ataukah dari debu antarbintang. Hasil pengamatan Planck, BICEP2 serta pengamatan tahun 2012-2013 dari teleskop Keck dikombinasikan untuk dianalisa kembali.

Dan hasil analisa menunjukkan, sinyal polarisasi mode-B yang dideteksi tidak lagi sekuat yang dilihat sebelumnya setelah pancaran debu Galaksi ditiadakan.

Artinya… para astronom kembali ke titik dimana sinyal yang menjadi jejak inflasi alam semesta belum dapat dikonfirmasi keberadaannya.

Sinyal lain dari masa lalu
Kabar buruk itu masih memiliki secercah harapan.  Ada sumber polarisasi mode-B lainnya yang dideteksi. Diperkirakan sinyal ini memang berasal dari alam semesta dini. Sayangnya, sinyal yang dilihat tersebut berskala lebih kecil dibanding sebelumnya.

Pembelokkan cahaya dari alam semesta dini. Kredit: Planck / ESA
Pembelokkan cahaya dari alam semesta dini. Kredit: Planck / ESA

Sinyal tersebut pertama kali ditemukan pada tahun 2013 dan bukan merupakan pengamatan langsung untuk menjejak kembali fase inflasi di alam semesta. Sinyal tersebut bersumber dari struktur masif jejaring kosmik di alam semesta yang mengubah jejak perjalanan foton pada radiasi latar belakang saat menuju pengamat. Efek ini kita kenal sebagai lensa gravitasi.

Lensa gravitasi disebabkan oleh obyek masif yang melengkungkan area di sekelilingnya dan membelokkan jejak cahaya seperti apa yang dilakukan oleh kaca pembesar. Dan kolaborasi Planck, BICEP2, dan teleskop Keck menjadi pengamatan yang memberikan jejak paling kuat dari sinyal tersebut.

Akan tetapi…. jejak dari periode pemuaian pesat masih belum dapat dikonfirmasikan. Satu kesalahan tidak memupus asa untuk terus mencari. Karena sinyal gelombang gravitasi dari alam semesta dini masih menanti untuk ditemukan dan pencarian pun terus berlanjut.

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

1 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini