fbpx
langitselatan
Beranda » Menanti Sang Lintang Kemukus Dini Hari

Menanti Sang Lintang Kemukus Dini Hari

Lintang kemukus dini hari adalah kosakata yang menanjak pasca sastrawan besar Ahmad Tohari menabalkannya dalam triloginya yang terkenal, Ronggeng Dukuh Paruk.

Komet Ikeya–Seki saat mencapai perihelion, diabadikan astronom F. Moriyama dan T. Hirayama di observatorium Tokyo (Jepang) pada 21 Oktober 1965 menggunakan koronagraf pada siang bolong, sesaat sebelum fragmentasi tidal membelahnya menjadi 3 bongkahan. Ikeya–Seki merupakan keluarga komet Kreutz yang paling terang dalam abad ke–20 dan di Indonesia dijuluki lintang kemukus dini hari. Kini analisis memperlihatkan komet sungrazer terang seperti ini akan muncul di langit dalam beberapa dekade ke depan. Kredit foto : Cometography

Bagi sejarah Indonesia kontemporer, lintang kemukus dini hari banyak dikaitkan dengan peristiwa berdarah 1965 hingga 1966 yang dipungkasi berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan mulai bergulirnya rezim Orde Baru. Lintang kemukus dini hari sebenarnya adalah bintang berekor (lintang = bintang, kemukus = berasap, berekor) atau komet yang nampak pada dini hari sebelum terbitnya Matahari dan demikian cemerlang dengan bentuk ekor yang panjang, sehingga sangat mudah dilihat penduduk Indonesia kala itu. Terlebih situasi atmosfer relatif cerah seiring bergulirnya kemarau panjang akibat fenomena meteorologis El Nino yang diintroduksi letusan Gunung Agung dua tahun sebelumnya. Kemunculan komet ini, di tengah situasi sosial politik yang demikian mencekam, sontak membuat banyak orang mengamini miskonsepsi a la Aristoteles 2 millenium silam: komet adalah benda langit pertanda akan datangnya bencana.

Lintang kemukus dini hari sejatinya adalah komet Ikeya–Seki (C/1965 S1). Komet ini pertama kali ditemukan oleh dua astronom amatir Jepang yakni Kaoru Ikeya dan Tsutomu Seki pada 18 September 1965, secara terpisah, dengan waktu penemuan hanya berselisih 15 menit. Rangkaian observasi kemudian menyimpulkan komet Ikeya–Seki merupakan komet pelintas dekat Matahari (sungrazer), yang memiliki orbit sangat lonjong dengan perihelion hanya 450.000 km dari permukaan fotosfer Matahari dan aphelionnya melambung sejauh 183,65 SA dari Matahari (4,5 kali lipat lebih jauh dibanding jarak Matahari–Pluto). Orbit tersebut ditempuhnya dalam periode 880 tahun secara retrogade karena inklinasi orbitnya 144o.

Keterkaitan komet Ikeya–Seki dengan peristiwa berdarah 1965–1966 di Indonesia tidak ada dan kesamaan waktu keduanya hanyalah kebetulan semata. Namun bagi astronomi komet Ikeya–Seki tak bisa diabaikan begitu saja. Astronom Brian G Marsden (almarhum) menunjukkan komet Ikeya–Seki merupakan bagian dari sekuens evolusi komet sungrazer besar yang mendekati perihelionnya pada Februari 1106 M (X/1106 C1) dan nampak demikian terang sehingga tetap terlihat meski di siang bolong. Analisis lanjutan oleh Sekanina & Chodas serta Matthew Knight secara terpisah menunjukkan komet Ikeya–Seki merupakan anggota keluarga besar komet Kreutz, yakni keluarga komet sungrazer dengan inklinasi orbit 144o dan longitude perihelion 280o–282o.

Dekatnya perihelion komet dengan Matahari menyebabkan bekerjanya gaya pasang surut (tidal) Matahari pada komet sehingga terjadilah fragmentasi yang membentuk bongkahan–bongkahan dalam beragam ukuran. Contoh paling populer dari fragmentasi jenis ini (yang disebut fragmentasi tidal) adalah pada komet D/1993 F2 Shoemaker–Levy 9, yang terpecah belah menjadi 21 buah bongkahan besar kala mendekati titik perijove dalam orbitnya mengelilingi planet Jupiter. Namun fragmentasi komet tidak hanya terjadi akibat gaya pasang surut di perihelionnya saja. Sekanina & Chodas memperlihatkan bahwa komet induk X/1106 C1 pun kemungkinan mengalami fragmentasi non–tidal kala jauh dari perihelionnya, sebuah proses yang dinamakan cascade fragmentation. Sekanina & Chodas mendasarkan estimasinya pada fragmentasi komet 73/P Schwassmann–Wachmann, komet berperiode pendek (5,4 tahun) dengan perihelion 1 AU sehingga tidak mungkin mengalami fragmentasi tidal Matahari. Namun sesuatu telah terjadi pada komet ini sejak 1995 sehingga komet terpecahbelah menjadi 60 bagian signifikan dan (diduga) ratusan bagian mininya.

Baca juga:  Misteri di Kedalaman Magnetar

Lewat bekerjanya dua macam fragmentasi inilah komet induk X/1106 C1 terpecah–belah menjadi fragmen–fragmen yang memiliki kelompoknya masing–masing. Setiap kelompok fragmen dicirikan oleh eksistensi sejumlah fragmen besar dan ratusan fragmen mini. Tatkala satu kelompok fragmen mendekati perihelion orbitnya dan teramati dari Bumi, kelompok fragmen berikutnya akan mendekati perihelion pula dalam 60–80 tahun kemudian.

Kurva evolusi perihelion komet induk X/1106 C1 beserta komet pendahulunya dan fragmen penerusnya dalam dua skenario menurut Sekanina & Chodas. Nampak dalam skenario A, bahwa fragmen komet terang X/1106 C1 yang dalam satu periode komet kemudian nampak sebagai C/1882 RI, akan muncul lagi pada dua periode komet kelak sebagai empat kelompok fragmen dengan selisih waktu kemunculan 60–80 tahun. Kredit foto : Sekanina & Chodas

Catatan menunjukkan pada periode 1880–1887 teramati tiga komet sungrazer terang (yakni C/1880 C1, C/1882 R1 dan C/1887 B1) yang bisa dikategorikan dalam satu kelompok. Berselang 80 tahun kemudian teramati kelompok komet sungrazer terang lainnya yang beranggotakan komet C/1963 R1 Pereyra, C/1965 S1 Ikeya–Seki dan C/1970 K1 White–Ortiz–Bolelli. Sekanina & Chodas mencatat, dari masing–masing kelompok hanya C/1882 R1 dan C/1965 S1 Ikeya–Seki saja yang memiliki ukuran bongkahan signifikan pasca fragmentasi tidal ketika keduanya mencapai perihelion. Sehingga kelak tatkala kembali mendekati perihelionnya, bongkahan–bongkahan itu masih eksis sebagai komet meski kembali harus terfragmentasi. Sementara komet–komet terang lainnya kemungkinan besar akan lenyap karena fragmentasi tidak dan non–tidal membelahnya menjadi butir–butir seukuran batu, kerikil atau debu yang sangat sulit diamati. Dengan mengambil contoh komet C/188 R1 yang tedeteksi terbelah menjadi 4 bongkahan besar, Sekanina & Chodas menuturkan keempat bongkahan itu masing–masing akan mendekati perihelionnya pada tahun 2487, 2571, 2656 dan 2719 kelak.

Berdasarkan teori tersebut, adakah kelompok fragmen ketiga setelah kelompok 1880–1887 dan 1963–1970? Mengambil analogi komet C/1882 R1, kita bisa berasumsi komet induk X/1106 C1 terfragmentasi menjadi 4 bongkahan besar pula. Sejauh ini baru dua bongkahan (beserta kelompoknya) yang muncul. Dan saat ini lingkungan sekitar Matahari telah dipantau secara menerus oleh satelit SOHO sejak 1995 dan kemudian oleh sepasang satelit STEREO sejak 2006 sehingga komet sungrazer menjadi lebih mudah dideteksi. Cukup menarik, Matthew Knight mencatat bahwa pada 1997 SOHO hanya mendeteksi 69 komet sungrazer mini, namun pada 2010 terjadi lonjakan tiga kali lipat menjadi 200 komet sungrazer mini.

Peningkatan ini cukup signifikan dan tak bisa dijelaskan hanya oleh meningkatnya kemampuan internal satelit SOHO ataupun para astronom pendeteksi komet. Knight berspekulasi lonjakan sejenis juga terjadi menjelang munculnya kelompok komet sungrazer terang 1963–1970. Hanya saja, ketika komet–komet terang itu mendekati perihelionnya, teknologi penerbangan antariksa kala itu masih primitif dan hanya fokus pada perlombaan antariksa menggapai status manusia (dan negara) pertama yang menapakkan kaki ke Bulan. Sehingga tidak memungkinkan menentukan jumlah lonjakan komet sungrazer mini.

Dengan tren peningkatan jumlah komet sungrazer mini dalam setiap tahunnya, maka bisa disimpulkan bahwa sebuah kelompok komet sungrazer terang produk fragmentasi komet besar di tahun 1106 sedang bergerak menuju perihelionnya dan akan nampak dari Bumi dalam beberapa waktu ke depan. Kapan? Knight tidak menyodorkan angka, demikian pula Sekanina & Chodas. Namun dengan selang waktu 60–80 tahun antar kelompok, maka komet–komet tersebut akan nampak antara tahun 2030 hingga 2050 kelak. Inilah jendela waktu kala sang lintang kemukus dini hari akan kembali mewarnai langit kita.

Baca juga:  Festival Anak Bertanya 2018

Muh. Ma'rufin Sudibyo

Orang biasa saja yang suka menatap bintang dan terus berusaha mencoba menjadi komunikator sains. Saat ini aktif di Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia. Juga aktif berkecimpung dalam Lembaga Falakiyah dan ketua tim ahli Badan Hisab dan Rukyat Daerah (BHRD) Kebumen, Jawa Tengah. Aktif pula di Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI), klub astronomi Jogja Astro Club dan konsorsium International Crescent Observations Project (ICOP). Juga sedang menjalankan tugas sebagai Badan Pengelola Geopark Nasional Karangsambung-Karangbolong dan Komite Tanggap Bencana Alam Kebumen.

6 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini

  • wah klo ni komet terus terpecah menjadi bagian2 kecil lama2 kita gak bisa liat donk lintang kemukusnya……

    • Betul, secara kasat mata lama2 akan tidak terlihat karena saking kecilnya. Komet X/1106 C1 yang nongol di tahun 1006 M itu diindikasikan memiliki diameter 100 km, sementara turunannya (salah satunya Ikeya Seki yang muncul di 1965-1966) hanya berdiameter 5 km karena merupakan salah satu pecahannya. Pecahan dari Ikeya Seki tentunya akan lebih kecil lagi.

      Namun jika dipantau dari angkasa khususnya dengan satelit coronagraf macam SOHO, bongkahan2 berukuran sangat kecil (dalam orde puluhan meter) masih bisa terlihats ebagai komet koq. Silahkan dibaca selengkapnya di http://langitselatan.com/2011/01/26/badai-komet-di-matahari/

  • apakah komet yg akan muncul pd bebrapa waktu ke depan bs seterang komet ikeya seki?

    • Kalo yang masih sekeluarga dengan Ikeya Seki, munculnya masih lama, setidaknya antara 2030 hingga 2050 mendatang sesuai dengan tulisan ini.

      Namun komet2 terang tidak harus sekeluarga dengan Ikeya-Seki. Ambil contoh saja komet McNaught, yang menjadi great comet 2007 dengan kecerlangan hingga -5,5 atau sedikit di atas kecerlangan Venus sehingga bisa disaksikan di siang hari. Komet terang ini buklan anggota keluarga komet manapun, karena hiperbolik.

      So munculnya komet terang secara umum sebenarnya sulit diprediksi. Namun untuk keluarga komet Kreutz ya antara 60-80 tahun sekali.

  • pengen d0nk tau lebih banyak,
    sapa tau sy bs kerja d LAPAN atw mungkin NASA.
    hehe