fbpx
langitselatan
Beranda » Seberapa Masifkah Bintang Bisa Jadi Lubang Hitam?

Seberapa Masifkah Bintang Bisa Jadi Lubang Hitam?

Magnetar, tipe dalam Bintang Neutron yang memiliki medan magnet ultra-kuat, bahkan ribuan kali lebih kuat dari bintang neutron normal dan menjadikan mereka magnet paling kuat di kosmos. Dengan menggunakan Very Large Telescope milik ESO, astronom eropa untuk pertama kalinya bisa menyaksikan terbentuknya magnetar dari sebuah bintang yang massanya 40 kali massa Matahari.

Ilustrasi artis untuk menggambarkan magnetar. kredit : ESO/L. Calçada

Ada yang menarik dari hasil pengamatan tersebut. Bagaimana tidak, hasil ini justru menjadi tatangan baru dalam teori evolusi bintang yang sudah ada. Menurut teori evolusi, bintang masif dengan massa seperti yang diamati oleh para astronom tersebut seharusnya berakhir sebagai sebuah lubang hitam bukannya magnetar. Dengan demikian muncul pertanyaan, bintang semasif apakah yang akan berakhir sebagai lubang hitam?

Pengamatan Gugus Westerlund 1
Cerita ini dimulai dari penelitian para astronom yang mengamati gugus bintang muda Westerlund 1 yang berada pada jarak 16000 tahun cahaya di rasi bintang Ara (the Altar).

Westerlund 1 memang merupakan kebun bintang sekaligus gugus bintang super terdekat yang diketahui dan memiliki ratusan bintang yang sangat masif, yang walaupun berbeda-beda namun sangat eksotis. Kesamaan bintang-bintang dalam gugus ini adalah, mereka memiliki usia yang sama dalam rentang 3,5 – 5 juta tahun. Hal ini disebabkan karena gugus Westerlund 1 memang terbentuk dari satu kejadian pembentukan bintang.

Sebagian bintang di Westerlund 1 bersinar terang dengan kecerlangan hampir mencapai 1 juta kali kecerlangan Matahari dan untuk ukurannya sebagian bintang disana memiliki diameter 2 ribu kali diameter Matahari. Jika dibandingkan, diameter tersebut sebesar orbit Saturnus. Bahkan seandainya Matahari berada di jantung gugus yang luar biasa ini, bisa dipastikan langit malam di Bumi akan dipenuhi bintang-bintang yang cemerlang seperti halnya bulan Purnama.

Mengenal Magnetar Yang Tersisa di Gugus Westerlund 1
Magnetar merupakan tipe bintang neutron yang memiliki medan magnet ultra kuat – sekitar 1 juta triliun kali lebih kuat dari medan magnet Bumi. Medan magnet ultra kuat tersebut bisa terbentuk saat bintang dengan massa tertentu mengakhiri hidupnya dengan meledak sebagai Supernova. Di dalam gugus Westerlund 1, terdapat beberapa magnetar yang sudah di kenal di Bima Sakti. Dari rumahnya di gugus inilah, para astronom bisa menyimpulkan kalau magnetar yang mereka lihat terbentuk dari bintang dengan massa 40 massa Matahari.

Karena semua bintang di Westerlund 1 memiliki usia yang sama, bintang yang meledak dan meninggalkan sisa magnetar tentu akan memiliki waktu hidup yang lebih pendek dari bintang yang masih ada di gugus tersebut.

Kala hidup bintang itu selalu terkait dengan massanya. Kalau massa bintang itu besar, kala hidupnya juga pendek. Dengan demikian, jika dilakukan pengukuran pada massa bintang yang masih ada di gugus, maka akan diketahui kalau bintang yang memiliki kala hidup lebih pendek dan telah menjadi magnetar tentu bintang yang lebih masif.

Baca juga:  Pancaran Cahaya Jutaan Matahari

Studi Bintang Ganda
Para astronom kemudian mempelajari bintang-bintang yang berasal dari sistem bintang ganda gerhana W13 di gugus Westerlund 1. Hal ini disebabkan karena dalam sistem seperti ini, massa dapat langsung ditentukan dari gerak bintang. Dengan membandingkan bintang-bintang yang ada, para peneliti menemukan kalau bintang yang menjadi magnetar tentunya memiliki massa setidaknya 40 kali massa Matahari.

Gugus Bintang Muda Westerlund 1 yang diamati. Lingkaran di atas merupakan bintang ganda W13 yang dipelajari. Dan lingkaran di bagian bawah merupakan lokasi Magnetar. Kredit : ESO

Hasil ini jelas menjadi bukti untuk pertama kalinya kalau magnetar bisa terbentuk dari evolusi bintang masif yang secara normal seharusnya membentuk lubang hitam. Asumsi sebelumnya, bintang dengan massa awal antara 10 0 25 massa Matahari akan membentuk bintang neutron sedangkan yang lebih masih atau lebih besar dari 25 massa Matahari akan membentuk lubang hitam.

Namun untuk menjadi magnetar, bintang tersebut harus menghilangkan 9/10 massanya sebelum meledak sebagai supernova atau mereka akan tetap membentuk lubang hitam dari inti yang tersisa setelah bintang tersebut meledak. Nah, supaya bisa terjadi kehilangan massa yang demikian besar sebelum terjadinya ledakan merupakan tantangan baru untuk dipahami oleh para astronom sekaligus menjadi tantangan dari teori evolusi bintang yang ada saat ini.

Pertanyaan lain pun muncul. Jadi seberapa masifkah sebuah bintang yang runtuh bisa membentuk lubang hitam jika bintang yang massanya 40 massa Matahari saja tidak berakhir dengan lubang hitam.

Asal Mula si Magnetar
Menurut cerita mekaisme pembentukan bintang yang dipostulatkan para astronom, sebuah bintang yang akan menjadi magnetar – (bintang pendahulu) – lahir bersama dengan bintang pasangan. Saat kedua bintang berevolusi mereka akan mulai berinteraksi. Dengan energi yang berasal dari gerak orbit yang dihasilkan dalam jumlah besar maka akan terjadi lontaran massa bintang yang sangat besar dari bintang pendahulunya.

Hal menarik lainnya dari pengamatan tersebut, tidak ditemukan bintang pasangan di lokasi magnetar ditemukan. Penjelasannya, bisa jadi supernova yang kemudian menyisakan magnetar ledakannya telah menyebabkan sistem bintang tersebut hancur, dan melontarkan kedua bintang dari gugus dengan kecepatan tinggi.

Jika memang demikian, bintang ganda memiliki peran penting untuk kehilangan massa bintang dalam evolusi bintang. Bahkan ia bisa menjadi rencana diet yang bagus bagi bintang-bintang yang kelebihan massa, karena dapat menghilangkan 95% massa awalnya.

Sumber : ESO, NASA

Avivah Yamani

Avivah Yamani

Tukang cerita astronomi keliling a.k.a komunikator astronomi yang dulu pernah sibuk menguji kestabilan planet-planet di bintang lain. Sehari-hari menuangkan kisah alam semesta lewat tulisan dan audio sambil bermain game dan sesekali menulis makalah ilmiah terkait astronomi & komunikasi sains.

Avivah juga bekerja sebagai Project Director 365 Days Of Astronomy di Planetary Science Institute dan dipercaya IAU sebagai IAU OAO National Outreach Coordinator untuk Indonesia.

4 komentar

Tulis komentar dan diskusi di sini